Lelaki muda itu membuka jendela kamar lebih lebar. Ia berdiri tepat di tengah-tengah, hingga jendela itu tampak seperti sedang membingkai dirinya, lalu ia memandang lurus ke depan. Tak lama kemudian ia tengadah, dan malam rupanya sedang memamerkan bulan separo yang tampak seperti mengambang di udara yang ditemani bintang-bintang.
Lama ia memandang langit itu, mungkin sedang mengamati, manakah bintang yang tetap bertahan memancarkan cahaya jika langit sedang tidak bersih. Sejenak rambutnya yang panjang melambai-lambai karena tertiup angin yang masuk ke kamarnya. Ia merasa seperti sedang dibelai-belai angin malam yang datang dari perbukitan paling sunyi.
Lantas ia menunduk, teringat dengan Lestia, kekasihnya yang begitu dicinta, tadi sore menemuinya dalam keadaan menangis. Lestia tiba-tiba datang dengan napas yang kadang tersengal, hingga hal itu membuat Lestia sulit untuk mengatakan sesuatu sebelum akhirnya dengan susah payah menyampaikan bahwa hubungan mereka harus segera diakhiri.
Ayah Lestia tidak menyetujui hubungan mereka, bahkan menganggap lelaki itu tidak pantas untuk menjadi pendamping hidup anaknya. Lestia tidak kuasa berontak terhadap kehendak itu dan tak henti-henti sesenggukan ketika ia harus menyampaikan kabar tersebut. Sementara lelaki itu berusaha untuk tegar, bahkan masih sempat membelai rambut kekasihnya sembari menenangkan hatinya sendiri yang berantakan.
Benak lelaki itu mengembara. Diawali dengan memikirkan kejadian yang ia alami beberapa hari lalu. Karena di dalam dirinya dinilai punya kelebihan, ia dimasukkan menjadi tim fasilitator pembekalan perihal pengajaran bagi guru-guru.
Karena kejadian itu lantas ia teringat dengan cerita hidupnya dulu, sebuah kisah yang oleh orang-orang dijadikan penanda bahwa ia diduga akan menjadi manusia malang. Dulu, sekolah baginya sangat menjemukan. Pada saat itu ia berpikir bahkan berjanji tidak mau berhubungan dengan pendidikan lagi.
Selain ia tidak punya pengalaman menyenangkan terkait pengajaran, juga karena ia merasa tidak ada pengalaman perihal guru yang berhasil membuatnya menyukai sekolah. Sekolah baginya hanya belenggu, bahkan penjara, karenanya begitu lulus ia tak mau kuliah.
Namun karena orangtuanya meminta lantas ia melakukannya dengan terpaksa, kuliah dijalaninya dengan susah payah, pun diselesaikan alakadarnya, sebatas lulus untuk menyenangkan orangtua. Karena itulah, dulu orang menduga, bahwa ia akan menjadi orang yang gagal.
“Aku heran mengapa ayah tidak bisa mengerti?,” guman lirih Lestia sore itu.
“Yang benar itu beliau tidak mau mengerti,” sahut lelaki itu datar.
“Apa bedanya, Mas,? tanya Lestia dengan suara agak menghentak.
Lelaki itu lantas menjelaskan kembali pengertian yang dulu pernah ia sampaikan kepada kekasihnya itu, bahwa apa yang biasanya menjadi masalah bukan tentang salah mengerti. Menurut lelaki itu, apa yang hampir selalu menjadi masalah jika dalam segala hal orang itu tidak pernah mau mengerti. “Dalam hal ini, ayahmulah yang tidak pernah mau mengerti terhadap hubungan kita, atau lebih tepatnya terhadapku,” tambah lelaki itu.
“Tahunya ayah, kamu itu pengangguran,” gumam Lestia lagi.
“Kalau masalah itu, bukan hanya ayahmu, tapi sebagian banyak orang sering menganggapku begitu,” sahut lelaki itu dengan tenang, sembari ia melanjutkan memikirkan kenangannya.
Setelah lulus kuliah, ia lebih memilih belajar pada alam, pada lingkungan, dan pada dunia. Baginya, belajar bisa di mana saja, dan dari sumber apa saja. Keyakinan itu membawanya kepada kehidupan nyata, berusaha untuk menjawab tantangan zaman dengan mandiri hingga ia lantas dikenal sebagai pembelajar yang sesungguhnya.
Rupanya semesta merestui, lelaki itu bukan saja bisa menghidupi dirinya sendiri dengan mendayakan kemampuan dirinya, tapi juga menghidupi orang-orang di sekitar dengan cara mendaya guna segala hal yang ada di lingkungan di mana mereka tinggal.
Dan apa yang ia tekuni itu tidak terlepas dari teknologi, bahkan dari situ ia akhirnya dikenalkan dengan sebuah program pendidikan yang dinamai Presisi, yang arti harfiahnya adalah ketepatan. Program itu membuatnya terhenyak.