Ia kaget, seperti disadarkan bahwa ternyata apa yang selama ini ia resahkan, terjawab. Perkenalannya dengan program itu mengantarkan ia kepada orang-orang sejiwa perihal pendidikan. Dan itulah awal mula ia diminta menjadi tim fasilitator program tersebut, sebuah konsep pendidikan yang mengantarkan pembelajar kepada kemandirian dan kesadaran sebagai pelakunya.
“Aku tidak ingin kita pisah, Mas,” gumam Lestia lebih lirih.
“Yang ingin pisah darimu itu siapa?” tanya lelaki itu.
“Ayah. Ayah ingin kita berpisah,” sahut Lestia dengan nada kesal.
“Berarti bukan aku, kan?” ucap lelaki itu tetap dengan ketenangan.
“Kalau begitu usaha dong,” sahut Lestia seperti geregetan.
“Kita akan sama-sama menghadapi beliau,” “Tapi gimana caranya?”
“Berdoalah kekasihku, karena sesungguhnya doa adalah cara mencintai paling rahasia, yang dari sana Allah akan membukakan jalan bagi umatnya yang percaya.”
“Aku itu heran, ayah itu guru, tapi kaku dan kolotnya minta ampun. Sepertinya ayah tak mungkin bisa berubah, Mas.”
“Bukan hanya ayahmu, tapi masih banyak guru-guru yang berpikiran begitu,” sahut lelaki itu masih dengan tenang.
“Tapi jika ayah tetap begitu, berarti kita benar-benar tak bisa bersatu!” ucap Lestia sedikit lebih keras.
“Kekasihku, jika hidup tanpa harapan, itu sama saja dengan mati. Jadi teruslah menjadi orang yang berpengharapan,” sahut lelaki itu sembari ia melanjutkan memikirkan perjalanan hidupnya.
Di saat lelaki itu sedang bergelora terkait program pengajaran yang baru diemban, tiba-tiba seperti melemah karena nasib buruk yang dia alami perihal perasaannya. Ia berpikir, seperti tidak gunanya ia berjuang membenahi sesuatu, jika apa yang ada di dekatnya justru tak menemui hasil baik, bahkan dirinya tertolak dengan rasa hina yang tak tanggung- tanggung sakitnya.
Esok hari, seharusnya akan menjadi hari kemenangan baginya. Bukan menang dari yang lain, tapi menang atas hidupnya sendiri. Apa yang selama ini ia yakini baik, telah menjadi nyata ke dalam langkah-langkah hidupnya. Namun kabar dari Lestia sore itu seakan telah meruntuhkan bangunan yang selama ini ia bangun dengan tekun.
Kabar dari pujaan hatinya itu seakan-akan telah menghempaskan seluruh cita-cita yang selama ini ia perjuangkan. Ingin rasanya ia lari dari kenyataan, mengakhiri semuanya, bukan saja perihal hubungannya dengan Lestia, tapi juga capaian tentang pemusnah kerisauannya dulu yang sekarang sebenarnya telah mulai ia cicipi.
Meski hati lelaki itu begitu terkoyak dan terpuruk, tapi rupanya apa yang terjadi esok harinya tidak seburuk yang sempat dia pikirkan, karena pagi-pagi sekali ia telah mandi dan mematut diri, lalu bersiap untuk berada di depan laptopnya. Ia ingin melanjutkan apa yang telah ia mulai.
Ia tak ingin membiarkan lebih banyak korban pembodohan jika ia sampai memutuskan untuk berhenti. Pembukaan pembekalan pengajaran daring terhadap guru-guru oleh fasilitator telah dibuka dengan doa. Lantas lelaki muda itu berdiri sigap, waktunya untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Pada saat mulutnya ikut menyanyikan lirik lagu itu mendadak hatinya teringat dengan Lestia, dan ia berusaha untuk menahan haru, namun sepertinya ia tidak kuat, lalu matanya basah. Lagu kebangsaan negara itu terlantun seiring dengan tetesan air matanya.
***
Guru-guru sedang khusyuk mengikuti lokakarya pembelajaran. Sebagian besar dari mereka merasa terkesan dengan materi yang disampaikan. Guru-guru takjub terhadap apa yang mereka dengar. Bahkan ada yang bilang, inilah konsep pendidikan yang mereka cari- cari selama ini.
Perhatian guru-guru seperti tak mau lepas dari topik materi dengan diskusi dan refleksi. Namun, ada satu guru, pria setengah baya yang tidak bisa fokus dengan materinya. Guru itu lebih terpaku pada penyaji materinya, seorang lelaki muda yang sangat ia kenal.***
Penulis : Yuditeha