Adakah Maaf untuk Bapak?

Bus yang agak longgar penumpang ini melaju membawaku menembus jalanan kota. Belum begitu banyak juga kendaraan hilir mudik menyaingi kami. Di beberapa ruas jalan terlihat para petugas kebersihan yang, menurut prediksiku, jauh sebelum matahari merambati ufuk telah lebih dahulu menjamah tiap sudut kota. Tadi, tepat pukul enam aku meninggalkan kantor usai semalaman mencumbu rupa-rupa pekerjaan yang tak ada habisnya.

Ini hari Sabtu. Orang-orang tidak banyak keluar di waktu sepagi ini. Cukuplah mereka bertarung di sepanjang Senin hingga Jumat dengan sesamanya di jalan-jalan, kantor, pasar- pasar, di dalam kendaraan umum, dan bahkan bersaing menghidu udara.

Aku memilih duduk persis di samping jendela, melesakkan oksigen kuat-kuat ke dalam paru-paruku, tanpa perlu bersaing. Pertukaran gas berlangsung kurang dari sekedipan mata, tetapi dengan penuh penghayatan aku membiarkan karbondioksida mengalir sesaat demi sesaat keluar dari rongga hidungku.

Aku amat menyukai hari libur. Bukan hanya tersebab akan menceraikan lembar- lembar bisu pekerjaan yang menekan kepalaku lima hari dalam seminggu, siang ditambah malam. Atau keluar dari kungkungan sangkar persegi raksasa yang kau tidak akan terbebas darinya sebelum memenuhi seluruh permintaan tuannya. Melainkan, karena matahari menjadi mahluk paling ramah sejagat raya jika hari libur bertandang.

Sang surya, dengan kegagahan yang tak pernah berkurang menjadi demikian lembut menyapa penduduk bumi di hari libur. Aku merentangkan tangan, membiarkan matahari yang menerobos sayup lewat jendela bus memamah pori-pori kulitku.

Tiba-tiba berkelebat sebaris pertanyaan di benakku seperti running text di salah satu tikungan yang kami lewati beberapa saat yang lalu, “Sudah cukup bahagiakah diriku?” Aku tercenung, menggerak-gerakkan bola mata sambil mengaduk-aduk isi kepala untuk mencari jawaban.

Bayangan keluarga kecilku timbul di permukaan udara bak layar tembus pandang. Aku menjatuhkan pandangan tepat di gambar transparan itu. Ya, aku punya matahari di rumahku. Istriku, Ratih, yang kuambil perjanjian maha dahsyat atasnya di hadapan ayahnya tujuh tahun silam.

Tak berselang lama, sekitar setahun kemudian, matahari itu melahirkan rembulan pertama untukku, lalu yang kedua dan ketiga. Tiga rembulan itu, anak-anak yang selalu memendarkan berkas-berkas cahaya kebahagiaan di rumah sederhana kami.

Kecuali, bahwa aku memiliki seonggok kenangan suram di waktu silam saat aku seharusnya diguyuri oleh warna-warni keceriaan masa kanak-kanak. Di sepersekian detik berikutnya, aku seolah terlempar dari dunia haru biru penuh tawa ke dalam kubangan sesak sekaligus dendam menjelaga pada sekelumit sosok yang tiba-tiba mengambil alih paksa hati dan pikiranku saat itu juga: bapak.

- Iklan -

Sepeda lungsuran tua itu kukayuh sekuat tenaga di atas jalan berkerikil dengan aspal yang sudah bolong sana-sini. Deretan pohon mulai berlarian ke belakang saat pedal sepeda kukayuh secara membabi buta. Kawananku mulai mengecil oleh jarak, jauh tertinggal belasan meter dan semakin jauh.

Mungkin mereka mengira aku kesetanan, kesambet penunggu kebun pisang tempat kami bermain sesaat tadi karena melarikan sepeda macam tak ada hari esok. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin cepat tiba di rumah. Memastikan ibuku baik-baik saja.

Ingatan-ingatan itu terus berkelindan, berputar seperti gulungan film, lalu dengan seenaknya menayangkan bagian yang paling meremas perasaan. Tiba-tiba aku merasa amat asing di dalam bus kota ini, aku disergap kesedihan yang entah, kesedihan yang perlahan mulai mengiris dan menyajikan potongan-potongan hatiku yang luka bertahun-tahun.

Kucoba mengalihkan perhatian dengan menyapukan pandangan ke penumpang-penumpang lainnya di bus itu, demi tidak membiarkan satu keping memori hadir tanpa aba-aba di hadapanku.

Terlambat. Aku menemukan rumah tidak dalam kondisi baik-baik saja. Tetangga mulai berduyun-duyun memenuhi jalan masuk rumah yang dipagari anyaman bambu. Terlambat sekian waktu, yang entahlah hanya Tuhan yang tahu. Tetapi Tuhan tidak menolong ibuku saat itu. Aku menyalahkan diriku, selain menyalahkan Tuhan, karena terlalu senang bisa pergi menikmati waktu bersama kawan – hal yang jarang bisa kulakukan – dan sejenak melupakan kepenatan rumah. Ibuku meninggal dengan kondisi menyayat hati, kata orang-orang.

Kata mereka pula, ini musibah yang tak pernah disengaja. Tapi kesedihan telah lebih dulu mencengkramku bak ikan yang pupus harapan karena terperangkap jaring nelayan. Mereka menghalauku dari melihat jasad ibu untuk terakhir kalinya.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU