Adakah Maaf untuk Bapak?

Usiaku baru masuk dua belas. Sejak usia itu, hingga saat sudah hampir kepala empat, kesedihan di rongga dada ini selalu berhasil naik ke pelupuk mata mencipta genangan- genangan perih di sebalik kelopaknya.

Aku menangkupkan tangan di muka dan cepat-cepat mengusap basahnya, sedangkan di waktu yang bersamaan aku bersyukur satu bus dengan para penumpang anonim yang hanya peduli dengan urusan masing-masing.

Bapak kemana saat itu? Dialah yang paling kusalahkan atas kepergian ibu. Bapak adalah seorang laki-laki temperamen dengan segala jenis kekasaran yang melekat di definisnya. Bapak apakah langsung mendekam di bui saat itu, aku tak ingin tahu, dan tak akan pernah mencari tahu. Saat itu usiaku hanya lewat sedikit dari angka dua belas.

Aku pergi meninggalkan rumah dan kampung halamanku beberapa hari setelah ibu dikebumikan. Berbekal segaris senyum terakhir ibu yang melepasku pergi bermain, juga api kemarahan pada bapak yang kayu arangnya tak pernah bisa kupadamkan hingga hari ini.

Aku melangkah keluar dari bus dengan suasana perasaan yang buruk. Ratih menyambutku dengan secangkir teh panas dengan sepiring kudapan di sisinya. Ketiga anakku keluar menghambur menggelayut macam tak pernah bertemu semingguan.

Namun, belum lagi benar-benar hilang penatku disapu oleh wajah lucu anak-anak, tiba-tiba terdengar salam dari balik pagar rumah yang sedikit terbuka. Aku melongokkan kepala ke luar pintu, menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas si empunya salam. Selintas lalu, telingaku seakan sudah akrab dengan suara itu.

“Benar ini rumah nak Hendra?”

Seseorang dengan suara berat yang nyaris putus-putus di kerongkongan memastikan diriku langsung. Agaknya, perjalanan panjang nan melelahkan adalah sebab dari suaranya yang hampir habis. Mukanya tergenang peluh, sedangkan rautnya belum tampak jelas di mataku. Aku hanya mengangguk dengan gumaman “iya” yang sedikit ragu.

“Ini Bapak, Nak ….” Lelaki tua itu duduk tersaruk. Air mata tumpah ruah menderasi pipi keriputnya yang telah renta tergilas usia.

- Iklan -

Aku tak bisa berkata-kata.

sebuah karya cerpen berjudul ‘Adakah Maaf untuk Bapak?’ oleh Henny Ratnaningsih yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU