Adukan Jaksa Nakal ke Presiden, Upa Dituduh Halangi Penyidikan Kasus Korupsi

Setelah membaca tulisan Upa Labuhari, Wartawan Anggota PWI yang juga Pengacara, kini menjadi terdakwah kasus pencegahan dan rintangan penyidikan Kejaksaan Negeri Kaur Bengkulu, Nurhayana Kamar, Pemred Majalah Fajar Pendidikan dan www.fajarpendididikan.co.id, tertarik mengetahui lebih jauh, bagaimana hal itu bisa terjadi. Dengan melakukan wawancara khusus lewat sambungan telepon jarak jauh. Berikut petikan wawancaranya.

Nurhayana: Bagaimana sdr terdakwa, dapat dinyatakan sebagai orang yang melakukan pencegahan dan perencanaan kasus penyidikan korupsi di Kabupaten Kaur?

Upa: Saya dinyatakan sebagai terdakwa oleh Kejaksaan Negeri Kaur, karena dianggap telah menulis pengaduan kepada Presiden Jokowi dan Jaksa Agung tentang jaksa nakal di Kabupaten Kaur pada tanggal 16 Juni 2023.

Akibat dari pengaduan tersebut, membuat para jaksa itu, diperiksa berulang-ulang di Jakarta. Sehingga 4 pejabat Kejari Kaur kena mutasi. Dimulai dari Kasi Intel, sampai Kajarinya ikut dimutasi di Kaur Bengkulu.

Karena itu, dengan kekuasaannya sebagai penyidik dan penuntut, mereka dendam dengan saya, dan menangkap serta menuntut saya dengan bukti yang dikarang-karang, karena tidak sesuai dengan hukum acara pidana.

Dan lebih lagi, usaha mereka berhasil dilakukan. Karena didukung dengan kerjasama sesama penegak hukum, dibungkus. Dimulai dari Pengadilan Negeri sampai Pengadilan Tinggi. Inilah pangkal dasar yang menuduh saya sebagai menghalang-halangi dan merintangi pengusutan kasus korupsi di Kaur.

Nurhayana: Bagaimana dengan hasil pengadilan korupsi di Bengkulu dengan adanya tuduhan dari Jaksa Kaur?

Upa: Pada awalnya, saya terdakwa bersama Penasihat Hukum saya, membantah semua tuduhan tersebut, dan menyatakan bahwa pihak Kejaksaan Negeri Kaur tidak bisa membawa saya ke Pengadilan.

Karena kompetensi relatif dari jaksa, sebagaimana yang diatur, dalam pasal 15 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan, jaksa hanya bisa menuntut perkara yang terjadi di wilayahnya.

- Iklan -

Tapi Eksepsi dari saya maupun dari Penasihat Hukum saya, ditolak oleh Pengadilan Negeri Bengkuku. Dengan menyatakan bahwa, dakwaan Jaksa dapat diterima dan Pengadilan dapat dilangsungkan.

Sementara Pengadilan sendiri dalam kompetensinya mengadili perkara ini berdasarkan pasal 84 KUHAP ayat 2 yang menyatakan bahwa Pengadilan berhak mengadili suatu dakwaan Jaksa, karena dalam rangka pengadilan cepat dan biaya murah. Maka pengadilan dapat mengadili walaupun di luar wilayah hukumnya. Karena saksi-saksi yang akan diadakan lebih banyak berada di Bengkulu.

Dengan persidangan yang berlangsung lebih dari 4 bulan setelah Pengadilan menyatakan dirinya berhak mengadili perkara ini, maka dilangsungkanlah persidangan, sejak Desember 2023 sampai April 2024.

Baca Juga:  Bom Molotov di Redaksi Jubi Jayapura, Ancaman Terhadap Demokrasi

Di dalam persidangan, ada 24 orang saksi yang didengar keterangannya. Mereka adalah para Kepala Puskesmas dan Kepala Dinas Kesehatan Negeri Kaur, serta 3 orang Jaksa sebagai Pelapor, dan 4 orang saksi mahkota.

Nurhayana: Lantas bagaimana putusan Pengadilan sehingga Bapak disebut sebagai terbukti sah dan meyakinkan sebagai pelaku usaha mencegah dan menggagalkan kasus korupsi di Kaur?

Upa: Dalam putusan Pengadilan Negeri nomor 52/pidsus_tpk/2024/pn bengkulu, saya terdakwa dinyatakan sah dan meyakinkan terbukti telah melakukan tindak kejahatan pencegahan dan penghentian penyidikan kasus korupsi di Kaur, dengan bukti-bukti yang meyakinkan majelis Hakim bahwa:

  1. Berdasarkan keterangan saksi maupun fakta di persidangan, saya berada di dua lokasi tempat pertemuan untuk menggagas usaha pencegahan dan perencanaan.
  2. Saya menerima uang sogokan sebesar Rp 30 juta untuk menggagas usaha pencegahan.
  3. Saya dinyatakan datang ke Kejari Kaur untuk menghentikan penyidikan kasus korupsi.

Padahal, dalam bukti persidangan, tidak satu pun fakta yang disebut oleh majelis hakim, pernah disampaikan secara jelas dan transparan di persidangan.

Semuanya, tidak pernah menyebut saya, ada di dua lokasi, dimana tempat untuk menggagas usaha merintangi dan mencegah penyidikan. Yang berusaha untuk mencegah, adalah para saksi mahkota.

Tapi kenyataannya dibalik, bahwa sayalah yang dinyatakan sebagai penggagas usaha pencegahan dan perimbangan ini. Dengan demikian, saya dinyatakan sebagai terbukti sah dan meyakinkan sebagai penggagas usaha penghentian ini.

Padahal, data yang disebut majelis hakim adalah copy paste dari dakwaan jaksa, yang tidak terbukti di persidangan. Tapi diambil oleh majelis hakim sebagai fakta yang meyakinkan dan sah.

Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa apa yang disampaikan oleh majelis Hakim adalah merupakan suatu putusan yang menyesatkan Peradilan.

Dan untuk itulah, maka saya dengan kemampuan yang ada, mengadukan persoalan ini ke Komisi Yudisial di Jakarta dengan nomor 293/V/2024/S. Yang kemudian, diterima dengan baik.

Dan sekarang, dalam penyidikan Komisi Yudisial tentang perilaku hakim yang mengadili saya, yang memutarbalikkan fakta dan tidak pernah hadir menjadi hadir. Dan yang tidak disebut bahwa saya datang ke Kantor Kejaksaan untuk maksud merintangi dan memerintahkan jaksa, untuk menghentikan penyidikan.

Data tersebut adalah suatu kebohongan, yang tidak dapat diterima sebagai akal sehat. Dari data keseluruhan, dapat diketahui bahwa, antara Jaksa dan majelis Hakim, sudah berupaya sedemikian rupa untuk menjerat saya, yang tidak terbukti tapi dinyatakan terbukti. Sehingga kawan-kawan saya, menyebut pengadilan atas diri saya, sebagai pengadilan sesat, sebagai pengadilan salah adil.

Baca Juga:  Ingin Jadi Guru? Ini Tugas dan Jenjang Karir yang Perlu Diketahui

Putusan Pengadilan Lebih Tinggi

Nurhayana: Lalu bagaimana putusan Pengadilan Tinggi yang menjatuhkan putusan lebih tinggi dari putusan Pengadilan Negeri yang hanya 3 tahun, tapi Pengadilan Tinggi menambah menjadi 4 tahun?

Upa: Menurut saya, sebagai terdakwa, Putusan Pengadilan Tinggi adalah rangkaian dari pengadilan sesat yang terjadi di PN Bengkulu. Karena data dari Pengadilan Negeri Bengkulu dijadikan dasar yang utama. Sehingga saya dinyatakan sebagai intelektual dader dari peristiwa penghentian dan pencegahan.

Kenapa disebut sebagai intelektual? Karena saya dianggap sebagai orang yang mengetahui di awal untuk merintangi. Padahal data yang ada dalam putusan Pengadilan Negeri bahwa yang pertama kali berupaya untuk diadakan perintangan adalah salah seorang Kepala Puskesmas, yang suaminya adalah anggota Polisi, yang kemudian didukung oleh Kepala Dinas yang meminta kepada 4 orang saksi mahkota, agar mereka bisa melaksanakan usaha pencegahan dan perintangan dengan bekerja sama. Sementara saya sendiri, tidak pernah melakukan apa yang disebut oleh Pengadilan Tinggi.

Untuk itulah, majelis Pengadilan Tinggi juga akan saya adukan ke Komisi Yudisial, sebagai membuat suatu keputusan yang diambil secara sepotong-sepotong dari putusan PN Bengkulu, sudah dimanipulssi dari yang tidak pernah hadir menjadi hadir di dalam pertemuan untuk mencegah penyidikan dan pengusutan kasus korupsi di Kaur.

Nurhayana: Sekarang, bagaimana proses peradilan Bapak, setelah 9 bulan berlangsung?

Upa: Setelah saya menyatakan, tidak menerima putusan Pengadilan Tinggi, maka saya diperkenankan untuk kasasi di Mahkamah Agung, dan ini sudah kami usahakan. Kami sudah mendaftar di Mahkamah Agung dengan nomor 6.

Semoga Mahkamah Agung mengetahui bahwa rekayasa dari Pengadilan Negeri sampai Pengadilan Tinggi, begitu sempurna, tapi begitu kelihatan sebagai hasil rekayasa untuk menyatakan saya sebagai intelektual dader dalam peristiwa pencegahan ini.

Luar biasa hukum kita di Indonesia sekarang ini. Fakta sidang, dari tidak ada, bisa disebut dalam putusan, ada, dan dari ada disebut tidak ada. Pengadilan seperti ini, waktu saya sekolah hukum, disebut sebagai pengadilan sesat atau bisa disebut sebagai pengadilan salah adil. (*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU