Ajari Aku Mencintaimu

“Din, aku lelah hidup seperti ini. Setiap hari aku harus berpura-pura bahagia demi kebahagiaan semua orang.”

Aku menunduk. Dina, sahabatku, menyimak dalam diam semua perkataanku.

Ya, aku adalah gadis berusia dua puluh lima tahun. Pekerjaanku sebagai kasir, membuatku sibuk dan tidak terlalu memikirkan untuk berumah tangga. Namun, bukan berarti aku tidak memiliki kekasih. Adam Wibowo, lelaki jangkung dengan kulit sawo matang, sudah membersamaiku selama hampir dua tahun ini.

Ayah dan ibuku selalu mendesak agar kami cepat menikah. Namun, sepertinya Mas Adam masih enggan untuk berkomitmen. Setiap kali aku tanya kapan dia mau melamarku, dia selalu bilang belum siap. Alasan klise seperti belum punya pekerjaan tetap atau masih mengumpulkan uang, selalu dia kemukakan.

Sudah sering aku yakinkan, kalau menikah itu membuka pintu keberkahan dan rezeki. Namun, semua alibiku selalu dia mentahkan. Entahlah, aku terkadang juga lelah menghadapinya.

Hingga pada suatu hari, tiba-tiba saja supervisor dari tempatku bekerja, berani melamar tanpa sepengetahuanku. Aku merasa kaget dan syok, tetapi tidak dengan kedua orang tuaku.

Mereka terlihat sangat bahagia. Tanpa persetujuanku, Bapak menerima dan memutuskan tanggal pernikahan secara sepihak.

Aku menangis, marah, kecewa, bahkan ingin rasanya memberontak dan pergi saja. Namun, bagaimana nanti nasib kedua orang tuaku. Semua persiapan pernikahan sudah tertata dengan rapi. Bahkan undangan pun sudah disebar. Haruskah aku menghilang begitu saja?

“Mengapa Bapak tidak memberitahu Murni, kalau ada yang melamar?” tanyaku dengan berurai air mata.

- Iklan -
Baca Juga:  Mengenal Risty Tagor, Kehidupan Pribadi, Karir dan Trauma Pernikahan

“Bapak lelah dengan pertanyaan para tetangga, Nduk. Bapak juga bosan dengan pandangan saudara, yang seolah bilang kamu akan menjadi perawan tua. Maafkan atas kelancangan Bapak, Nduk, tapi Bapak yakin Nak Bima itu pria bertanggung jawab,” ujar Bapak dengan mata berkaca-kaca.

Ah, ingin rasanya aku menenggelamkan diri ke dasar lautan saja. Biar aku bisa menikmati hidupku dengan bebas dan lepas. Namun, semua sepertinya hanya mimpi. Kini pesta pernikahan sudah ada di depan mataku.

“Murni tidak mencintai Mas Bima, Pak. Murni sudah punya Mas Adam,” ucapku sambil terisak.

“Pria yang baik tidak akan mengajak wanitanya berpacaran. Pria yang bertanggung jawab tidak akan membiarkan orang yang dicintainya berlumur dosa. Adam memang kamu cintai, tapi dia tidak mau bertanggung jawab pada dosamu. Nak Bima tidak kamu cintai, tapi dia berusaha ingin mengajakmu menuju surga-Nya. Cinta bisa tumbuh karena biasa, Nduk,” ucap Bapak panjang lebar.

Sungguh, menjalani hidup dengan pria yang tidak kucintai tak pernah terpikirkan olehku. Anganku semenjak dulu adalah hidup bersama pria yang aku cintai dan yang mencintaiku.

“Apakah Bima memperlakukanmu dengan buruk?” tanya Dina.

Aku menatap sahabatku itu. Semenjak sekolah menengah pertama, hanya Dinalah yang mengerti diriku. Apa pun masalah yang menimpaku, selalu Dina yang nomor satu aku beritahu. Bahkan kedua orang tuaku pun jarang tahu tentang masalahku.

“Mas Bima baik sekali, tapi aku tertekan saat bersamanya, Din. Ada rasa bersalah dalam hatiku saat membersamainya. Dan yang lebih parah lagi, bayangan Mas Adam selalu melintas di pikiran.” Aku berkata seraya menunduk. Ada air mata yang berusaha kutahan. Malu rasanya terlihat lemah di depan Dina.

Baca Juga:  Mengenal Risty Tagor, Kehidupan Pribadi, Karir dan Trauma Pernikahan

“Bima mungkin tidak sebaik Adam, tapi Bima pria bertanggung jawab. Bukalah hatimu, jangan terlalu mengingat Adam. Agar ada celah untuk cintanya Bima,” ucap Dina, seraya mengelus pundakku.

Aku mendesah, serasa beban yang aku tanggung terlampau berat. Sungguh, berpura-pura bahagia itu tidak mudah. Meskipun lebih sulit untuk berpura-pura langsing.

***

“Sarapan dulu, Dek, biar perutmu tidak sakit,” ujar Mas Bima. Meskipun aku belum bisa melayani sepenuhnya, tapi sikap Mas Bima tetap lembut dan perhatian.

Mas Bima tidak pernah lelah untuk mengingatkanku makan. Bahkan terkadang saat istirahat, dia selalu menyempatkan diri untuk mengajakku makan siang. Entah mengapa hatiku belum bisa menerima semua ini. Bahkan, terkadang aku sangat benci saat melihat sosoknya tidur di tempat tidur yang sama denganku. Ajari aku mencintaimu, Mas, biar hatiku ini bisa terbuka untukmu.

Pagi ini entah mengapa aku menggigil kedinginan. Badanku panas, tapi berkeringat banyak sekali. Mungkinkah penyakit lamaku kambuh lagi?

Dulu, saat aku masih sekolah menengah atas, pernah di vonis terkena typus. Penyakit yang bersumber dari virus ini, bisa saja menyerang di saat kekebalan tubuh menurun. Atau kala kelelahan yang sangat menerpa badanku. Namun, sepertinya sudah lama aku tidak merasakan sakit seperti ini.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU