Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang mengecam tindakan wartawan yang berusaha mengintervensi kasus penembakan yang menewaskan GRO (17), seorang pelajar, oleh polisi. AJI menilai upaya tersebut bertentangan dengan prinsip jurnalisme yang mengedepankan transparansi dan kebenaran.
Keterlibatan wartawan dalam menghalangi publikasi kasus ini terungkap setelah pengakuan seorang kerabat korban yang berinisial S. Menurut pengakuannya, sehari setelah kejadian penembakan yang mengakibatkan kematian GRO, keluarga korban didatangi oleh Kapolrestabes Semarang, Kombes Irwan Anwar, bersama seorang wartawan berbadan gempal pada Senin malam (25/11).
Kerabat korban mengaku telah dikenali oleh pihak keluarga sebagai wartawan yang terlibat dalam pertemuan tersebut. Dalam pertemuan itu, keluarga GRO diminta untuk menandatangani surat pernyataan dan video yang berisi pengakuan bahwa mereka telah mengikhlaskan kematian korban. Namun, keluarga korban menolak permintaan tersebut, karena menurut mereka, pernyataan yang disampaikan oleh Kapolrestabes Semarang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Ketua AJI Semarang, Aris Mulyawan, menganggap tindakan wartawan yang mencoba menutupi kasus ini sebagai pelanggaran serius terhadap profesi jurnalis. Menurutnya, tindakan tersebut tidak sejalan dengan prinsip dasar jurnalisme, yakni menyampaikan kebenaran kepada publik tanpa ada intervensi atau kepentingan pribadi.
“Perbuatan wartawan yang berusaha menutupi peristiwa kematian GRO adalah tindakan yang mencederai profesi jurnalis. Seharusnya, jurnalis mengutamakan kebenaran dalam setiap pemberitaan, bukan ikut campur dalam usaha menutupi fakta,” kata Aris, Selasa (3/12).
Aris juga menjelaskan bahwa tindakan wartawan tersebut dapat melanggar Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 Tahun 1999, yang menjamin kemerdekaan pers sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam Pasal 4 UU Pers, dijelaskan bahwa pers memiliki hak untuk mencari dan menyebarluaskan informasi dan gagasan.
Namun, dalam kasus ini, wartawan tersebut diduga berusaha menghalangi upaya rekan-rekannya untuk meliput peristiwa tersebut dengan alasan bahwa Kapolrestabes Semarang akan merilis kasus ini setelah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Lebih lanjut, Aris mengingatkan bahwa Pasal 18 UU Pers mengancam hukuman penjara hingga 2 tahun dan denda maksimal Rp500 juta bagi siapa pun yang sengaja menghalangi kerja pers secara melawan hukum. “Mirisnya, potensi pelanggaran ini justru dilakukan oleh wartawan itu sendiri,” ungkap Aris.
Selain itu, AJI menilai upaya intervensi wartawan tersebut melanggar kode etik jurnalisme, yang menekankan agar jurnalis tidak menyembunyikan informasi yang penting bagi kepentingan publik.
Kode etik ini juga mengharuskan jurnalis untuk memberikan ruang bagi pihak-pihak yang tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka, serta tidak memanfaatkan informasi yang dimiliki untuk keuntungan pribadi.
“Sikap wartawan tersebut sangat jauh dari tanggung jawabnya sebagai seorang jurnalis,” tegas Aris. Ia pun menyebut kasus ini sebagai tamparan keras bagi wajah jurnalisme di Semarang.
Aris menekankan pentingnya bagi jurnalis untuk selalu berpihak kepada publik dan mengutamakan kebenaran serta keadilan dalam setiap pemberitaan. Tugas jurnalis diatur dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, sehingga jurnalis diminta untuk mematuhi ketentuan yang ada. “Wartawan bukanlah Humas Polri,” tutup Aris. (*)