Therry Alghifary yang merupakan alumni Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (Unhas) angkatan 2007.
Ia merupakan salah seorang alumni yang mempunyai komitmen mewujudkan perdamaian dan pendidikan anti kekerasan.
Komitmen ini ditunjukkan melalui pendirian Yayasan “KITA Bhinneka Tunggal Ika”, sebuah yayasan yang bergerak pada bidang pendidikan anti kekerasan.
Dikutip pada majalah ACTION Edisi Januari 2022, Therry menjelaskan awal mula ketertarikan-nya dalam dunia pendidikan saat memutuskan bergabung dalam program Indonesia Mengajar.
Pengalaman satu tahun mengajar menjadikannya cinta dan menemukan minatnya dalam dunia ke-pendidikan.
“Saat itu saya cukup mengalami pergolakan batin antara meneruskan berkarir sebagai engineer atau terjun ke dunia pendidikan.
Menurut saya, dua bidang ini cenderung berseberangan. Akhirnya, setelah melakukan refleksi, saya memilih jalan pendidikan tersebut sesuai pilihan jiwa kala itu,” jelas Therry.
Lebih lanjut, Therry mengatakan ketika bicara perihal pendidikan, tentu memiliki cakupan yang luas.
Olehnya itu, setelah melakukan berbagai refleksi dan menemukan banyak titik penting yang berhubungan erat dengan konflik kekerasan.
Dari hal tersebut, dirinya kemudian terbayang untuk mendirikan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang membawa misi perdamaian dan pendidikan anti kekerasan.
Lahirlah Yayasan KITA Bhinneka Tunggal Ika yang berfokus pada dua hal, yakni pendidikan perdamaian dan anti kekerasan.
Yayasan KITA Bhinneka Tunggal Ika mempunyai empat program kegiatan yakni aktif meningkatkan kapasitas dan memberdayakan pemimpin muda yang memiliki kepedulian dengan isu perdamaian anti kekerasan, melakukan pelatihan yang berkaitan dengan nilai perdamaian dan pendidikan anti kekerasan untuk guru dan pegiat komunitas pendidikan.
Yayasan ini juga aktif membangun jejaring antara organisasi yang memiliki kepedulian terhadap isu perdamaian dan pendidikan anti kekerasan serta aktif melakukan workshop atau pendidikan edukasi lainnya.
“Tantangan ter-beratnya tidak semua guru maupun pendidik merasa penting dengan hal seperti ini. Biasanya masih banyak penolakan yang kami alami.
Selain itu, kegiatan atau pelatihan seputar isu-isu yang kami angkat dirasa tidak penting sehingga tidak ada antusiasme masyarakat luas untuk terlibat,” tambah Therry.
Therry berpesan kepada para pemuda lainnya untuk menjadi pemimpin, penggerak yang menyebarluaskan isu perdamaian atau dengan membagikan pengalaman kepada orang lain sebagai pembelajaran.
Menurut Therry, ketika kita mampu tangguh, maka orang lain juga dapat tangguh menghadapi situasi tersebut. Olehnya itu, hadirkan ketangguhan yang kolektif sebagai community resilience. (*)