Oleh Akhuukum Fillaah :
Abu Hashif Wahyudin Al-Bimawi
بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ
Para ulama berselisih pendapat mengenai kesahan kurban untuk mayit jika bukan karena wasiat. Dalam madzhab Syafi’iy, kurbannya tidak syah kecuali jika ada wasiat dari mayit.
Imam Nawawi Rahimahullah berkata dalam Al-Minhaj:
وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ، وَلَا عَنْ الْمَيِّتِ إذَا لَمْ يُوصِ بِهَا
“Tidak sah kurban untuk orang lain selain dengan izinnya. Tidak syah pula kurban untuk mayit jika ia tidak memberi wasiat untuk kurban tersebut.”
Kita dapat membagi berkurban untuk mayit menjadi tiga rincian sebagai berikut:
- Berkurban untuk mayit hanya sebagai ikutan.
Misalnya: seseorang berkurban untuk dirinya dan keluarganya termasuk yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Dasar dari bolehnya hal ini adalah karena Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkurban untuk dirinya dan keluarganya, termasuk di dalamnya yang telah meninggal dunia.
Bahkan jika seseorang berqurban untuk dirinya, seluruh keluarganya baik yang masih hidup maupun yang telah mati, bisa termasuk dalam niatan kurbannya.
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam:
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
“Pada masa Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” [HR Tirmidzi no. 1505, Ibnu Majah no. 3138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 1142]
Asy-Syaukani mengatakan: “(Dari berbagai perselisihan ulama yang ada), yang benar, Qurban kambing boleh di niatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.” [Nailul Author, Asy Syaukani, 8: 125, Mawqi’ Al Islam]
2. Berkurban untuk mayit atas dasar wasiatnya (sebelum meninggal dunia)
Hal ini dibolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Qs 2/Al Baqarah (Sapi): 181]
3. Berkurban dengan niatan khusus untuk mayit, bukan sebagai ikutan.
Maka hal seperti ini tidak ada sunnahnya (tidak ada contoh dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Karena Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkurban untuk salah satu orang yang telah meninggal dunia dengan niatan khusus. Beliau tidak pernah berkurban atas nama pamannya, Hamzah Radhiyallaahu ‘anhu, padahal ia termasuk kerabat terdekat beliau. Tidak di ketahui pula kalau beliau berkurban atas nama anak-anak beliau yang telah meninggal dunia, yaitu tiga anak perempuan beliau yang telah menikah dan dua anak laki-laki yang masih kecil. Tidak di ketahui pula beliau pernah berkurban atas nama istri tercinta beliau, Khodijah Radhiyallaahu ‘anha. Begitu pula, tidak diketahui dari para sahabat ada yang pernah berkurban atas nama orang yang telah meninggal dunia di antara mereka. [Di kembangkan dari keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal 12-13]
Syaikh Muhammad bin Rosyid bin ‘Abdillah Al-Ghofiliy dalam buku kecil beliau yang menjelaskan tentang: kesalahan-kesalahan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Di antaranya beliau menerangkan mengenai kesalahan yang di lakukan oleh orang yang berkurban.
Beliau berkata: “Di antara kekeliruan yang di lakukan oleh orang yang berkurban adalah bersengaja menjadikan (niat) kurban untuk mayit (orang yang telah tiada). Ini jelas keliru karena asalnya kurban di perintahkan bagi orang yang hidup (artinya yang memiliki Qurban tadi adalah orang yang hidup, pen). Namun dalam masalah pahala boleh saja berserikat dengan orang yang telah tiada (mayit). Yang terakhir ini tidaklah masalah. Adapun menjadikan niat kurban tadi untuk si mayit seluruhnya, ini jelas tidak ada dalil yang mendukungnya.”
Dalam penjelasan di halaman selanjutnya beliau hafizhohullah menjelaskan: Jika yang berdoa dengan doa, “Ya Allah jadikanlah pahala kurban ini seluruhnya untuk kedua orang tuaku yang telah tiada”, ini sama sekali tidak ada dalil yang mendukungnya, ini termasuk perkara (amalan) yang mengada-ada.
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-ada dalam urusan (agama) kami yang tidak ada dasarnya, maka amalannya tertolak” [Muttafaqun ‘alaih]
[Di ambil dari buku Syaikh Muhammad bin Rosyid bin ‘Abdillah Al-Ghofiliy yang berjudul “Min Akhtoi fil ‘Usyri’, terbitan Darul Masir, cetakan pertama, Dzulhijjah, 1417 H, hal. 20-21].
Sebagian ulama membolehkan niatan Qurban untuk mayit secara khusus karena di anggap seperti sedekah. Di antara yang membolehkan adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Al-Lajnah Ad-Daimah, dan fatwa Syaikh Sholih Al-Fauzan yang kami dengar secara langsung di majelis beliau. Jadi masalah ini masih ada perselisihan, namun kami lebih tentram dengan alasan-alasan yang melarang di atas.
SEDEKAH ATAS NAMA SI MAYIT
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. [Majmu’ Al-Fatawa, 24/314, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H]
Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallaahu ‘anhuma:
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah Radhiyallaahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya…?’ Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.” [HR Bukhari no 2756]
TUNAIKAN SEDEKAH PRODUKTIF
Sedekah Produktif adalah sedekah Jariyyah yang terus mengalirkan Pahala walaupun orang yang bersedekah sudah meninggal dunia.
”Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah Jariyyah, ilmu yang di ambil manfaatnya dan doa anak yang saleh yang selalu mendoakannya.” [HR Muslim]
Sedekah Jariyyah adalah salah satu amalan yang nilai pahalanya tidak akan terputus. Setiap manusia pasti memiliki dosa dan dengan mengusahakan sebanyak-banyaknya miliki amal jariyah, sebagai bentuk cara kita untuk selamat pada hari pengadilan kelak.
Tak semua sedekah dapat dikategorikan sebagai sedekah Jariyyah. Amal sedekah bisa masuk dalam golongan sedekah Jariyyah yang di niatkan ikhlas karena Allah yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain yang akan terus terasa dalam jangka waktu lama. Untuk itu Allah Ta’ala memberikan ganjaran keistimewaan yang luar biasa untuk ini.
MUSHAF AL-QURAN SANTRI KIAN USANG, YUK BERSEDEKAH…!
Tak sedikit para santri yang semangat belajar membaca Al-Quran. Sayangnya, mereka harus belajar menggunakan beberapa mushaf Al-Quran yang mereka miliki telah usang dan robek. Terkadang mereka harus mengumpulkan dan menyambung lembar demi lembar mushaf yang robek dan terputus agar bisa tetap mereka pakai.
Sebagai umat muslim, apakah kita hanya mau tinggal diam melihat kondisi Mushaf Al-Quran yang sedemikian adanya…?
“Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan menemuinya setelah kematiannya adalah: ilmu yang diajarkan dan disebarkannya anak shalih yang ditinggalkannya, mushaf Al-Quran yang diwariskannya…” [HR Ibnu Majah dan Baihaqi]