Salah satu implementasi jihad di jalan Allah, adalah berperang melawan musuh. Namun, sebetulnya ada amalan yang pahalanya menyamai amalan jihad. Bahkan dinyatakan sebagai ‘jihad’ paling utama. Amalan ini sekaligus berarti setara bahkan lebih utama daripada ibadah haji.
Baginda Rasulullah saw. bersabda: أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama adalah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
Beliau pun bersabda:
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ وَ رَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَاَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
“Pemuka para syuhada (mujahid yang wafat fi sabilillah) adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa lalim, kemudian ia memerintah dan melarang penguasa tersebut, lalu penguasa itu membunuh dirinya.” (HR at-Tirmidzi).
Untuk aktivitas mulia di atas—menasihati penguasa lalim dan menyatakan kebenaran di hadapannya—sebetulnya tak perlu mengorbankan harta yang besar, sebagaimana dalam menunaikan ibadah haji. Tinggal kemauan dan keberanian menanggung risiko. Di antaranya kematian (mati syahid).
Sayangnya, justru tidak banyak orang, termasuk para haji, yang merindukan aktivitas mulia ini, apalagi merindukan mati syahid sebagai ”cita-cita besar” hidupnya.
Padahal di antara tanda haji yang mabrur, kata Imam al-Hasan, adalah, “Ia yang kembali dari berhaji menjadi seorang yang zuhud terhadap dunia dan merindukan akhirat.” (As-Suyuthi, Dûrr al-Mantsûr, I/473; al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, II/408).
Bahkan ulama, yang sejatinya memiliki peluang besar untuk itu, juga tak banyak yang menunaikan ‘jihad’ terhadap penguasa lalim ini. Buktinya, saat banyak penguasa lalim berdiri langsung di hadapan mereka—dengan terus menzalimi rakyat; tetap menerapkan hukum-hukum kufur dan enggan menerapkan hukum-hukum Allah SWT secara kâffah—sedikit sekali ulama yang secara berani, terus-terang dan tegas menasihati serta meluruskan penguasa lalim itu. Kebanyakan justru tetap diam membisu. Bahkan ada di antara mereka malah dengan sukarela menjilat penguasa zalim.
Aspek Politik Haji
Selain merupakan aktivitas ritual yang sarat dengan nilai-nilai spiritual, ibadah haji sesungguhnya mengandung muatan politik. Di antaranya aspek persatuan umat sedunia. Bisa disaksikan, bagaimana persatuan umat sedunia saat pelaksanaan ibadah haji. Tidak ada lagi sekat-sekat warna kulit, batas-batas kebangsaan, perbedaan suku, perbedaan bahasa, orang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat biasa, maupun sekat-sekat lainnya. Semua sama. Berbaur menjadi satu dan sederajat. Semua sadar, hanya satu yang menyatukan mereka, yaitu akidah Islam.
Jika kesadaran itu ditransformasikan dalam kehidupan nyata, maka di hadapan sesama Muslim, umat Islam akan merasa sama. Sebaliknya, mereka akan merasa superior di hadapan orang-orang kafir. Mereka tidak rela jika tanah dan harta mereka dirampok oleh negara-negara kafir penjajah. Mereka juga tidak akan rela jika saudara mereka dibantai atau ditangkap dan dipenjarakan atas kehendak negara-negara kafir penjajah sekalipun dilakukan dengan menggunakan tangan saudara mereka, sesama Muslim.
Jika kesadaran itu ada, mereka pasti bangkit dan merdeka. Semua kekuatan yang menghalangi kebangkitan mereka pun akan mereka taklukkan, termasuk para penguasa antek penjajah.
Ketika dua Tanah Haram, Makkah dan Madinah, dijadikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah haji dan ziarah bagi jamaah haji, maka mereka yang mempunyai modal pengetahuan sejarah tentang kedua tanah itu pasti akan merasakan pengaruh yang luar biasa dalam diri jamaah haji.
Betapa tidak , di sana mereka bisa menyaksikan langsung lembah Aqabah, tempat Nabi saw. dibaiat menjadi kepala Negara Islam pertama. Mereka juga bisa menyaksikan Hudaibiyah, tempat Perjanjian Hudaibiyah dilakukan, yang menjadi pintu masuk Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah). Kemudian di Madinah jamaah haji akan menemukan Masjid Nabawi yang menjadi pusat pemerintahan Nabi saw.
Manakala jamaah haji memahami sejarah yang terjadi di masing-masing tempat tersebut dan bagaimana perjuangan Rasulullah saw., tentu semangat dan kesadaran politik mereka akan bangkit. Mereka sadar bahwa Nabi saw. dan generasi terbaik umat ini dulu mendirikan Negara Islam dimulai dengan perjuangan yang luar biasa.
Semua itu seharusnya dapat melecutkan semangat dan kesadaran yang membuncah dalam diri jamaah haji. Dengan begitu, ketika berhaji, mereka tidak sekadar mendapatkan haji mabrur, tetapi juga menjadi pribadi yang di dalam dirinya telah tertanam semangat, kesadaran dan tekad yang kuat untuk membela Islam dan mengembalikan kejayaan Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saw. dan para Sahabat.
Dengan demikian seharusnya setelah pulang berhaji, semangat persatuan umat Islam sedunia itu masih membekas, kemudian diceritakan dan disebarkan kepada seluruh umat Islam di negeri masing-masing.
Tentu agar menginspirasi untuk segera mewujudkan persatuan umat. Jamaah haji adalah entitas yang paling mungkin melakukan itu.
Pasalnya, dengan mata-kepala sendiri mereka saksikan sendiri betapa hebatnya aura persatuan umat Islam.
Karena itu sangat mendesak untuk menguatkan pemaknaan politis ibadah haji. Tentu agar ibadah haji tak hanya sebatas ritual semata, tetapi juga memberikan atsar yang besar mengenai pentingnya umat Islam untuk bersatu dalam satu institusi politik yang satu.
Itulah Daulah Khilafah álâ minhâj an-nubuwwah yang akan menjamin keadilan, mewujudkan kesejahteraan, menyebarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia serta menebarkan rahmat bagi seluruh alam.
Hikmah
Rasulullah saw. bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
“Wahai umat manusia, sungguh aku telah meninggalkan bagi kalian perkara yang jika kalian pegang teguh, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). (Buletinkaffah251/ana).