Udara pagi masih segar saat murid laki-laki dari SDN 01 bermain sepak bola penuh sukacita. Di pojok lapangan Wekwek yang kini sudah berumur sembilan tahun sedang duduk manis mengamati teman-temannya bermain. Di sampingnya 23 ekor bebek miliknya sedang berburu anak kodok di sawah yang baru di panen.
Tiba-tiba bola melayang di atas kepala Wekwek hasil sepakan ngawur dari seorang teman yang meluncur seperti roket terbang ke awan.
“Weeeeeek,” teriak teman-temannya berjamaah.
Wekwek mengerti apa arti dari teriakan itu. Untuk yang ke sekian kalinya dengan satu gerakan cepat seperti kijang, Wekwek berlari mengambil bola yang jatuh di tengah sawah, dengan cepat pula Wekwek mengembalikannya ke tengah lapangan.
“Ayo, Wek main sama-sama,” ajak Ilham.
Wekwek tersenyum girang. Selama ini ia hanya menjadi anak gawang yang tugasnya mengambil bola yang keluar dari habitatnya.
Belum juga Wekwek menendang bola, guru olahraga sudah meniupkan peluit panjang. Semua anak-anak lari meninggalkan lapangan. Wekwek berdiri mematung di tengah lapangan seorang diri. Persis seperti tiang gawang: tidak berkutik.
Dari kejauhan Ilham melambaikan tangan ke arahnya. “Nanti 17 Agustus ikut lomba lari ya Wek.”
Wekwek hanya mengangguk.
Kemudian Wekwek berbalik arah berjalan pelan sambil menundukkan kepalanya memandangi kakinya yang berpupur lumpur sebelum kembali duduk di pojok lapangan. Cukup lama Wekwek melamun bagai orang-orangan sawah: mematung.
Tanpa disadari air matanya jatuh. Lalu Wekwek mengusapnya dengan bajunya yang sudah berumur dua hari menginap di badannya. Sungguh Wekwek tidak menyangka akan kehilangan kegembiraannya saat memakai seragam merah- putih saban pagi bersama Ilham. Terceritalah kenangannya yang tercecer dua tahun silam.
***
“Weeeeek… Sebentar lagi jam tujuh,” teriak Ilham yang sudah siap berangkat ke sekolah dengan sepeda barunya. “Ayo, Wek sebentar lagi masuk.”
“Aaaa. Aaaa. Aaaa,” balas Wekwek dengan bahasa isyarat yang menggerakkan tangannya ke mulut.
“Kamu belum sarapan?” Wekwek mengangguk.
“Mak, Wekwek belum sarapan,” teriak Ilham.
“Kebiasaan. Dasar anak jadah,” kata seorang perempuan dalam hatinya yang sedang asyik menonton acara gosip di televisi. Kemudian ia berteriak lantang, “Aku bukan mamanya!”
Tidak beberapa lama seorang lelaki kurus bertelanjang dada yang di kampungnya mendapat panggilan Kerempeng muncul dari dalam rumah. Ia menghampiri Wekwek lalu menyerahkan plastik keresek berwarna hitam.
“Ayo Wek, nanti terlambat,” ujar Ilham sambil menggenjot pedal sepedanya. Wekwek mengikutinya dari belakang sambil berlari.
Kerempeng masih berdiri menatap anaknya dengan mata merah bata. Ilham sudah tidak terlihat sejak di belokan jalan. Wekwek masih berlari sambil memegang erat plastik keresek hitam berisi buku, pensil, dan dua telur bebek yang sudah direbus.
Sesampainya di dalam kelas Wekwek duduk seorang diri. Para orang tua murid yang mengantar anaknya masuk sekolah di hari pertamanya, melarang keras
anaknya duduk di samping Wekwek. Guru kalasnya tak mencegahnya. Sebaliknya, ia membiarkan Wekwek kesepian tanpa kawan. Sementara Ilham teman sebangkunya kini tidak bisa lagi bersamanya. Ia sudah naik kelas. Sedangkan Wekwek tidak.
Di dalam kelas Wekwek seperti orang asing yang terasing. Ia duduk seperti batu tak berkutik. Selama dua jam ia hanya memandangi sepatunya yang kotor dan bolong. Jalannya jam seperti mobil terjebak macet: lambat minta ampun. Barulah setelah lonceng berbunyi sebagai pesan semiotik bahwa anak-anak kelas satu sudah boleh pulang.
Berhamburan anak-anak seperti laron menemukan kebebasannya. Mereka bersorak-sorai bersukacita sambil bernyanyi-nyai kecil hasil pelajaran pertama yang didapatnya. Di dalam kelas sepatu Wekwek basah oleh air mata.
Ketika hanya menyisakan dirinya seorang, guru kelasnya menghampiri dan berujar: Wekwek besok tidak usah masuk lagi ya. Kamu sudah tidak diizinkan sekolah.
Wekwek baru mengerti pagi ini akan menjadi hari terakhirnya bersekolah.
Di rumahnya Kerempeng tidak bisa menahan anaknya pergi ke sekolah. Ia tidak sampai hati memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Awalnya ia akan berterus terang tapi melihat anaknya terlelap sambil memeluk seragam sekolahnya telah meluluhkan hatinya malam itu.
Sepanjang malam ia hanya mengamati rapor anaknya yang semua nilai pelajarannya berwarna merah darah. Kecuali pelajaran kesenian yang mendapat nilai lumayan.
Seminggu sebelumnya Kerempeng mendapat undangan untuk menerima rapor hasil belajar anaknya. Di sana ia sudah ditunggu oleh Kepsek dan beberapa orang guru.