“Jadi begini, banyak aduan dari masyarakat supaya Wekwek, eh, maaf, siapa nama anak Bapak?”
“Ridho, Pak!”
“Ya, Ridho. Banyak warga yang memberi saran kepada kami supaya Ridho dikeluarkan dari sekolah. Bahkan ada warga yang mengancam tidak akan
menyekolahkan anaknya di sini jika anak Bapak tidak dikeluarkan. Bisa tutup nanti sekolah kebanggaan kita ini, Pak.”
Kerempeng diam mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.
“Wekwek, eh maaf, Ridho maksudnya, itu tunawicara. Tidak bisa bicara. Apalagi ada desas-desus tidak mengenakan di kampung tentang sejarah anak Bapak yang jad…”
“Sudah cukup, Pak,” potong Kerempeng dengan wajah merah padam. “Jangan ungkit lagi sejarah anakku. Jika sekolah ini tidak bisa menerima Ridho, maka biar alam yang mengajarinya pengetahuan,” bentaknya yang membuat Kepsek tenggelam oleh kacamatanya yang tebal.
Sepanjang jalan pulang Kerempeng menggerutu menunjukkan kekesalannya. “Asu teles. Ngina wong melerat. Gusti Allah sing nyakseni.” Gerutunya dengan logat Banyumasan yang ngapak.
Bagi Kerempeng yang membuat hatinya perih bukan lantaran warga kampung memanggil anaknya Wekwek karena waktunya dihabiskan untuk mengangon bebek peliharaannya. Tidak juga karena anaknya tidak bisa bicara, melainkan satu sebutan yang membuat dirinya terhina jatuh berkeping-keping: jadah.
Kadang jika ada warga kampung yang usil memanggil anaknya dengan sebutan “jadah”, ingin sekali Kerempeng merobek mulut orang itu menjadi dua. Tapi ia tidak punya kuasa. Mengingat sebutan itu bisa ditolak kebenarannya.
Tujuh tahun yang lalu, Wekwek yang masih berusia hitungan hari ditemukan di tengah ladang jagung oleh seorang warga, yang kebetulan sedang berburu burung puyuh di malam hari. Esok harinya polisi bergerak cepat. Hanya dalam hitungan jam, ibunya yang tega membuangnya di ladang berhasil diringkus.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan oleh pihak kepolisian, perempuan itu mengakui bahwa dirinya dengan sengaja membuang bayinya karena hasil hubungan gelap. Warga sudah menduganya. Bagaimana mungkin seorang istri yang ditinggal suaminya bertahun-tahun merantau ke Kalimantan bisa hamil.
Betapa terkejutnya Kerempeng mendengar kabar buruk tentang istrinya. Awalnya ia tidak percaya. Ia memutuskan pulang kampung untuk mendapatkan cerita yang sebenarnya. Di hadapan Kerempeng istrinya mengakui perbuatannya.
Mungkin sudah kepalang cinta, Kerempeng memaafkan perbuatan istrinya yang telah main serong. Namun, nasi telah menjadi loyang. Istrinya bunuh diri dalam tahanan. Barangkali tidak kuat menanggung malu dan rasa bersalah pada suaminya.
Tidak ada pilihan bagi Kerempeng selain mengasuh bayi hasil selingkuhan istrinya setelah diadakan musyawarah oleh sesepuh desa. Awalnya warga menolak bayi tersebut. Warga percaya perbuatan zina akan membuat 40 tetangganya baik depan, belakang, kanan, kiri ikut terkena kutukan: dilaknat langit.
Kerempeng memohon belas kasih supaya dirinya bisa merawat bayi yang tidak berdosa hasil perbuatan laknat istrinya. Sejak saat itu, ia mengasuh bayi itu layaknya anak sendiri dengan seluruh konsekuensinya: dikucilkan.
Betapa malang bayi yang dibuang di ladang saat sudah besar tidak dapat menyebutkan namanya sendiri. Ia bisu sejak kecil. Semua warga kampung percaya bahwa itu adalah azab dari langit. Tanda kutukan telah bekerja. Semua warga siaga satu.
Saat Wekwek sedang melamun meratapi nasibnya yang kurang baik, dari kejauhan tampak seorang lelaki berbadan kurus yang gemar bertelanjang dada berjalan ke arahnya.
“Aaaa… Aaaa,” teriak Wekwek pada Bapaknya yang mudah dikenali dari perawakannya.
Setelah menghampiri Wekwek, Kerempeng memberikan kantong keresek berisi sebungkus ponggol. “Buat makan siang, ya,” katanya. “Sudah sana pulang biar Bapak yang angon bebek,” ujarnya lagi.
Wekwek mengambil topi sawahnya dan menyerahkan tongkat komandonya yang panjangnya hampir tiga meter kepada Bapaknya.
***
Hari kemerdekaan Republik Indonesia telah tiba. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Desa Kali Banteng ambil bagian memeriahkan kemerdekaan Republik. Berbagai lomba disiapkan.
Namun, lomba balap lari yang paling ditunggu warga. Mengingat pemenang lomba dari balap lari akan diikut sertakan ke tingkat kecamatan untuk diadu dengan para jawara lari dari berbagai desa.
Wekwek akan tampil sebagai salah satu peserta untuk kategori anak. Tua muda berkumpul sepanjang jalan desa untuk menyaksikan balap lari. Para orang tua menyemangati anaknya yang ikut serta. Namun, tidak dengan Wekwek.
Kerempeng memilih angon bebek di sawah. Ia tidak tahan jika orang-orang mengolok-olok anaknya. Guna memberi semangat Ilham tidak henti menyemangatinya.
Apa yang di khawatirkan Kerempeng menjadi kenyataan. Benar saja baru saja Ridho menampakkan hidungnya salah seorang warga sudah menghujatnya, “Wek kamu lebih pantas balap lari sama bebek di sawah.”
“Hahaha…” Tawa berjamaah pun meledak.
“Kamu pasti bisa, Wek,” bisik Ilham menyemangati kawannya.
“Jangan panik. Jangan takut. Mantapkan hatimu. Kuatkan kakimu. Jangan lihat kiri kanan. Jangan pedulikan suara orang yang kamu dengar. Anggap saja mereka pepohonan,” bisiknya lagi.
Peluit panjang dibunyikan sebagai tanda lomba lari telah dimulai. Hanya dalam hitungan menit Ridho sudah sampai di garis finis.
Semua orang yang menyaksikan terlongo-longo. Panitia lomba tidak percaya apa yang baru saja dilihatnya. Panitia maju ke depan dan meminta semua peserta mengulangi dari awal. Hasilnya sama persis Wekwek meninggalkan jauh lawan-lawannya.
Salah seorang warga mengusulkan Wekwek harus diadu dengan orang dewasa, dan dengan lintasan lari yang lebih panjang. Panitia setuju.
“Bocah jadah ini dibantu oleh makhluk halus. Jin. Koe ngerti jin?” kata seorang warga yang menghampiri Wekwek sambil mendelik.
Kini Wekwek berdiri bersama 10 peserta orang dewasa. Lintasan lari untuk kategori ini ialah berlari mengitari Desa Kali Banteng sampai kembali ke tempat start. Tiba-tiba seorang warga berpakaian hitam lengkap dengan ikat kepala masuk ke dalam arena pertandingan sambil berteriak-teriak, “Copot sepatu anak jadah. Setan penunggu hutan Lampir bersembunyi di dalam sepatunya.” Panitia setuju dan meminta Wekwek melepaskan sepatunya.
Pritttt… Peluit dibunyikan.
Wekwek memimpin jalannya pertandingan. Panitia mengikutinya dari belakang dengan menggunakan motor. Dari kejauhan Wekwek menghentikan langkahnya. Kakinya bercucuran darah. Ia tertinggal jauh oleh peserta lainnya.
Aku memejamkan mata saat Ridho berlari sambil terpincang-pincang. Semua peserta sudah tak terlihat, mereka sudah hilang di balik tikungan sawah.
Di luar dugaan banyak orang Wekwek kembali memimpin meninggalkan jauh peserta orang dewasa di belakangnya. Semua orang mendadak menjadi bisu masih tidak percaya apa yang dilihatnya. Sesampainya di garis finis Wekwek diserbu warga.
Mereka ramai-ramai melemparkan Wekwek ke udara. Hidup Wekwek…hidup Wekwek. Begitulah warga meneriakkan yel-yel. Sambutan meriah diberikan semua orang kepada Wekwek.
“Ini pahlawan Kali Banteng nanti di kecamatan.” “Hidup Wekwek…”
“Merdeka…”
Wekwek tersenyum girang.
Penulis : Ade Mulyono