Oleh Akhuukum Fillaah:
Abu Hashif Wahyudin Al-Bimawi
بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ
Hukum berkurban adalah sunah muakkadah menurut pendapat yang kuat (rajih). Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama (jumhur). Sehingga orang yang meninggalkannya tidak berdosa. Hanya saja, para ulama mewanti-wanti kepada mereka yang mampu kemudian tidak berkurban bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang sangat makruh.
Sebagian ulama berpandangan wajib untuk yang berkemampuan. Mereka berdalil dengan hadits:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang memiliki kemampuan namun tidak berqurban, makan jangan sekali-kali mendekat ke tempat sholat kami.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi.
Namun pendapat kedua ini dipandang lemah karena:
Hadits di atas dinilai lemah (dha’if) oleh para ulama hadits. Karena di antara perawinya terdapat Abdullah bin ‘Ayyas, yang di nilai sebagai perawi yang lemah.
Sebagaimana keterangan dari Syaikh Syu’aib al-Arnauth Rahimahullah: “Sanad hadits ini lemah. Abdullah bin ‘Ayyas (salah seorang rawinya) dinilai lemah. Dia juga mengalami kekacauan dalam periwayatan hadits ini. Keterangan selanjutnya akan dipaparkan dipembahasan takhrij.” Kemudian beliau melanjutkan, “Syaikh Al-Al-Albaniy menilai hadits ini hasan dalam Takhrij Musykilah al-Faqr. Namun beliau keliru dalam penilaian tersebut.” [Ta’liq Musnad Imam Ahmad 2/321]
Terdapat riwayat shahih, bahwa Abu Bakr, Umar, Ibnu Abbas, dan beberapa sahabat lainnya tidak berkurban. Karena mereka khawatir kalau berkurban dianggap suatu yang wajib.
Imam Thahawi menyatakan:
وروى الشعبي عن أبي سريحة قال رأيت أبا بكر وعمر ـ رضي الله عنهما ـ وما يضحيان كراهة أن يقتدى بهما.
“Asy-Sya’bi meriwayatkan dari Suraihah, beliau berkata: “Saya melihat Abu Bakr dan Umar Radhiyallaahu ‘Anhuma tidak berqurban. Karena tidak ingin orang mengikutinya (pent. menganggapnya wajib).” [Mukhtashor Ikhtilaf al-Ulama 3/221[
Abu Mas’ud Al-Anshori pernah mengatakan:
إني لأدع الأضحى وأنا موسر مخافة أن يرى جيراني أنه حتم علي.
“Sungguh saya pernah tidak berkurban padahal kondisi saya mampu. Karena saya khawatir tetanggaku akan berpandangan bahwa berqurban itu kewajiban.” [Ahkam al Quran, Al-Jasshos, 5/85]
Ibnu Umar menegaskan:
ليست بحتم ـ ولكن سنة ومعروف
“Berkurban bukan sebuah kewajiban. Namun hanya sunah yang ma’ruf.” [Ahkam Al-Quran, al-Jasshos, 5/85]
Oleh karenanya yang lebih tepat, hukum berqurban adalah sunah muakkadah. Sementara makna sunah dari sudut pandang fiqih adalah, perbuatan yang bila di kerjakan berpahala, bila di tinggalkan tidak berdosa. Sehingga meninggalkannya tidak berdosa meskipun kondisinya mampu. Hanya saja hukumnya sangat makruh. (*)