Anggota Komisi XI DPR RI, Kamarussamad, mengingatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, agar tidak gegabah dalam memberikan masukan kepada Presiden Jokowi, terkait kebijakan harga BBM subsidi.
Menurut Kamarussamad, seperti yang dilansir dari Repelita.com, Sri Mulyani terlihat ngotot sejak awal untuk mengerek naik harga BBM subsidi, pertalite dan solar. ‘’Perlu berpikir, secara negarawan, cermat dan hati-hati. Karena ini masalah sensitif. Bersikaplah sebagai negarawan,” harap Politisi Partai Gerindra ini, 29 Agustus 2022.
Menurut Kamarussamad, mengelola negara bukan sekadar angka-angka bak pedagang. Namun memikirkan bagaimana dampak sebuah kebijakan terhadap rakyat kecil. Suka atau tidak, ongkos ekonomi, ketika pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, sangat mahal. Karena jumlah rakyat miskin bakal bertambah.
Kamarussamad membeberkan data. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Maret 2022, jumlah penduduk miskin Indonesia tercatat sebesar 26,16 juta orang. Turun dibandingkan September 2021, 340.000. Dibanding Maret, turun lagi sebesar 1,38 juta.
Lalu yang manakah kategori miskin? Yaitu yang berpendapatan Rp 505.569/kapita per bulan. Komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp 374.455/kapita per bulan. Atau 74,08 persen. Sedangan garis kemiskinan bukan makanan Rp 131.014/kapita per bulan.
Lalu bagaimana bila pertalite dan solar naik lagi? ‘’Kalau BBM naik sekitar 30 persen saja, angka kemiskinan yang tadinya sudah turun, akan naik tajam. Karena harga pangan bakal naik tinggi,” ucap Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (DAPIL) DKI Jakarta III ini.
Kamarussamad membeberkan data lagi. Melonjaknya harga (inflasi) saat pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 30 persen pada 2013 dan 2014. Kala itu, inflasi melompat hingga 16 persen. Akibatnya, angka kemiskinan bertambah menjadi 400.000 – 860.000 jiwa. Dia mengingatkan Menkeu dan pemerintah, perlu hati-hati. Angka kemiskinan tadinya sudah turun 340.000 jiwa, bakal bertambah 800.000 jiwa bila harga BBM naik.
Perlu Diluruskan
Politisi Partai Gerindra itu pun mempertanyakan argumentasi Sri Mulyani bahwa tidak ada jalan lain kecuali menaikkan harga BBM, demi menyelamatkan APBN. ‘’Dimana anggaran energi naik sebesar Rp 350 triliun menjadi Rp 502 triliun?” tanyanya.
‘’Pemerintah selalu bilang subsidi Rp 502 triliun bakalan habis. Ini perlu diluruskan,” tegasnya. Alokasi subsidi energi sebesar Rp 208 triliun, katanya, baru terserap subsidinya sebesar Rp 75,59 triliun. Artinya, masih ada anggaran subsidinya, bahkan gede sekali. ‘’Lalu kenapa BBM subsidi harus dinaikkan? Ini tanda tanya besar sekali,” tutur Kamarussamad.
Menurutnya, bila pemerintah nekad menaikkan harga BBM bersubsidi per September ini, tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab bila harga BBM naik, pemerintah harus mengeluarkan dana jumbo untuk bansos dan bantuan langsung tunai (BLT) bagi warga miskin. ‘’Sesalai masalah di kantong kanan, tapi bocor lagi di kantong kiri,” katanya.
Jaringan Aktivias Pro Demokrasi (ProDem) juga mengingatkan pemerintah, agar tidak menaikkan harga BBM dalam waktu dekat. ‘’Masyarakat belum siap bila harga BBM naik. Sebab saat ini, ekonomi rakyat belum sepenuhnya pulih pasca Covid – 19 masuk ke Indonesia,” tutur Iwan Sumule, Ketua Majelis Prodem, dikutif dari Repelita.Com.
Bantuan Langsung Tunai pun, ucap Iwan di akun twitter pribadinya, tidak berdampak. Sebab daya beli rakyat turun sejak pandemi Covid-19. Sedangkan harganya minyak sekarang, katanya, USD 83/barel, turun dari acuan APBN 2022 sebesar USD 100/barrel.
Evaluasi terhadap usulan kenaikan BBM, sedang dilakukan. Sejumlah menteri melakukan rapat membaahas hal tersebut, pada 24 Agustus 2022 di kantor Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto. Seperti yang dilansir CNBC, menteri yang hadir pada rapat tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Hadir pula Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu. Menurut Airlangga, hasil evaluasi akan dilaporkan kepada Presiden Jokowi minggu ini. (ANA)