Angsa Merah

Pujian demi pujian didapat sang putri dari para bangsawan ketika berjalan menuju tempat duduknya. Sang putri hanya menanggapi dengan senyuman. Acara dilanjutkan dengan pidato dari raja kerajaan mereka, dan pesta dansa dari para bangsawan.

“Hai semua!”

Sebuah suara menghentikan seluruh aktivitas. Mereka semua melihat ke arah panggung, dan itu adalah sang putri yang berdiri dengan ceria. Kedua pangeran terkejut sejenak karena kakak perempuan mereka tiba-tiba sudah tidak berada di tempat duduknya.

“Saya ingin menyampaikan bahwa malam ini adalah malam yang sangat istimewa.” Sang putri melihat kedua orang tuanya, sang raja dan sang ratu membalas melihat putrinya dengan bangga.

“Apa yang ingin kamu buat, tuan putri?” seorang bangsawan dengan perut buncit bertanya.

“Saya ingin membuat pertunjukkan api yang indah di bawah malam bersama kalian.” Jawab sang putri dengan singkat namun berkesan.

Semua orang menyambut pertunjukkan yang akan dipertontonkan oleh sang putri mahkota. Musik mulai bermain oleh perempuan harpa, gelandangan harmonika, dan wanita pemain biola.

Sang putri mulai menari dengan selendang berwarna merah. Perempuan harpa sangat senang karena dia dapat membuat bulan terhibur dengan permainan harpanya. Si gelandangan harmonika merasa senang karena malam telah datang, malam yang dingin dan gelap.

Sedangkan wanita pemain biola sangat senang karena dia dapat bermain biola dengan bebas untuk bintang-bintang. Dan sang putri sendiri senang karena dia menari bagaikan seekor angsa merah.

- Iklan -

“Para manusia terbakar~ para manusia menjadi daging~ kita semua bermain dengan api~ kita semua bahagia~ penari wanita menjadi api~ para penonton menari dengan api~”

Nyanyian sang putri sangat indah hingga menghipnotis siapapun yang mendengarnya. Sampai tiba-tiba panggungnya mulai memunculkan api yang sangat besar hingga para penonton berteriak ketakutan termasuk keluarga kerajaan.

Mereka berlari ke sana dan ke mari, sedangkan musik masih bermain dan sang putri masih menari. Api dengan cepat menyebar ke meja-meja para bangsawan. Rumput dan pohon mulai terbakar, semua orang sibuk menyelamatkan diri mereka sendiri.

Tiba-tiba terjadi banyak ledakan, dinding berlapis emas dan istana mulai terbakar, begitu juga dengan pagar masuk istana. Kuda-kuda

berlarian karena panik, semua orang menjadi gila. Tidak ada jalan keluar karena semuanya dihalangi oleh api.

“Bunuh wanita yang menari itu!” perintah sang raja. Dia bahkan sudah tidak mengingat jika memiliki seorang putri.

Para pemain musik masih memainkan musiknya, perempuan harpa tidak berbicara tentang keadaan saat ini, gelandangan harmonika tidak mendengar apa yang diteriakan orang- orang dan wanita pemain biola tidak melihat apa yang sedang dilakukan orang-orang.

Mereka bertiga bermain untuk malam yang indah, bagai siap untuk mati dengan bahagia malam itu juga. Sang putri sendiri seolah bisu, tuli, dan buta. Dia hanya terfokus kepada tariannya. Para pangeran sudah berada di hadapannya dengan pedang dan baju baja.

Sang putri mulai merasa berdebar karena jantungnya akan dirobek oleh para pangeran berlapis baja. Dia menari di panggung api tanpa ada rasa takut. Sampai sebuah panah menancap dengan tepat di dada sang putri.

“Sepertinya aku baru saja dipanah oleh cupid.” Lirih sang putri, “Aku senang karena semua orang menari dengan bahagia di malam ini.”

Gaun sang putri mulai terbakar oleh api, tetapi dia tidak ada niat untuk beranjak pergi. Ah, angsa merah itu sedang menari atas kehidupan keduanya di dalam pikirannya saat ini dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Sungguh dunia sangat indah untuk ditinggali.

Aku melihat cerita pendek milik kakakku di layar ponselnya dengan aneh. Cerita ini sangat ambigu, begitu juga dengan akhir ceritanya. Ini hanyalah sebuah cerita tentang seorang putri gila yang ingin mengakhiri hidupnya dengan indah. Aku sangat heran dengan cara berpikir kakakku.

“Sepertinya hujan telah berhenti.” Ucapku saat melihat dari dalam jendela.

Saat aku membaca cerita aneh milik kakakku, aku tidak menyadari bahwa hujan telah berhenti di luar. Tapi seketika aku langsung terdiam ketika melihat kakak sedang menari di

atas genangan air, seragam sekolahnya menjadi kotor dan basah. Dia mencipratkan genangan air ke segala arah.

“Para angsa bernyanyi~ para angsa menari~ para angsa tenggelam di lumpur dengan suka cita~”

Kakakku bernyanyi dengan bahagia. Aku langsung tidak bisa berkata-kata lagi untuk ini. Mungkin aku akan mengadu kepada ayah atau ibu untuk membawa kakak ke psikiater.

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Angsa Merah’ oleh Aninda Alifia Restiawan yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU