Oleh Akhuukum Fillaah :
Abu Hashif Wahyudin Al-Bimawi
بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ
Benarkah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan puasa awal Dzulhijjah, yaitu dari tanggal 1 hingga 9 Dzulhijjah…?
AWAL DZULHIJJAH, WAKTU UTAMA BERAMAL SHALIH
Intinya, awal Dzulhijjah adalah waktu utama untuk beramal shalih. Di antaranya dengan banyak dzikir, bertakbir, dan termasuk pula berpuasa.
Di antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hadits Ibnu ‘Abbas, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih di cintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang di lakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzulhijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah…?” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” *[HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim]
PUASA DI AWAL DZULHIJJAH
Adapun dalil yang menunjukkan istimewanya puasa di awal Dzulhijjah karena di lakukan pula oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana diceritakan dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya,…” *[HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih]
Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijjah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. *[Latho-if Al Ma’arif, hal. 459]
NABI TIDAK MELAKUKAN PUASA AWAL DZULHIJJAH, BENARKAH…?
Ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang menyebutkan:
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari bulan Dzulhijjah sama sekali.” [HR. Muslim no. 1176]
Mengenai riwayat di atas, para ulama memiliki beberapa penjelasan:
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan:* bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan puasa ketika itu –padahal beliau suka melakukannya- karena khawatir umatnya menganggap puasa tersebut wajib. [Fathul Bari, 3: 390, Mawqi’ Al-Islam]
Imam Ahmad bin Hambal menjelaskan:* bahwa ada riwayat yang menyebutkan hal yang berbeda dengan riwayat ‘Aisyah di atas. Lantas beliau menyebutkan riwayat Hafshoh yang mengatakan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan puasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah. Sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ada pertentangan antara perkataan ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sembilan hari Dzulhijjah dan perkataan Hafshoh yang menyatakan bahwa beliau malah tidak pernah meninggalkan puasa sembilan hari Dzulhijjah, maka yang di menangkan adalah perkataan yang menetapkan adanya puasa sembilan hari Dzulhijjah.
Namun dalam penjelasan lainnya, Imam Ahmad menjelaskan: bahwa maksud riwayat ‘Aisyah adalah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa penuh selama sepuluh hari Dzulhijjah. Sedangkan maksud riwayat Hafshoh adalah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di mayoritas hari yang ada. Jadi, hendaklah berpuasa di sebagian hari dan berbuka di sebagian hari lainnya. [Latho-if Al Ma’arif, hal. 459-460]
Inti dari penjelasan ini, boleh berpuasa penuh selama sembilan hari bulan Dzulhijjah (dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah) atau berpuasa pada sebagian harinya saja. Bisa di niatkan dengan puasa Daud atau bebas pada hari yang mana saja, namun jangan sampai di tinggalkan puasa Arafah. Karena puasa Arafah akan menghapuskan dosa selama dua tahun.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” *[HR. Muslim no. 1162]