“Aku tahu dirimu lelah. Kakimu mulai berjalan tanpa arah seakan semuanya baik-baik saja, padahal kau menyimpan luka di sana. Peluhmu tak terlihat kasat mata, keluhku tak pernah terucap melainkan melalui doa. Kau biarkan tubuhmu itu rapuh demi kebahagian yang terkasih”
***
Siang begitu terik menyengat kulit yang menjadi gelap, meringis keluh untuk sang pejuang, menetes keringat tak kunjung hilang.
Namun, sosok nan gagah berani siang malam menempuh arus yang membuat tubuhnya gontai menahan angin yang menghantam, tak ada jeda baginya menarik jaring mencari ikan, mendorong perahu yang koyah bergoyang.
***
Ayah… Siang itu Ayah masih tersenyum lirih ketika aku menyuguhi kopi hangat untuk melepas peluhnya. Tatapannya lekat seakan berkata bahwa dia bahagia dengan pekerjaannya, walaupun terasa berat.
“Ayah, Hana buatkan kopi untuk Ayah.” Pungkasku, yang sedikit berteriak mengalahkan suara derasnya ombak. “Terimakasih, Nak. Sudah sana kamu balik lagi ke rumah, belajar dan jagain adik baik-baik.” Sahutku, dengan tatapan tegas penuh kasih sayang. “Oke, Ayah.”
***
Aku berlari kecil, mengangkat langkahku melewati pasir pantai yang selalu ku temui setiap saat. Perlahan, tangan mungilku membuka pintu rumah yang sudah rapuh terlihat kumuh.
Di sana aku menatapi adikku yang sedang asik menikmati siaran TV anak-anak, sesekali tertawa melihat tingkah konyol karakternya.
Tak ada firasat apapun, tak ada dugaan apapun. Hanya TV yang siarannya bersemut abu, menandakan antina tak memiliki arah yang tentu. Adik menangis histeris ketika tahu hiburannya tak lagi dapat dinikmati.
Tiba-tiba ibu berteriak, meminta aku dan adik segera keluar. Seketikaa itu pula, Ibu memelukku. Ia hanya terdiam melihat sekelilingnya, matanya mencari keberadaan Ayah yang mungkin sudah berada di tengah laut sana.
***
Angin semakin kuat berhembus, awan semakin melekat gelap. Pikiranku hanya tentang Ayah, ku putuskan untuk melepaskan pelukan Ibu dan mencari Ayah agar segera meninggalkan laut lepas itu. Namun, guncangan yang berasal dari gempa bumi membuat tubuhku jatuh.
Begitupun Ibu dan Adikku, semua orang berlarian ricuh. Saling bertabrakan, saling mencari orang yang tersayang dan saling berlalu menyelamatkan diri. Tubuhku masih terkapar, menatap jauh laut yang berada di hadapanku. Air laut itu surut…Semakin surut!
“Hana…” Teriakan Ibu yang terdengar keras dengan sentuhan isak tangis, tak membuatku bangun dari sana menunggu kehadiran Ayah.