Apa itu Kumpul Kebo? Istilah “Kumpul Kebo” sering dimaknai sebagai sepasang lelaki dan perempuan yang tinggal satu atap tanpa status pernikahan.
Di zaman ini, tak dimungkiri banyak masyarakat kita di Indonesia, ikut-ikutan budaya Barat untuk pacaran dan tinggal dalam satu atap tanpa menikah lebih dulu. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, apa benar kerbau punya sifat seperti itu? Sifat yang seolah kerbau jantan diam-diam tinggal sekandang dengan kerbau betina dan kemudian kerbau betinanya tiba-tiba hamil?
Dari berbagai sumber, “Kumpul Kebo” sejatinya berasal dari ungkapan orang zaman dulu, “Koempoel Gebouw”. Maknanya tidak negatif. Dalam ejaan lama bercampur bahasa Belanda itu, artinya adalah berkumpul di bawah satu atap. Tak ada tambahan “tanpa hubungan pernikahan” ketika itu.
Dalam bahasa baku, sebutan seperti itu namanya “Kohabitasi”. Kata serapan dari bahasa Inggris, “Cohabitation” yang artinya kurang lebih sama yakni ‘tinggal bersama’.
Ungkapan ini juga seiring berjalannya waktu, jadi salah persepsi kan. Kata “Gebouw” dalam pelafalannya berubah jadi “Kebo”. “Kebo” itu sendiri jadi kata tidak baku dari bahasa Indonesia “Kerbau”.
Jadi kalau mau pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka dibaca “Kumpul Kerbau”. Ada satu fakta lagi yang sebenarnya juga jadi kekeliruan di kalangan masyarakat kita.
Istilah “Kumpul Kebo” justru sering disamakan dengan istilah berbahasa Belanda, “Samenleven”. Padahal kalau mau “mengubrak-abrik” kamus pengertiannya, “Samenleven” itu artinya hidup berdampingan dalam suatu masyarakat. Jadi, bukan bermakna hidup serumah tanpa ikatan pernikahan.
Dihukum Penjara 6 Bulan
Pasal yang mengatur larangan kohabitasi atau kumpul kebo adalah RKUHP yang mengancam pelaku perbuatan itu dengan hukuman penjara dan denda.
“Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,” bunyi pasal 416 RKUHP.
RKUHP membatasi orang yang bisa melaporkan tindak pidana zina dan kohabitasi. Orang yang telah menikah hanya bisa dilaporkan oleh suami atau istrinya. Bagi orang yang belum menikah, hanya orang tua atau anak yang bisa melaporkan.
Pemerintah telah resmi menyerahkan draf Rancangan Undang-undang Pemasyarakatan (RUU PAS) dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ke DPR.
Penyerahan itu dilakukan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy Hiariej ke Komisi III DPR RI dalam rapat kerja yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/7).