Suasana mencekam, gelap gulita, teriakan bersahut-sahutan.
“Abii…gempa, Abii gempa”, teriak tangis kakak pertama dan kedua. Kurang lebih seperti itu suasana hunian kami di BTN Axuri Jalan Dahlia VII Mamuju, saat gempa berkekuatan 6,2 SR mengguncang Kota Mamuju.
Dalam kondisi bangun tidur, kucoba merangkak keluar dari kamar tidur meraih dan memeluk 3 (tiga) orang anak kami yang berteriak histeris. “Tunduk nak, tunduk nak”, pintaku, “Allahu Akbar”.
Sambil memanggil ummi untuk segera keluar dari kamar, kucoba merangkak kembali menuju kamar mencari handphone untuk penerangan. Saat itu saya tidak bisa membayangkan kondisi rumah kami yang sangat berantakan.
Kucoba menyalakan senter handphone, nampak pecahan-pecahan kaca, tegel, lemari buku yang menumpahkan isinya, nasi sisa makanan semalam terhambur dari rice cooker. Kondisi tegel rumah kami terasa berombak, nampak pecah dimana-mana, plafon rumah pun mulai terlepas.
“Ayo kita keluar nak, ummi ayo kita keluar”. Sambil menggendong Hamnah (anak kami yang keempat). Aku pun mulai mencari kunci rumah, namun saya tidak lagi mendapatinya di tempat biasanya digantung.
“Ya Allah, dimana kuncinya?. Sambil berusaha keluar dari himpitan rak sepatu yang terjatuh, ingatanku tertuju pada kunci serep yang pernah aku simpan di belakang pintu kamar tidur.
Alhamdulillah, kami pun bergegas keluar rumah, dalam kondisi cemas, galau, memikirkan strategi yang terbaik untuk menyelamatkan diri. Pikiranku tertuju pada satu-satunya kendaraan kami sepeda motor matic mio pemberian Bapak Mertua.
Kucoba bangunkan motor tersebut dari kondisi jatuh akibat gempa. “Ya Allah kemana kami harus menyelamatkan istri dan anak-anak, kami harus membonceng enam orang (istri + 5 anak)”, tentu tidak akan muat.
Dalam keadaan seperti ini, datang salah seorang teman sejawat mengabarkan bahwa guncangan yang barusan terjadi betul-betul dahsyat, rumah beserta klinik berlantai 5 (lima) yang lokasinya tak jauh dari kediaman kami milik salah seorang dokter roboh, rata dengan tanah. Teman kami itu mengajak agar kami segera mengungsi mencari tempat yang lebih aman. Alhamdulillah saat itu, tetangga yang juga atasan kami di kampus menawarkan untuk menumpangi mobilnya (Semoga Allah membalas kebaikannya).