Suasana mulai hening, detak jantungku mulai kencang. “Ya Rabb, lindungilah Ayah kami, mudahkanlah proses operasinya”. Bunyi pesan masuk lewat aplikasi WhatssApp mulai bersahut-sahutan. Si bungsu mulai gusar, setiap menit bertanya kabar tentang kondisi Ayah. “Ayah baik-baik saja dek, doakan saja yang terbaik”, jawabku.
Tak lama kemudian nampak Kakak Ipar sudah keluar dari ruang operasi, menyampaikan kepadaku bahwa operasi Ayah sebentar lagi selesai. Beliau keluar sejenak untuk menunaikan Sholat Ashar. Tak lama berselang, tiba-tiba datang panggilan seorang petugas menghampiriku.
“Apakah bapak keluarga dari pasien pak Arifin Nawir?, betul dok”, jawabku. “Mohon maaf pak, minta tolong cari jenis obat ini untuk bapaknya, soalnya terjadi pendarahan hebat dan tekanan darahnya tiba-tiba meninggi”. Aku pun mulai bergegas menuju apotek Rumah Sakit mencari obat yang dimaksud, qadarullah obatnya kosong.
Perasaanku mulai tidak karuan, kucoba sampaikan ke Kakak Ipar yang juga seorang Apoteker. “Kalau begitu dek, saya coba carikan obat di luar”. Tanpa berpikir panjang, beliau pun segera bergegas menelusuri apotek-apotek besar di Kota Makassar.
Aku mulai masuk kembali ke kamar operasi, kucoba dekati Ayah. Nampak Ayak kami dalam kondisi menggigil menahan kesakitan, sekali-kali coba ditenangkan sama dokter agar tidak mengangkat kakinya yang sebelah kanan karena masih rawan terjadi perdarahan.
“Ayah.. sabar ki Ayah, kucoba tenangkan Ayah. Ingatki Allah, perbanyakki zikir Ayah. Ya Nak..”. Jawab Ayah dengan suara berat. Suatu kondisi dimana sebagai seorang anak, merasa sangat tidak tega melihat apa yang dirasakan Ayahnya. Kucoba menenangkan diri dan menyerahkan semuanya kepada Sang Pengatur Kehidupan ini.
Kakak Ipar kami sudah kembali dari pencarian obat, namun hasilnya nihil. Jenis obat yang diresepkan dokter belum juga didapatkan. Setelah dokter memeriksa kembali kondisi Ayah kami, Alhamdulillah kondisi Ayah kami sudah mulai membaik, perasaanku saat itu pun mulai sedikit lega.
Setelah menunaikan sholat maghrib, dengan dipandu oleh petugas, Ayah kami pun dikembalikan ke kamar pasien, tempat kami menginap semalam. Selama berada di kamar, nampak kondisi Ayah yang gelisah, terkadang mengigau, bicara tak karuan. Berkali-kali kucoba tenangkan beliau, dan menuntunnya untuk senantiasa berzikir mengingat Allah.
Malam itu entah berapa botol infus yang dihabiskan Ayah. Saya bersama Kakak Ipar dan Tante (Saudara kandung Mama) begantian terjaga, mengawasi botol infus Ayah yang setiap beberapa menit harus diganti. Malam ini kondisi tubuh ini sungguh lelah, mata pun seakan tak mampu ditahan lagi untuk terpejam tetapi kegelisahan Ayah membuat diri ini harus kuat.
Tak terasa mata ini terpejam beberapa menit. Tiba-tiba terbangun dengan suara adzan subuh berkumandang. Mataku langsung tertuju ke botol infus Ayah, ternyata baru saja diganti oleh Tante kami.
Seusai menunaikan Sholat Shubuh, aku pun kembali memperhatikan kondisi Ayah. Nampak Ayah kami dalam kondisi tidur pulas, matanya pun terpejam. Mungkin Ayah kecapean atau pengaruh minum obat penenang yang diberikan petugas semalam. Gumamku dalam hati.
Seperti inilah kondisi Ayah sampai matahari siang pun menampakkan sinarnya tetapi matanya masih saja terpejam dalam tidur pulasnya. Aku pun meminta izin untuk menunaikan Sholat Jumat, kucoba bisikkan ditelinga Ayah, “Ayah,.. saya Sholat Jumat dulu, baik-baik ki Ayah ya…”. Respon Ayah sangat lemah dengan suara yang sangat sulit ditangkap maknanya.
Setelah menyelesaikan Sholat Jumat, saya melihat ada beberapa panggilan tak terjawab dari tante kami masuk di handphoneku. Kucoba menghubungi ulang, “pulangmaki segera, Ayahta dipindahkan ke ruang ICU”. Pinta Tanteku dengan nada gusar.