FAJARPENDIDIKAN.co.id – Sejak akhir 2019, banyak pakar ekonomi yang memperingatkan akan datangnya resesi pada perekonomian dunia, tepatnya di tahun 2020. Mereka menilai, salah satu faktor yang memicu resesi adalah perang dagang AS dan Cina. Namun sejak adanya wabah Covid19, guncangan resesi semakin terasa.
Di Indonesia, para pakar ekonomi sudah memberikan signal akan datangnya resesi. Beberapa negara sudah terpuruk, seperti Jerman, Jepang, Hong Kong, Perancis, Italia dan Singapura.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah mengingatkan para menterinya beberapa kali soal ancaman tersebut.
Memang, semenjak virus Covid19 melanda dunia, kata resesi sering kali disebut, dan membuat cemas semua orang. Resesi sendiri merupakan penurunan aktivitas ekonomi secara signifikan dan berlangsung setidaknya dalam dua kuartal beruntun.
Suatu negara dikatakan mengalami resesi jika produk domestic bruto (PDB) mengalami kontraksi atau minus dalam 2 kuartal beruntun secara tahunan atau year-on-year (YoY). Sementara jika PDB minus 2 kuartal beruntun secara kuartalan atau quarter-on-quarter (QoQ) disebut sebagai resesi teknikal.
Melansir The Balance, ada 5 indikator ekonomi yang dijadikan acuan suatu negara mengalami resesi, yakni PDB riil, pendapatan, tingkat pengangguran, manufaktur, dan penjualan ritel.
Resesi sebenarnya adalah hal yang biasa dan kerap terjadi dalam sebuah siklus perekonomian, tetapi dampak yang diberikan ketika terjadi resesi cukup buruk.
Rakyat Harus Bagaimana Menghadapi Ancaman Resesi?
Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan masyarakat harus berhemat mulai dari sekarang untuk menyiapkan dana darurat selama resesi. Sebab tidak ada yang mengetahui akan berlangsung sampai kapan jika resesi benar terjadi.
“Kurangi juga belanja yang tidak sesuai kebutuhan dan fokus pada pangan serta kebutuhan kesehatan. Jadi jangan latah ikut gaya hidup yang boros. Pandemi mengajarkan kita apa yang bisa dihemat ternyata membuat daya tahan keuangan personal lebih kuat,” kata Bhima kepada detikcom, Jumat (17/7/2020).
Hal yang sama juga dikatakan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah. Menurutnya, di saat seperti ini masyarakat jangan boros dan harus mempersiapkan kondisi terburuk untuk mencukupi keuangan (detik.com, 19/7/2020).
Melihat kondisi negara sekelas Amerika Serikat (AS) saja sudah mengalami puluhan kali resesi. Melansir Investopedia, AS (negara dengan nilai ekonomi terbesar dimuka bumi ini) sudah mengalami 33 kali resesi sejak tahun 1854. Sementara jika dilihat sejak tahun 1980, Negeri Paman Sam mengalami 4 kali resesi termasuk yang terjadi saat krisis finansial global 2008.
Kali terakhir Tanah Air tercinta pernah mengalami resesi pada tahun 1998, bahkan sangat dalam, dan ada risiko akan terjadi lagi di tahun ini. Sebabnya, tentu saja pandemi Covid19 yang roda perekonomian melambat bahkan nyaris terhenti.
Tidak hanya resesi, bahkan saat itu Indonesia dikatakan mengalami depresi akibat PDB yang minus dalam 5 kuartal beruntun. Sepanjang 1998, PDB Indonesia mengalami kontraksi 13,02%.
Sementara di tahun ini, Indonesia berisiko mengalami resesi, tetapi kemungkinan tidak akan se-horor 1998. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam rilis terbarunya yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery memprediksi PDB Indonesia akan minus 0,3% di tahun ini.
Di kuartal I-2020, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 2,97% YoY, turun jauh dari kuartal IV-2019 sebesar 4,97%. Di kuartal ini, perekonomian berisiko semakin nyungsep, sebabnya, penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mulai berlaku efektif di beberapa daerah. Sementara pada kuartal I lalu, kebijakan PSBB diterapkan.
Akibatnya, roda perekonomian di kuartal II mengalami perlambatan signifikan, sehingga pertumbuhan ekonomi terancam merosot.
Artinya, sekarang kita hidup dalam ketidakpastian akan kondisi kesehatan dan ekonomi. Lalu, jika masyarakat diminta untuk berhemat, apakah sudah efektif?
Krisis, Cacat Bawaan Pemerintah Kapitalistik
Sebelum adanya wabah Covid19, Indonesia juga sudah mengalami perlambatan ekonomi yang signifikan sejak triwulan I-2019. Namun dengan adanya wabah, krisis menjadi kian berat, lebih parah dibandingkan krisis 1998.
Semua aspek terkena dampaknya. Aktivitas produksi terpukul sehingga menyebabkan supply shock. Orang-orang kehilangan pendapatan dan pekerjaan sehingga menyebabkan demand shock.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, krisis ekonomi selalu terjadi mengikuti siklus sepuluh tahunan. Pada 1998 terjadi krisis moneter. Sepuluh tahun kemudian yakni pada 2008, dunia mengalami krisis finansial yang diawali kejatuhan Lehman Brothers. Kini di tahun 2020 krisis ekonomi datang lagi. Wabah corona memperparah krisis yang ada.
Karenanya, Krisis yang berulang, bahkan sampai resesi dan depresi merupakan tabiat kapitalisme. Hal ini karena fondasi ekonominya yang rapuh. Sebab, fondasi sistem ekonomi kapitalisme memang dibangun dari struktur ekonomi yang semu, yakni ekonomi sektor nonriil. Bukan ekonomi yang sesungguhnya, yaitu ekonomi sektor riil.
Sistem ekonomi seperti ini, hanya dengan isu kecil saja, balon ekonomi ini bisa meledak sewaktu-waktu. Apalagi jika dilanda isu besar pandemi Covid19 seperti saat ini.
Maka solusi resesi bukan sekadar anjuran menabung dan menjauhi gaya hidup boros. Menjauhi sikap boros memang merupakan ajaran Islam, namun tak cukup untuk menyelesaikan resesi karena solusinya bersifat individual, sementara penyebab krisis bersifat sistemis bahkan fundamental.
Bagi rakyat yang hidupnya pas-pasan, tidak mungkin bisa menabung. Rakyat miskin sudah berhemat, tapi tetap terpukul secara ekonomi. Karena itu pemerintah harus melakukan koreksi besar-besaran pada sistem hari ini, mengapa terus menerus menghasilkan masalah baru sedang masalah lama tak kunjung selesai?
Karenanya, solusi atas ancaman resesi ini bukan sekadar anjuran yang sifatnya individual. Harus solusi sistemis bahkan fundamental. Yakni mengubah sistem ekonomi kapitalisme menjadi sistem Islam. Yang mana, sistem islam mengatur kepemilikan dan pengelolaannya hingga perputaran Harta tidak bergulir diantara segelintir orang saja, sementara disisi lain, kemiskinan terus meluas. Islam menjamin kebutuhan hidup, serta kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan serta keamanan yang diberikan cuma-cuma oleh negara kepada rakyat.
Wallahu a’lam
Oleh : Juniwati Lafuku, S.Farm.