Balada Siswa Masa Kini terhadap Hiburan dan Pendidikan

Penulis : Muhammad Yuka Anugrah

Pendahuluan 

Bagi yang mengikuti sosmed YouTube sejak 2010-an, kalian pasti tahu Pink Guy. Dia adalah salah satu karakter lucu dan konyol yang terkenal di YouTube. Saya dan beberapa teman ketika SMP sangat mengikuti kontennya. Ngomong-ngomong, ini fotonya :

Pink Guy ini konyol dan suka menjahili orang di depan publik. Karena kami suka, kami seringkali meniru cara bercanda dia dengan jadi anak jahil. Kami sadar bahwa Pink Guy itu terlalu konyol, tetapi kami tetap mengikutinya. Kenapa? Padahal banyak yang tidak suka dengan candaan kami karena keterlaluan. Padahal kami tahu bahwa Pink Guy tidak seperti itu di real life.

Alasannya karena kami merasa bahwa itu menyenangkan. Rasanya bangga bisa seperti orang yang kami suka. Kemudian, rasanya ada yang kurang jika hiburan ini kami pendam sendiri. Makanya, kami tunjukkan. Toh, kami hanya bercanda.

Detik ini, ketika saya menulis opini ini, saya menyadarinya secara serius. Pertama, saya mengira bahwa sikap fanatik saya membuat orang lain risih, ternyata ada yang lebih gila dari saya.

Pernah seorang komikus mendapat ancaman pembunuhan dari fans-nya hanya karena jalan ceritanya tidak sesuai yang mereka inginkan. Fanatik terhadap alur cerita.

Kemudian, ada pemain film dari Korea yang kaget ketika mendapati fans-nya muncul dari bawah kasurnya. Ternyata, fans-nya itu rela begitu hanya untuk melihat dirinya secara langsung. Tidak cukup dari foto saja, katanya.

Terakhir, ada fans Anime (film animasi dari Jepang) yang menikah dengan karakter animasi favoritnya. Gila. Dia memeluk “bantal” yang ada gambar karakter kesukaannya. Dia mengatakan di depan pendeta dan orang di gereja : “Saya siap sehidup semati dengannya”, dan dia tidak malu.

- Iklan -

Real life tidak memiliki kekuatan fanatisme seperti itu. Kegilaan itu terjadi karena dunia maya yang disokong sosmed mampu memberikan hiburan yang belum pernah kita dapatkan di real life. Itu hal kedua yang saya sadari, dan sejak tahun 2020, Covid menjajah real life. Akibatnya, banyak hal selain dunia hiburan yang ikut masuk ke dunia maya, termasuk pendidikan.

 

Pembahasan

16 Maret 2020. Saya selalu ingat hari itu karena tiba-tiba dapat kabar libur 2 minggu.

Akhirnya saya bebas tugas! Bisa scroll sosmed sepuasnya. Setelah 2 minggu, Covid mengganas. Libur diperpanjang. Waktu senggang di rumah pun makin banyak. Makin banyak lagi waktu untuk scroll sosmed.

Kegiatan belajar akhirnya pindah ke aplikasi teleconference seperti Google Meet dan Zoom sebagai ruang kelas virtual. Sumber belajar bisa didapatkan dari YouTube dan lainnya. Semua materi bisa didapatkan hanya dengan satu klik. Mudah sekali. Akhirnya, sambil menikmati hiburan di sosmed, sambil nongkrong, dan dalam perjalanan pun, siswa bisa mendapat pelajaran.

Enak sekali, ya. Bisa mobile learning. Sampai akhirnya, mindset ini terbentuk : Mobile Learning = bisa mengerjakan tugas di mana saja = tugas bisa diperbanyak (Gambar mobile learning)

Akhirnya, meskipun siswa banyak waktu di rumah, siswa merasakan beban pelajaran yang lebih berat daripada sekolah normal. Dampaknya siswa makin stres dan makin tidak fokus mengikuti pelajaran.

Jika penambahan tugas dilakukan karena kekhawatiran akan dampak negatif sosmed, iizinkan saya menyampaikan pertanyaan. Memangnya karena belajar di rumah, siswa jadi 24 jam main sosmed? Lalu, karena dampak negatif itu, apakah siswa pantas dijejali materi pelajaran sebanyak-banyaknya?

Oh, ya. Pembaca juga perlu tahu soal ini. Kelelahan siswa tidak hanya karena tugas yang banyak, tetapi karena penggunaan aplikasi daring yang berlebihan. Aplikasi daring membuat kita sulit menggunakan bahasa tubuh. Meskipun memakai kamera, muka yang muncul di kamera itu kadang besar dan kadang kecil.

Menurut psikologi, hilangnya bahasa tubuh membuat otak kita bekerja lebih keras untuk memahami maksud orang lain. Kemudian, fenomena muka yang tidak proporsional dianggap otak sebagai “keanehan”, sehingga otak bekerja lebih keras untuk memahami “bentuk muka yang sebenarnya”. Inilah alasan mengapa kita mudah lelah meski hanya duduk di depan komputer.

Menurut penelitian dari Stanford University, berada di kondisi monoton dalam waktu yang lama bisa menimbulkan kebosanan. Artinya, kegiatan daring yang terlalu banyak bisa membuat siswa lebih cepat bosan. Rasa bosan juga bertambah ketika ada partisipan yang terkendala sinyal atau tidak merespon. Jeda dalam percakapan akan dianggap otak sebagai ketidaktertarikan dari lawan bicara sehingga memberi rasa tertekan dan bosan 1.

1 Vignet Ramachandran. Stanford Researchers Identify Four Causes for ‘Zoom Fatigue’ and Their Simple Fixes. Diakses dari https://news.stanford.edu/2021/02/23/four-causes-zoom-fatigue-solutions/ . Diakses 22 April 2022 pukul 19.30

Terakhir, sinar biru dari gadget membuat otot mata melemah dan mata kering. Jika siswa terlalu lama berkegiatan daring, maka kesehatan mata siswa bisa terancam. Minimal, siswa sulit fokus.

Sosmed punya dampak negatif. Pemakaian aplikasi daring yang berlebihan juga punya dampak negatif. Maka, tugas yang terlalu banyak justru seperti menyelesaikan masalah dengan masalah baru. Menjejali siswa seperti itu bagaikan gelas penuh yang terus dituangi air.

Oh, ya. Organisasi sekolah juga memperbanyak kegiatan daring, loh. Kita belum memasukan faktor itu.

Inilah penyebab turunnya kualitas pendidikan daring. Penurunan kualitas lebih terasa pada siswa yang tidak mampu secara finansial dan siswa daerah 3T (Terdepan, Tertinggal, dan Terluar). Tugas daring makin banyak, tetapi fasilitas untuk belajar daring sulit didapat.

Daripada memaksakan banyak tugas karena kekhawatiran akan sosmed, lebih baik kita mencari tahu lebih dalam tentang sosmed agar lebih mengenal karakter generasi muda saat ini.

Analisis pertama adalah meluruskan pandangan terhadap sosmed.

Tidak semua siswa kecanduan sosmed. Ada yang memang suka belajar dari sumber digital. Ada bahkan banyak yang kesulitan akses internet. Kemudian, pelajaran itu tidak sama dengan Pink Guy, anime, musik Korea, dan konten hiburan lainnya. Cara menjadi fanatik terhadap hiburan berbeda dengan cara agar senang belajar. Jadi, menambah tugas sekenanya tidak akan menjadikan siswa senang belajar.

Analisis berikutnya, mengapa siswa lebih menyukai konten hiburan daripada pelajaran?

Karena menonton hiburan tidak perlu serius, sedangkan rumus perlu diserusi. Kemudian, konten hiburan itu durasinya bisa kurang dari semenit. Materi pelajaran, kan, tidak bisa begitu. Lalu, karena seru, kita bisa berbagi hiburan. Apakah siswa bisa diskusi soal pelajaran semudah berbagi hiburan? Terakhir, kebanyakan hiburan itu mengajak kita menertawakan keseharian kita. Apakah materi pelajaran di Indonesia sudah dekat dengan keseharian siswa?

Jadi, bisakah kita membuat pelajaran yang durasinya singkat, banyak diskusi, dan memenuhi kebutuhan sehari-harisiswa?

Jawabannya, bisa.

Dalam penelitian yang dilakukan Deloitte, dikatakan bahwa generasi muda itu mobilitasnya tinggi. Sekarang masuk platform A, 2 jam kemudian pindah, lalu menit berikutnya pindah lagi. Kedua, generasi muda juga cenderung tidak sabar.

Karena mudah mendapatkan akses informasi, maka informasi yang tidak menarik akan langsung dilewat dalam beberapa detik 2.

Namun, generasi muda lebih menyukai kerja sama dan lebih mengenal kebutuhan diri sendiri. Inilah alasan mengapa siswa sekarang kurang suka mengerjakan tugas sendiri dan tidak suka dijejalkan kurikulum yang tidak sesuai keinginannya.

Maka dari itu, bentuk pelajaran harus menyesuaikan dengan karakter generasi muda saat ini agar menghasilkan pendidikan yang lebih berkualitas meskipun dalam situasi pandemi. Ngomong-ngomong, karena karakter yang dipaparkan ada 4 poin, solusinya pun dipecah jadi 4 poin :

  1. Pelajaran yang sistematis disesuaikan dengan waktu maksimal fokus siswa, mungkin 30-90 menit. Setelah itu, berikan online course dengan sistem micro learning (satu sesi hanya beberapa menit).
  2. Karena siswa sudah lebih mengenal diri sendiri, berikan semua akses dan sumber yang dibutuhkan kepada siswa secara
  3. Jangan stop di akses materi saja. Berikan juga akses sosial supaya siswa punya banyak teman untuk kerja
  4. Berikan studi kasus dan roleplay (berperan sebagai sosok yang nyata) sebagai latihan, kemudian perbanyak bimbingan penyelesaian masalah nyata.

Penutup

Berdasarkan data dari Duolingo, penggunanya lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar bahasa di Duolingo daripada belajar bahasa secara tradisional 3. Artinya, memang pelajaran perlu dikemas sesuai karakter siswa masa kini. Salah satunya agar siswa mendapat hiburan karena merasa cocok dengan konsep belajarnya.

Tentu saja, pendidikan jangan menghilangkan bentuk pelajaran yang tradisional karena hanya di situlah siswa bisa mendapat ilmu dan pendidikan karakter yang terstruktur dan mendalam. Pelajaran terstruktur dan mendalam sulit didapatkan dari konten hiburan.

Namun, siswa bisa belajar kapanpun dan dimanapun dengan materi yang hanya beberapa menit. Materi singkat juga meringankan beban kuota dan waktu maksimal kekuatan sinyal bagi yang terkendala. Mobile learning dengan micro learning makin dekat dengan

2 Dr. Indrawan Nugroho. Strategi Pengembangan Pembelajar Modern. Diakses dari https://youtu.be/0j88Pl4YkeE . Diakses pada 21 April 2022 pukul 03.30

3 Duolingo Indonesia. id.duolingo.com. Diakses dari https://id.duolingo.com/ . Diakses pada 24 April 2022 pukul 08.00

konsep konten hiburan, bukan? Oh, ya. Meski beberapa menit, tetapi intensitas materi harus sering. Tujuannya agar menguatkan dasar pelajaran sebelum masuk lebih dalam.

Memang, presentasi materi yang tidak kaku itu diperlukan, tetapi siswa lebih butuh akses terhadap materi tersebut. Supaya siswa mampu mengikuti arus globalisasi, maka dibutuhkan asupan informasi skala global. Bantuan terhadap akses aplikasi dan website juga akan sangat membantu siswa kurang mampu, bukan?

Bagi siswa dan sekolah yang tidak memiliki cukup dana, menciptakan akses sosial dengan masyarakat sekitar lebih hemat dan bermanfaat daripada studi banding ke sekolah favorit yang jauh. Bukankah sejatinya pendidikan itu adalah memberi kebermanfaatan bagi sekitar?

Penyelesaian masalah nyata, apalagi yang dialami siswa itu, sangat penting supaya baik buruknya bisa langsung dirasakan siswa. Tentu saja, bimbingan diperlukan agar hasilnya sesuai yang diharapkan.

Ada tambahan terakhir dari saya. Apapun masalahnya, bagaimanapun konsep pendidikannya, adab adalah yang paling utama. Dunia maya bisa meningkatkan kualitas atau malah menciptakan fanatisme buta, itu tergantung adab. Menyikapi pandemi pun berbeda- beda, tergantung pada adab. Masalah nyata ini harus dimasukkan dalam pendidikan dan bimbingan guru, supaya tercipta generasi muda yang berilmu dan beradab4.

Itu pesan terakhir dari saya. Semangat pelajar coronial! Mari benahi belajar daring kita, karena era Metaverse menanti kita di depan sana.

(gambar metaverse)

4 Muhammad Abduh Tuasikal. Pelajarilah Dahulu Adab dan Akhlak. Diakses dari https://muslim.or.id/21107- pelajarilah-dahulu-adab-dan-akhlak.html . Diakses pada 24 April 2022 pukul 09.00

 

DAFTAR PUSTAKA

 

id.duolingo.com. Duolingo Indonesia. Diakses pada 24 April 2022, dari https://id.duolingo.com/

Nugroho, Dr. Indrawan. Strategi Pengembangan Pembelajar Modern (2020, 4 November). Diakses pada 21 April 2022, dari https://youtu.be/0j88Pl4YkeE

Ramachandran, Vignesh. (23 Februari 2021). Stanford Researchers Identify Four Causes for ‘Zoom Fatigue’ and Their Simple Fixes. Diakses 22 April 2022, dari https://news.stanford.edu/2021/02/23/four-causes-zoom-fatigue-solutions/

Tuasikal, Muhammad Abduh. (2021, 28 Agustus). Pelajarilah Dahulu Adab dan Akhlak. Diakses pada 24 April 2022, dari https://muslim.or.id/21107-pelajarilah-dahulu-adab-dan- akhlak.html

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU