Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) akhirnya ikut bersikap atas terbitnya Permendikbudristek Nadiem Makarim Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
BEM SI mendorong pemerintah untuk merevisi Permendikbud terkait frasa “tanpa persetujuan korban” karena berpotensi ditafsirkan melegalkan seks bebas jika kedua belah pihak saling menyetujui.
“Dari kami BEM SI lebih condong mendorong ke arah revisi Permendikbud 30 terkhusus dalam frasa ‘tanpa persetujuan’ yang berpotensi melegalkan seks bebas dalam lingkungan kampus jika dijalankan,” ujar Humas BEM SI, Joji Kuswanto dikutif dari CNNIndonesia.com, Rabu (23/11).
Pandangan tersebut sebelumnya juga diungkapkan oleh Ketua MUI Cholil Nafis. Melalui keterangan tertulis, BEM SI menggunakan pandangan Cholil sebagai landasan penolakan terhadap Permendikbud ini.
Koordinator Forum Perempuan BEM SI, Zakiah Darajat, menyampaikan bahwa BEM SI berupaya untuk bersikap dan menjembatani berbagai pandangan terhadap Permendikbud. Sehingga, menurutnya, penting untuk mengakomodir tuntutan berbagai pihak.
Terlebih, Universitas Riau dan Universitas Sriwijaya merupakan dua kampus yang saat ini dilanda kasus kekerasan seksual.
“Kita tidak menutup mata, apa lagi menihilkan kasus. Kita sudah menyatakan sikap mengecam segala bentuk tindak pelecehan dan kejahatan seksual yang ada di kampus. Hanya saja kita melihat Permendikbud ini belum mampu mengakomodir tuntutan pihak pro dan kontra,” ujar Zakiah, Selasa (23/11).
Frasa ‘tanpa persetujuan’ menuai protes sejumlah kalangan lantaran frasa tersebut bisa ditafsirkan melegalkan zina, seks bebas atau tindakan pornografi jika kedua belah pihak saling menyetujui tindakan seksual. Berikut petikan bunyi pasal 5:
Pasal 5 ayat 1
Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Pasal 5 ayat 2;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang,memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
BEM SI memberikan alternatif revisi Permendikbud dengan menghapuskan frasa “tanpa persetujuan korban”. Semisal dalam pasal 5 ayat 2 huruf b yang mengatur bahwa “memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban”. Frasa itu dapat diubah menjadi “memperlihatkan alat kelaminnya kepada orang lain”.
Sedangkan, Pasal 5 ayat 2 huruf f yang berbunyi “mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban”, dapat diubah menjadi ” mengambil, merekam, dan atau mengedarkan foto dan atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual”.
Ketua MUI Cholil Nafis telah menyerukan Permendikbud untuk dicabut karena menggunakan persetujuan korban sebagai tolak ukur, bukan berdasar asas Pancasila atau agama dan kepercayaan.
“Permendikbudristek No.30 thn 2021 pasal 5 ayat 2 tentang kekerasan seksual memang bermasalah karena tolak ukurnya persetujuan (consent) korban. … Cabut,” kata Cholil dalam akun Twitter pribadinya @cholilnafis, Rabu (10/11).