Semula dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kedua matanya tiba-tiba terbelalak hingga membuatnya bangun dari tidurnya dengan pikiran yang kalut seperti ada sesuatu yang salah dengan ingatannya. Dia kesiangan lagi. Ini hari libur dan tidak ada jadwal apa pun, beruntung.
Tubuhnya masih ingin melekat di atas ranjang tidurnya yang bau dan berdebu— ditambah lagi tak terlalu empuk. Matanya kali ini hanya fokus ke langit-langit bilik sempit yang sudah sejak lama ditinggalinya itu.
Padahal baru terjaga namun pikirannya seketika berkelana ke mana-mana hingga membuat dirinya sendiri bingung apa yang sebetulnya dia cari. Ditelitinya benar-benar, cukup lama, hingga akhirnya ketemu kalau dia ternyata masih terbayang-bayang dengan mimpi aneh yang baru saja dialaminya.
Di sana, dia berada di suatu tempat yang sama sekali tak diketahuinya—dalam mimpi memang sering begitu. Tempat itu seperti ruangan yang seluruh dindingnya bercat warna putih, tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil yang kira-kira ukurannya seperti ruang tamu, ada beberapa gambar berpigura di atas meja yang entah itu foto siapa—tidak ada kursi sama sekali, dan sebuah jam dinding yang ketiga jarumnya mandek, tidak bergerak.
Dia tidak tahu apakah jam itu kehabisan baterai sehingga mati atau memang waktu yang benar-benar berhenti. Kiranya ruangan itu adalah salah satu bagian dari rumah orang tuanya di mimpi yang sedang dia lakoni.
Dia dunia nyata, tidak ada satu ruangan pun yang bentuk dan desain furniturnya seperti itu. Namun tak terlalu dipikirkannya sesuatu yang begitu-begitu karena dia memang tidak terbiasa memperhatikan hal-hal kecil yang sebenarnya penting.
Sementara di mimpinya itu ada orang-orang yang dia kenal dan anehnya mereka tampak sedikit berbeda. Dia melihat adiknya yang menyisir rambutnya ke arah kiri sedangkan yang biasa dilihatnya sisiran adiknya itu selalu ke kanan.
Bapaknya yang sebenarnya memiliki tahi lalat di pelipis sebelah kanan tiba-tiba tahi lalat itu tidak ada. Dia sebetulnya agak lupa— atau barangkali masih mengingatnya namun samar-samar—beberapa bagian plot mimpinya itu tetapi yang sangat jelas diingatnya yaitu masih banyak hal-hal ganjil yang dia lihat di sana terutama perangai mereka yang hanya cenderung diam dan pasif.
Yang menjadi pusat sorot matanya adalah seseorang yang sepenuhnya tidak asing baginya sedang berdiri persis di depannya. Ternyata ada perempuan itu, lagi-lagi, perempuan yang sangat disayanginya tapi belum pernah diungkapkannya dan sepertinya ia juga sempat sayang kepadanya meski sekejap.
Mestinya ketika momen itu ada, dia tak melakukan sebuah kesalahan bodoh yang membuatnya jadi dibenci olehnya. Tapi apa mau dikata, dia memang memiliki watak bodoh dan ceroboh sehingga sering kali melakukan hal-hal yang bodoh dan ceroboh pula.
Padahal sebelum tidur dia sudah amat memaksa kepalanya untuk tidak memikirkan apa pun yang berhubungan dengan perempuan itu tetapi tetap saja yang muncul saat dia tertidur adalah ia-ia juga.
Di mimpinya, perempuan itu tidak berhijab seperti yang biasa dia tahu di dunia nyata sehingga membuatnya dengan leluasa memandang rambut yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Dia juga bisa melihat leher perempuan itu, leher yang putih dan menawan. Di
sana, perempuan tersebut tidak hanya memperbolehkannya melihat tapi juga mengizinkannya mengikatkan rambutnya yang sebahu.
Mulai didekatinya perempuan itu kemudian disentuhnya pelan-pelan rambutnya yang hitam dan harum—kedua tangannya mulai gemetar—lantas mengikatnya amat perlahan dari sisi belakang dengan model ekor kuda. Mereka tidak saling berhadapan namun berdiri menghala pada satu arah.