Pimpinan perguruan tinggi tersebut, Rudre Gowda, menegaskan mereka tidak bisa mengizinkan para mahasiswi untuk menggunakan hijab di kelas karena aturan seragam.
Ia pun berargumen kebijakan tersebut diatur oleh Kementerian Pendidikan. Mahasiswa, pelajar, dan aktivis HAM di India menentang larangan berhijab ini sebagai “bias terhadap minoritas Muslim.”
“Kami berdiri bersama mereka dengan penuh solidaritas dan dukungan. Kami mendesak para pejabat di administrasi perguruan tinggi yang melarang perempuan Muslim menggunakan hijab agar diskors. Kami mendesak para gadis itu untuk bisa masuk kelas dengan menggunakan hijab mereka, dengan kehormatan dan martabat,” ujar Sekretaris Gerakan Persaudaraan di New Delhi, Afreen Fatima.
Asosiasi pengacara setempat telah melayangkan surat kepada Pemerintah Karnataka, agar bisa dilakukan investigasi terhadap perguruan tinggi tersebut.
“Penolakan terhadap pendidikan bagi remaja-remaja Muslim dan memaksa mereka untuk memilih antara pendidikan atau keyakinan mereka adalah isu hak asasi manusia, dan harus ditangani layaknya itu [isu HAM],” tegas asosiasi tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, kerap kali terjadi diskriminasi di Negara Bagian Karnataka yang menargetkan kaum minoritas, yaitu umat Islam dan Kristen.
Bulan lalu, Majelis Pemerintahan Karnataka mengesahkan undang-undang yang melarang perpindahan agama. Pemerintahan setempat menuding kelompok misionaris Kristen memaksakan umat Hindu untuk pindah agama. Tuduhan itu dibantah keras oleh pemuka agama Kristen.***