“Guru itu pembohong”
“Guru itu pembual”
“Guru itu keras kepala”
Itu adalah kata-kata yang selalu terbenak dalam hatiku saat ada guru yang mengajar, atau lewat di jalanan. Aku langsung mengutarakan pandang menuju tanah, sembari menunduk dan bergumam “guru itu pembohong”.
Tiap kali melihat ada guru yang berbicara di depan anggota kelasnya atau di depan pengurus- pengurus rayonku, aku hanya melihat so’ serius padahal hati dan pikiranku melayang kemana-mana, mandilah, habis maghrib makan di dapurlah, bahkan antri di kantor administrasipun kupikirkan kala itu, dan sama sekali tidak mendengarkanya. Memang metafisikku seperti orang yang sangat haus akan apa yang ia ucapkan, tapi sebenarnya metafikiranku berlari sekuat tenaga mengejar arah yang akan kutuju selepas waktu itu. Sembari bergumam dalam hati, “halah, Cuma membual”.
Tetap dalam garis lurus yang sama. Tiap kali ada guru yang menyuruh untuk melakukan sesuatu, meminta sesuatu, dan lebih akrab mereka sebut sebagai “minta tolong”, itu hanyalah bualan biasa yang sering kali ku dengar ditiap hari waktu, jam, menit, bahkan detik. Mereka memaksa untuk terus belajar, bahkan sampai marah-marah didepan kelasnya. Dan saat itu juga aku kembali bergumam dengan apik, tersembunyi didalam sanubari, tak terlihat walau wajahku sebenarnya sangat-sangat menerima hal itu. Ya, tidak salah lagi, “guru itu keras kepala”.
–@–
Perkenalkan, Namaku Angkasa. Dulu aku dikenal sebagai orang yang paling tledor, jarang mandi, malas-malasan saat ku masih bersekolah disebuah pesantren. Tapi, aku adalah orang yang sangat bersemangat untuk menuntut ilmu sampai-sampai mandipun kulupakan.
Durasi waktunya di mulai dari terbitnya matahari dari timur, sampai terbenamnya ia dibarat. Sebelum tidur rasanya gatal membungkus ragaku sembari tertawa licik dibelahan pori-pori tubuh. Mungkin mereka waktu itu sedang berpesta ria merayakan kemenangan atas perjuangan mereka seharian penuh menggodaku untuk tidak mandi.
Darul hijrah. Itu asramaku. Setiap saat aku mendengar singa mengaum, timah besi dan baja saling berbenturan diantara dua kelopak tangan pengurus asramaku. Kami berlarian ketakutan. Takut kalau-kalau terlambat, maka kamar kami akan berubah menjadi samudera luas yang membentang. Bahkan kalau diizinkan Menteri Perikanan, lumba-lmba bisa bermain-main dikamarku.
Belum halnya dengan pembelajaran bahasa, pelajaran pagi, pelajaran sore, belajar malam, pramuka hari kamis siang, latihan pidato kamis pagi, malam, ahad malam, ditambah lagi dengan tidur jam sepuluh, bangunnya jam tiga subuh. kalau dipikir-pikir memang berat,
bahkan Dilan pun tak kuat untuk memikulnya. Sepertinya hal yang sama juga dirasakan oleh Ironman jika tahu beratnya nilai sebuah pendidikan.
Aku mengenal sebuah mantra ajaib yang telah memeluk erat jiwaku sampai hari ini, “MANJADDA WAJADA”. Kata-kata itu dikenalkan pertama kali oleh guruku. Pak Ali Namanya. Beliau seorang yang sangat aktif dan kusegani, aku turuti apa yang selalu ia katakan. Belajar, berusaha, bekerja keras. Hingga sampailah aku pada suatu masa yang mana telah memalingkan ku seratus delapan puluh derajat kebawah tanah dari yang sebelumnya tinggi di pucuk angkasa terjun bebas tanpa alat bantu jatuh didasar jurang.
–@–
Pagi dini hari. Sinar Mentari menyemburat dibalik pentelasi ruangan. Teriknya menelisik diantara jendela kelas yang terbuka. Tapi untungnya mendung datang. Dan memayungi seisi kota.
Teman-temanku terlihat cemas. Disampingku, Vio, terlihat wajahnya pucat, giginya bergetar. Bahkan Angga, yang duduk dimeja paling pertama mondar-mandir izin masuk keluar ruangan kelas, ke tolilet alasannya. Guruku, duduk didepan. Wajahnya menggambarkan panglima perang Uhud dari sisi kafir yang garang. Matanya melototi mata kami. Padahal kala itu kelas- kelas lain tengan bergembira. Aku yang duduk di samping jendela melirik kekelas lain, mereka tertawa. Tapi ada juga kelas lain yang bernasib sama seperti kelasku, tepat berseberangan dari kelasku Rhobitoh lantai tiga.
Padahal kalau kau tahu, waktu itu adalah waktu untuk pembagian rapot santri-santri sepesantren.
Aku hanya terdiam, aku tak perlu takut karena aku sudah bersusah payah belajar. Aku yakin nilaiku tinggi. Mungkin penyebab marahnya guruku adalah nilai-nilai teman-teman yang jarang belajar.
Hinga akhirnya tibalah saat dimana guruku angkat bicara. “KENAPA NILAI-NILAI KALIAN RENDAH!”.
Aku terlonjak kaget. Guruku berteriak keras sekali. Ini kali pertama bagiku melihatnya sangat- sanga marah.
“SAYA SUDAH BILANG BELAJAR SUNGGUH-SUNGGUH”.
Beliau Kembali menimpali kemarahannya.
Kami hanya tertunduk. Tak berani melihat wajahnya. Aku yang dari tadi tenang-tenang saja pun mulai di gemaluti rasa takut. Apalagi Ketika rapot mulai dibagikan dan kami mengambil satu-persatu kedepan. Absen pertama maju, kedua, ketiga, dan sampailah aku dinomor ke tujuh belas.
“Angkasa”.
Aku maju, tanganku bergetar menyambut secarik kertas yang berbalut amplop besar berwarna cokelat itu. Aku Kembali ketempat duduk, dan tidak berani membukanya. Entah mengapa.
Dan tibalah saat dimana guruku menyuruh kami untuk membuka amplop itu.
Satu persatu mulai terlihat ekspresinya. Ada yang gembira, diam saja mematung tanpa kata tanpa gerak seperti halnya arca-arca di patung Borobudur, sampai ada yang menangis berderai air mata.
Aku masih tenang-tenang saja sambil melihat remeh mereka yang telah membuka. Aku yakin nilaiku pasti besar dan tidak akan ada yang bisa menyaingi nilaiku.
Perlahan-lahan kuangkat secarik kertas itu, dan….
Seakan detik berhenti, gejolak eforia yang tadi menyelimuti jiwaku hilang tanpa arah tanpa alamat. Keringat dingin bercucuran dari pelipisku. Ada sebuah getaran aneh yang menari-nari di dalam fikiranku, “tidak mungkin, tidak mungkin….”.