“ANGKASA!”
Aku terlonjak. Guruku memanggilku dengan nada sangat keras. Aku disuruh maju dan dimarah-marahi olehnya. Perhan-lahan namun pasti, air mata bergelinciran dipipiku. “mengapa? Mengapa bisa?”. Mengapa bisa aku menjadi nilai terendah di kelas. Bukankah aku sudah belajar sekuat tenaga? Membawa buku kesana kemari agar nilai ujianku bagus? Lalu mengapa?.
Dikala guruku memarahiku di depan kelas. Entah dari mana asalnya sebuah rasa yang tak pernah kuundang datang merasuki tubuhku. Sebuah gelora yang tak bisa kusebutkan apa rasanya karena abstrak membaluti jiwaku. Ya, rasa itu berbanding lurus dengan apa yang disebut sebagai, dendam….
–@–
Semenjak hari itulah watak dan sifatku berubah. Tak peduli dengan apa yang mereka sebut sebagai “guru”. Aku merasa terhianati. Aku sudah bersungguh-sungguh. Tapi apa, apa yang kudapatkan berbelok arah dari apa yang kuharapkan. Aku ingin nilai yang tinggi, besar, dan dapat mengalahkan teman-teman ku. Apa yang guru ucapkan hanyalah sandiwara biasa. Bahkan mengandung kebohongan besar didalamnya.
Berhari-hari aku termenung. Semenjak hari itu aku berpindah tempat duduk. Dibelakang, samping kanan kalau dari papan tulis. Aku hanya melihat materi pelajaran. Mengeluarkan buku kalau disuruh. Lalu diam. Mataku memang menatap, tapi dalam keadaan pikiran kosong. Aku menunggu sesuatu yang datang dan membiarkannya mengusap-ngusap gelisahku, ya, aku tidur.
Setiap kali dibangunkan, aku tak menggubrasnya dan kembali tidur. Hanya basa-basi belaka yang membual dengan debu-debu kapur. Merekayasa seakan-akan ialah rajanya. Nyatanya hanyalah berbohong.
–@–
Hingga sampai pada suatu malam. Bintang-bintang seolah bernyanyi dengan riangnya. Aku terbangun dari tidur, entah kenapa. Aku berjalan ketempat wudhu. Kamarku dilantai dua. Sebelum ketempat wudhu aku mecoba menerka sesiapa orang yang tengah sholat dilantai satu masjid bagian depan. Aku seakan mengenalnya, tapi siapa ia. Mataku masih dibaluti buram- buram. Kurang jelas siapa yang sedang kulihat. Beberapa detik kemudian, aku tahu persis sosok itu. Ia guruku, pak Ali yang pandai berbohong itu.
Dikala aku turun tangga. Ada suara yang memanggilku. Aku menoleh kebelakang dan benar saja itu pak Ali.
“Angkasa”
Pak Ali tersenyum. Itu kali pertamaku melihat senyumnya selepas tiga hari berturut-turut aku tak peduli siapapun. Aku tertunduk. Beliau menghampiriku. Dan mengajakku ketepi tangga utama masjid. Kalau kau tahu, seandainya kau duduk disana, maka kau akan lihat indahnya pesantrenku dipagi hari, akifnya disore hari, dan damainya dimalam hari.
Beliau menunjuk langit malam.
“Angkasa, coba kamu perhatikan betapa kuasanya Sang Agung membangun alam semesta”.
Ia mengajakku untuk menatap langit lamat-lamat. Memandangnya. Aku mencoba merekam apa yang tengah kulihat kala itu. Perbintangan kelap-kelip mekar dipucuk langit. Lamat-lamat, aku terbawa arah untuk memanjat tebing angkasa. Entah apa yang ada dilangit sana. Tapi itu indah. Tenang, damai, tentram, bintang-bintang itu seakan merayap di atap bumi.
Aku terpana. Entah mengapa hatiku tersiram gugusan bintang itu.
“Kau lihat Angkasa. Di alam semesta ini tak ada satupun makhlukNYA yang diciptakan sia- sia. Bahkan seekor nyamuk, rayap, bahkan semut. Coba kau perhatikan burung yang berterbangan di pagi hari, awaknya kurus. Tapi coba perhatikan dengan apik di senja petang, mereka kembali kesarangnya dalam keadaan perut berisi. Itu adalah tanda kuasaNYA yang mana telah dijanjikan pada tiap makhluknya untuk jangan takut akan rezekiNya. Karena Allah pasti mencukupkannya. Itu janji yang maha kuasa. Pemilik alam ini”.
Aku terdiam membisu. Tak ada kata atau kalimat yang dapat kulontarkan. Hanya diam dan ingin lagi mendengarkan,
“Namamu Angkasa, pasti ada alasan kedua orang tuamu mengapa mereka menamaimu Angkasa. Karena mereka ingin kamu menjadi sosok yang ahli untuk mensyukuri nikmat Allah. Bertafakkuh pada keagungan langit, angkasa, dan pula jagad raya yang menghampar luasnya. Saya tahu apa yang kamu rasakan sekarang. Tapi jangan menyerah. Ubah niatmu yang sebelumnya menuntuk ilmu untuk mendapatkan nilai besar, menjadi menuntut ilmu karenaNYA semata. Karena sesunguhnya ilmu itu milikNya, dan hanya makhlukNya yang diridhoiNya untuk dipinjamkan”.
Kali ini metafikiranku benar-benar menyatu dengan apa yang Pak Ali katakan. Jagadraya yang menghampar luas itu mengingatkanku akan namaku sendiri.
“Angkasa. Kalau suatu masa datang kepadamu dengan membawa sebongkah gelisah. Maka tak ada jalan Kembali kecuali padaNYA. Dirikanlah shalat di dua pertiga malam, karena kau tahu kenapa?, karena Ketika doa sang anak bersatu dengan doa kedua orang tuanya di waktu itu,
ArsyNYA bergetar, malaikat dengan khidmat menyaksikan, dan doamu pun dengan sekejap terkabulkan. Itu lah wujud kasih sayang Sang Agung kepada hambanya”.
Entah mengapa dan apa yang sedang terjadi, aku merasakan getaran luar biasa dihati. Dan entah mengapa juga air mataku menetes tanpa izin pikiran. Spontan. Apakah ini yang dinamakan cinta guru pada muridnya…
“Angkasa, bermimpilah setinggi namamu, angkasa. Angkasa itu punya sebuah panorama yang tak bisa ahli seni ciptakan dengan sedemikian rupa. Karena keindahannya hanya dapat dinikmati dengan langsung menatap panorama itu, itulah di mana siluet jingga berpendar dan merah merona mekar di pusaka langit. Perpaduan yang harmonis antara siang dan malam. Ya, itulah senja. Keindahan senja”.
“Saya berharap agar kamu menggantungkan angan dan cita-citamu di senja itu. karena malam akan datang dan perbintangan itu pasti memeluknya dengan erat. Bangkitlah Kembali, bangun kembali. Buka matamu, dan berlarilah, kejar cita-citamu. Saya ingat kalau dulu kamu pernah bilang ke saya kalau kamu ingin bersekolah di Maroko. Iya kan?”.
Aku salut, ternyata Pak Ali masih ingat cita-citaku bersekolah di Maroko. Aku mengangguk, dia benar aku ingin sekali kesana. Untuk belajar penuh di sana.
“Maka kejar cita-cita itu. Ustadz yakin kamu pasti bisa, tidak ada kata ‘tidak bisa’ selagi kamu masih bernafas. Dan setelah ini jika kamu benar benar ingin kesana, tanamkan dalam jiwamu ‘MAN JADDA WAJADA’. Lalu bangun esok pagi, dan saat kamu membuka mata, maka petualangan besarmu, dimulai…..”.
–@–
Pagi ini Mentari nampaknya sedang tersenyum. Aku melihat keluar jendela. Angin laut berhembus damai. Lumba-lumba tampak dari kejauhan. Meloncat-loncat dengan riangnya.
“Angkasa! Hayya lanadzhab!”.
Aku kenal suara itu. Itu suara Ates. Teman dekatku kuliah. Kami satu jurusan. Rumahnya bersebelahan dengan penginapanku. Kami memang biasa bersama ke Universitas. Universitas Hasan II di Casablanca.
Bus kami datang menjemput. Aku duduk dengan lega. Entah kenapa rasa ‘lega’ itu selalu datang di tiap kali ku naik bus ini. Kadang aku tersenyum menatap langit. Memang tuhan punya rencana untuk semua hambanya.
Waktu berjalan begitu cepat. Dan sudah tiba saatnya pelajaran berakhir.
Aku berniat menuju pantai, sembari menatap indahnya Laut Taghazout merangkul Mentari yang pulang kerumah. Ates sudah lebih dahulu pulang. Tadi ia izin katanya kakanya yang perempuan melahirkan anak kedua. Lalu dia langsung pergi ke rumah sakit.
Aku berjalan menyisiri pantai. Angin laut seolah bercengkerama dengan pohon-pohon kelapa. Aku duduk di tebing yang langsung menyorot pada indahnya lautan. Mentari mulai turun. Birunya laut seolah memberikan aba-aba untuk sebuah kejutan luar biasa. Aku tersenyum melihat siluet jingga yang mulai berpendar. Merah melayang-layang disisinya. Hitam dan abu- abu seakan saudara kandung yang dilahirkan Rahim yang sama, sang putih.
Senja memang indah. Aku tak bisa mengingkari pernyataan itu. sekarang aku baru sadar,
“Guru itu pembohong”. Beliau memang pembohong, sangat cerdas sehingga pandai berbohong pada kebohongan.
“Guru itu pembual”. Beliau memang pembual, dan selamanya akan menjadi pembual. Karena hidup tanpa bualan atau lebih sopan di kenal sebagai ‘berangan jauh’, maka namanya bukan hidup. Tapi mati dalam keadaan masih bernyawa.
Dan aku sangat berterima kasih pada “guru keras kepala”, karena tanpa kerasnnya tekad yang melekat pada kepala untuk menjadikan muridnya lebih baik. Aku tak akan pernah sampai melangkah sejauh ini.
Dan kepada jingga yang merona diujung senja itu, terima kasih banyak, karena engkau telah memperkenankanku menginjak tanah kelahiranmu ini.
Maroko, negri senja. Negri matahari terbenam.
Penulis : Muhammad Rayza Fadilla