“Hahaha!” Asahi tak sanggup menahan perasaan senangnya.
Kedua gadis itu memperkenalkan diri. Gadis yang berambut panjang dikucir satu berwarna pirang adalah Glinda dan yang berambut pendek berwarna biru adalah Lapis.
Mereka bertiga menghabiskan waktu istirahat bersama-sama. Namun, di tengah kegembiraan itu, Asahi melirik ke arah Rikuto yang duduk sendiri di mejanya sambil memakan roti keju. “Apakah dia yakin dia enggak membutuhkan teman lain selain aku?” tanya Asahi dalam hati.
Tidak terasa, sudah satu bulan sejak pertama kali Asahi dan Rikuto bertemu. Mereka telah melewati satu bulan itu dengan senang dan mengisinya dengan aktivitas-aktivitas yang menyenangkan pula.
Mereka berdua bergabung dengan ekstrakurikuler berkebun dan sudah menanam banyak buah, sayur, serta bunga-bunga yang indah.
Mereka juga pernah mengikuti uji coba kursus melukis, namun kelihatannya Rikuto tidak mempunyai bakat dalam bidang ini.
Pada hari-hari tertentu di mana hujan turun dan mereka lupa membawa payung, Rikuto menggunakan jaketnya untuk menutupi dirinya dan Asahi, lalu mereka pulang sambil berlari-lari di bawah hujan yang dingin.
Rikuto juga sering main ke rumah Asahi, tentu saja masih belum diketahui ia masuk lewat mana.
Mereka juga sering saling menelepon untuk curhat di tengah malam, seperti ketika waktu Rikuto dikejar kucing dan ia meminta saran kepada Asahi bagaimana cara untuk akur dengan kucing-kucing jalan.
“Sudah enggak sabar besok untuk ketemu Rikuto!” Itulah kalimat yang dipikirkan Asahi tiap malam sebelum tidur.
Suatu hari, Rikuto tidak masuk sekolah. “Rikuto enggak masuk? Apakah dia sakit?” gumam Asahi saat guru masuk ke kelas untuk memulai absen. Asahi yang biasanya terlalu sibuk memikirkan Rikuto sampai-sampai tidak pernah mendengarkan absen, memutuskan untuk mendengarkannya dengan serius.
Namun, setelah guru selesai mengabsen, Asahi sadar bahwa nama Rikuto tidak disebutkan sama sekali. Ia ingin bertanya kepada guru, tetapi terlalu malu untuk melakukannya. Sepulang sekolah, ia bertanya kepada Glinda dan Lapis. “Kalian tahu mengapa Rikuto tidak masuk?”
“R-Rikuto Hydros..?” tanya Glinda yang mulai berkeringat dingin.
“Rikuto.. murid yang dulu di kelas 7 dikenal sebagai ‘Anak Jenius’ itu, kan? Bukannya dia sudah koma di rumah sakit sejak awal kelas delapan ini?” lanjut Lapis. “Katanya, dia diundang ke sebuah pesta oleh pacarnya. Namun, saat ia sudah tiba, ia melihat pacarnya bergandengan tangan dengan pria lain.
Rikuto tidak masalah dengan hal tersebut, namun ia meminta penjelasan. Pacarnya tidak mau dan mendorong Rikuto dengan kuat hingga ia terjatuh ke tengah jalan dan tertabrak mobil. Semua orang panik dan segera memanggil ambulans. Setibanya di UGD sebuah rumah sakit, ia langsung diperiksa.
Ajaibnya, ia tidak mengalami luka-luka yang terlalu berat, namun sepertinya ia tidak mau bangun dari ‘tidur panjangnya’ itu. Kedua orang tua Rikuto hanya bisa bersedih dan menunggu anak mereka terbangun.”
“Kita semua juga hanya bisa berdoa dan menunggu,” Glinda melengkapi. Asahi diam seribu bahasa mendengar penjelasan kedua temannya itu. Ia berpikir, apakah selama ini dia hanya berkhayal? Tanpa disadari, sebutir air mata membasahi pipi Asahi. “B-Baik, kalau begitu. Terima kasih,” ucap Asahi kepada kedua temannya itu dengan sebuah senyum kecil
dan kedua mata yang berair. “Aku pamit duluan.” Ia segera berlari menuju pintu kelas. “Asahi, kamu mau kemana??” tanya Glinda yang masih cemas pada Asahi. “Aku.. mau bertemu dengan seorang teman!” Itu kalimat terakhir Asahi sebelum meninggalkan ruang kelas.
Saking cepatnya Asahi berlari, ia tidak menyadari kalau pita yang ada di rambutnya terjatuh dan ia sendiri hampir menabrak beberapa orang. Ia ingin sekali membuktikan dengan kedua matanya bahwa selama ini ia tidak berkhayal.
Semua kenangan akan hal-hal yang telah ia lakukan bersama Rikuto terasa asli dan menyenangkan, sehingga ia tidak mau melepaskan ‘kenyataan’ itu. Setelah berlari tanpa tujuan, ia membuka buku catatannya untuk membaca alamat yang pernah diberitahu Rikuto dan menemukan sebuah rumah sakit.
Ia segera mengisi daftar kunjung dan bertanya kepada seorang perawat tentang kamar Rikuto dan meminta izin atas kunjungannya sebagai teman. Dengan baik hati, perawat memberikan kartu berkunjung pada Asahi. Asahi berterima kasih dan segera pergi ke kamar Rikuto yang berada di lantai 4.
Sementara itu, di tempat di mana pita Asahi terjatuh, sebuah bayangan transparan yang berwujud seperti pria yang memakai baju rumah sakit memungut pita itu dan menghilang.
Asahi mengetuk pintu kamar dengan nomor 402, namun tidak ada jawaban. Ia membuka kamar itu perlahan-lahan dan melihat seseorang sedang tertidur di atas ranjang dengan salah satu kaki dan lengan dibalut perban.
Ia meletakkan tas jingganya dan berjalan perlahan menghampiri ranjang itu. Dibukanya tirai hijau rumah sakit dan dilihatnya Rikuto yang terbaring di atas ranjang dengan wajah tenang dan napas yang stabil. Lutut Asahi terasa lemas dan ia pun terjatuh dengan lutut terlebih dahulu menyentuh lantai.
Ia menggenggam tangan Rikuto dengan erat dan memendam kepalanya di selimut Rikuto. “Ternyata selama ini aku hanya berkhayal..,” isak Asahi. Ia tidak menyadari bahwa air matanya menetes pada tangan Rikuto yang digenggamnya dan di situ muncul cahaya berbentuk benang-benang emas.
Cahaya itu menyebar ke seluruh badan Rikuto. Tiba-tiba, Rikuto membalas genggaman Asahi.
“Enggak, kok. Selama ini aku memang ada di sisimu, Asahi!” ucap Rikuto yang akhirnya terbangun dengan wajah dihiasi senyum hangat. Matanya juga normal.
Asahi yang sangat bahagia itu tidak bisa menahan tangisnya dan Rikuto meminjamkan pundaknya kepada Asahi. Ia juga mengelus-elus rambut Asahi yang sedang menangis di pundaknya. “Oh, ya! Tadi aku menemukan pitamu di jalan,” ucap Rikuto sambil menyodorkan pita ungu Asahi yang terjatuh.
“Oh, makasih!” jawab Asahi sambil mengusap air matanya. Setelah menenangkan dirinya, Asahi mengambilkan Rikuto segelas air hangat dan duduk di ranjangnya, di sisi Rikuto. Rikuto mengajak Asahi untuk berbincang-bincang sampai tidak menyadari waktu kunjungan Asahi sudah habis.
Seorang perawat mengetuk pintu kamar Rikuto, “Permisi, Nona Asahi, waktu berkunjung anda sudah-” ucap perawat itu terpotong pada saat ia melihat Rikuto yang sudah bangun dan segar.
“YA AMPUN! DIA SUDAH BANGUN!!!” teriak perawat itu, mengalihkan perhatian cukup banyak dokter dan perawat di sekitar situ, juga beberapa pasien yang kebetulan melewati kamar Rikuto. “Nanti kita lanjutkan, ya,” ucap Rikuto yang diakhiri
dengan tawa kecil. Asahi mengerti lalu pamit untuk pulang ke rumahnya, sedangkan Rikuto harus melakukan beberapa pemeriksaan. Akhirnya malam itu juga, Rikuto boleh dipulangkan. Kedua orang tuanya menangis bahagia dan menjemput Rikuto pulang.
Lusanya, Rikuto masuk ke sekolah seperti biasa. Tidak terasa aneh baginya karena ia memang sudah mendatangi ruang kelas itu, walau tidak dalam wujud fisik. Semua murid di kelas itu segera menghampirinya, terutama yang perempuan.
Di kelas 7, Rikuto memang dikenal sebagai murid yang pintar dan tampan sehingga diminati banyak murid perempuan. Rikuto hanya menyaksikan Asahi yang tertawa di mejanya di pojok ruangan kelas.
Saat guru memasuki ruangan kelas, ia memanggil Rikuto untuk menemuinya ketika istirahat. Ia menyodorkan kepada Rikuto sebuah tumpukan kertas yang cukup besar. Itu adalah tugas-tugas yang belum dikerjakan Rikuto.
“Santai saja mengerjakannya. Saya kasih waktu satu bulan,” ucap guru itu sambil menepuk punggung Rikuto. Dua hari kemudian, Rikuto mendatangi guru itu dengan sebuah tumpukan kertas yang cukup besar pula.