Betulkah Ada Minyak Goreng Seharga Rp 14.000 ?

Keberadaan minyak goreng benar-benar memprihatinkan. Begitu langkanya, dan lama tidak kelihatan di swalayan-swalayan kecil, sehingga sangat dirindukannya.

Oleh :Nurhayana Kamar, Pimred Fajar Pendidikan

Bayangkan saja, sudah hampir sebulan, gerai toko – toko kecil, kosong – kosong. Yang menghawatirkan, karena kurang lebih sebulan lagi, kaum muslimin menjalani ibadah puasa. Tak terbayangkan bagaimana jadinya, bila salah satu kebutuhan dapur ini, tetap seperti sekarang kondisinya, langka keberadaannya.

Sebetulnya di toko – toko grosir, dan pusat – pusat swalayan, barang ini tetap selalu ada. Namun tidak setiap saat tersedia. Bila barangnya datang, langsung habis. Karena memang sudah dinanti masyarakat. Itupun harus menunggunya lebih pagi.

Namun masalahnya bagi masyarakat umum, disamping jauh menjangkaunya, ongkos menjangkaunya, jauh lebih besar, dari harga minyak goreng itu sendiri. Apalagi pembelian terbatas. Hanya dua liter perorang. Itu pun yang dilayani toko grosir, hanya yang jadi member (anggota).

Bagi pedagang yang member, bisa mendapatkannya lebih banyak. Agaknya, masyarakat umum mendapatkannya sekarang lewat pedagang tersebut. Namun tentu saja, pembeliannya juga terbatas. Sampai kapan cara ini bisa ditempuh ? Juga tidak mudah menjalaninya.

Ada gak sih ?

Saking langkanya, sehingga ada masyarakat tidak percaya, kalau ada minyak goreng seharga Rp 14.000 perliter. Padahal sudah ada ketetapan baru Pemerintah, dengan harga yang lebih rendah lagi, sejak 1 Pebruari 2022, Rp 11.500 perliter.

‘’Sebenarnya benar ada nggak sih minyak goreng harga Rp14 ribu? Sebab sudah beberapa hari saya datangi swalayan langganan, rak yang disediakan untuk menampung minyak goreng terlihat kosong. Terdapat permohonan maaf karena stok minyak tidak ada alias kosong’’.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

‘’Di sampingnya terdapat kertas pengumuman dari pihak swalayan yang menyatakan pembatasan pembelian minyak, hanya boleh dua buah per orang dalam satu transaksi. Pengumuman itu saat ini tidak berarti karena minyaknya tidak ada’’, tutur ibu Ega, seperti yang dilansir Jernih.co.

- Iklan -

Mungkin, ibu Ega sudah frustasi, mencari minyak goreng seharga Rp 14.000, sejak penurunan harga, namun dia tidak mendapatkannya. ‘’Sudah beberapa hari kami terpaksa tidak membuat kudapan gorengan kesukaan keluarga karena sulitnya mencari minyak goreng.

Di swalayanan ada juga minyak goreng premium, namun harganya cukup menguras dompet. Di pasar tradisional harga minyak goreng malah lebih melambung lagi’’, tambahnya.

Keluhan ibu Ega, dengan tingginya harga minyak goreng di pasar tradisional, dibenarkan Jumriah, waga kawasan Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. ‘’Harga di pasar tradisional, luar biasa mahalnya’’, tuturnya.

Hari – hari terakhir ini, memang sudah ada diedarkan di pasar tradisional, kecuali di toko – toko kecil. Padagang sudah berani menjajakannya. Pastinya, stock lamanya. Beberapa hari sebelumnya, meskipun mereka punya stock lama, namun tidak berani menjajakannya.

Karena tabrakan dengan harga yang dipatok Pemerintah, sehingga mereka menahannya. Namun dengan melihat konsumen, kelimpungan mencarinya, dan susah mendapatkannya, ya apa boleh buat, istilah orang Makassar, dibelakang persoalan.

Baca Juga:  Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Namun itu tadi, harganya malah lebih mahal dari sebelum terjadi penurunan harga. ‘’Ada stock lama, tapi harganya Rp 50.000’’, ucap salah satu pemilik toko kecil di kawasan Jl.Cendrawsih, Makassar, yang akrab disapa Aci.

’’Murah, tapi susah didapatkan barangnya. Turun harga tetapi langka di pasaran’’, keluh ibu Norma mau mengatakan, ‘’buat apa murah, tapi sudah didapatkan, buat apa turun harga, tapi langka di pasaran’’. Tetapi, segan mengeluarkan pernyataan tersebut.
Namun, kalau sudah sampai Rp 50.000 per dua liter.

Tentu sudah sangat mencekik. Kebutuhan dapur, tidak hanya minyak goreng. Itu pun volume 2 liter, tidak cukup untuk kebutuhan sebulan. Pertanyaannya, bisakah emak-emak membikin makanan, secara terus menerus, tanpa sesekali ditumis, atau digoreng ?

Lalu bagaimana dengan pedagang kaki lima, dan gerobak di pinggir jalan, yang jualannya tergantung dengan minyak goreng ? Bila kondisi minyak goreng terus-terusan seperti sekarang ini, akan menambah deretan angka kemiskinan dan pengangguran, dengan berhentinya pedagang -pedagang kali lima dan gerobak pinggir jalan, beroperasi. Paling tidak, menaikkan harganya, dan bendanya lebih kecil lagi.

Hal tersebut, sudah terjadi. Gerobak jualan sempol yang menjadi langganan penulis, sudah mengurangi jumlah tusuknya. Sebelumnya, beli Rp 5000, dapat 6 tusuk bila langganan. Harganya bila tidak langganan, Rp 1000 pertusuk. Beberapa hari ini, Abang sempol itu, tidak memberikan lagi diskon. Beli Rp 5000, dapatnya 5 tusuk. Mungkin saja nantinya dikurangi lagi menjadi 4 tusuk.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU