BINTANG DI TENGAH KESUNYIAN

Suara hujan masih terdengar jelas berjatuhan di atap rumah kami yang sudah mulai usang termakan usia. Hujan yang turun sedari sore seakan enggan untuk beranjak dari bumi pertiwi ini. Sayup-sayup kudengar suara Bapak sedang berbicang dengan Ibu di ruang tamu. Di dalam kamar sederhana ini aku masih meringkuk kedinginan setelah kehujanan sore tadi.

Suara hujan ini seakan membawa pikiranku akan masa depanku. “Tidak lama lagi aku lulus SMA, apa yang harus aku lakukan selanjutnya?” gumamku dalam hati. “San, kamu tidak ikut kumpul di ruang tamu?” suara Ibu membuyarkan lamunanku. “Iya bu, sebentar lagi” jawbku pelan.

Dengan masih menggunakan selimut aku beranjak dari tempat tidur menuju ke ruang tamu. Disana seperti biasa seluruh keluargaku berkumpul untuk sekedar bercengkrama, menikmati makanan ringan buatan ibuku, dan menonton televisi. “Kamu kenapa San, sakit?” tanya Bapak. “Tidak Pak, Hasan hanya kedinginan tadi pulang sekolah kehujanan” jawabku pelan.

Aku merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Bapakku hanya seorang guru honorer di sebuah sekolah SMA swasta dimana tempatku bersekolah juga. Ibuku murni hanya seorang ibu rumah tangga. Kakakku hanya bersekolah sampai SMP saja dan tidak mau melanjutkan ke tingkatan berikutnya. Kini dia sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Adikku masih kecil-kecil, yang paling besar sekarang masih kelas VII SMP. Mengingat itu semua semakin membuatku berpikir keras apa yang akan saya lakukan setelah lulus SMA nanti.

“Kak, kamu lagi mikirin apa sih, dari tadi melamun terus” pertanyaan adikku membuyarkan lamunanku. “Iya San, Bapak perhatikan kamu tidak bersemangat hari ini” tanya Bapak penuh selidik. “Tidak ada apa-apa Pak” jawabku lirih. “Apa kamu punya masalah di sekolah, ceritakan saja” tanya Bapak lagi. Entah apa yang harus aku katakan pada Bapak. Apa aku harus mengatakan yang sejujurnya.

Tetapi jika aku mengatakan yang sejujurnya hanya akan menambah beban pikiran Bapakku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengatakan apa yang aku rasakan. “Pak, aku mau kuliah” jawabku dengan hati-hati. Bapak terlihat kaget mendengarkan keinginanku. Bapak masih terdiam belum mengeluarkan sepatah katapun. “Pak, apakah boleh?” aku mengulang kembali pertanyaannku.

Bapak mulai menarik napas panjang. Terlihat sekali raut kebingungan dalam wajah Bapak. “San, apakah keinginananmu untuk kuliah sudah bulat?” tanya Bapak. “Sudah Pak” jawabku mantap. “San, Bapak khawatir, apakah dengan kekuranganmu, kamu bisa menyesuaikan diri di tempat yang jauh dari kami?” tanya Bapak cemas. Aku sangat menyadari Bapak sangat mengkhawatirkan keadaanku.

Aku merupakan penyandang disabilitas. Semenjak kelas VI SD aku menjadi seorang tuna rungu. Jadi wajar jika Bapak berat sekali untuk melepasku jauh dari beliau. “Aku akan belajar mandiri Pak. Bapak tidak usah khawatir, disana pasti akan banyak yang membantuku” aku terus membujuk Bapak. “San, kalau kamu kuliah, bagaimana dengan biaya sekolah adik-adikmu?” jawab Bapak dengan hati-hati.

Aku terdiam lesu mendengar jawaban Bapak. Aku menyadari kondisi ekonomi keluarga kami memang jauh dari kata mapan. Jika aku memaksakan untuk kuliah bagaimana nasib adik-adikku. Hening, tidak ada lagi percakapan antara aku dan Bapak.

- Iklan -

Hari ini aku selesai melaksanakan ujian nasional. Aku tidak terlalu bersemangat untuk menanti hasil ujianku. Rasanya tidak ada lagi gunanya hasil ujianku. Aku duduk termenung di perpustakaan sekolah, tempat favoritku ketika waktu istirahat.

Tanpa aku sadari, Pak Agus guru olahraga di sekolahku sudah duduk di sebelahku. “Gimana ujiannya, bisa?” tanya beliau. “Bisa Pak” jawabku tidak bersemangat. “Lalu apa yang membuatmu tidak bersemangat?” tanya beliau lagi. “Aku tidak bisa melanjutkan kuliah Pak” jawabku singkat.

Guru olahragaku paham betul akan kondisiku, karena memang beliau sudah cukup lama mengajar di sini dan paham akan kondisi Bapakku. “Jangan patah semangat dulu, pasti akan ada jalan keluarnya, biar kamu tetap bisa melanjutkan kuliah” kata beliau sambil menepuk- nepuk pundakku.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman, rasanya sudah tidak mungkin hal itu terjadi. Walaupun aku selalu mendapatkan peringkat satu di kelasku, tetapi karena keadaannya seperti ini, apa yang bisa aku lakukan. “Nanti akan saya bantu San, tenanglah” ujar beliau lagi.

Pak Agus pergi meninggalkan ruang perpustakaan, meninggalkan aku sendirian yang masih meratapi nasib yang tak tau arahnya harus bagaimana. Seminggu sudah ujian nasional berlalu, selama itu tidak ada aktivitas berarti yang aku lakukan.

Membantu ibuku menjadi hal yang sering aku lakukan saat ini. Selepas itu waktu ku habiskan untuk membaca kembali buku-buku yang aku koleksi selama sekolah. “Jenuh juga ya setiap hari harus seperti ini, apa aku kerja saja ya, tapi kerja apa? Apakah ada orang yang mau menerima orang tuna rungu sepertiku?” gumamku dalam hati.

Berbagai pertanyaan mulai bermunculan dalam pikiranku. Ku buka Handphone jadulku untuk sekedar menghilangkan rasa jenuh dengan berbagi kabar dengan teman. Di tengah keasyikanku bercanda di dunia maya dengan teman, satu notifikasi pesan masuk. Kubuka ternyata dari Pak Agus. “San, ada beasiswa untuk kuliah. Tetapi harus ikut semacam les supaya lulus SMPTN selama satu bulan lebih di Yogya. Bagaimana San, mau? tanya Pak Agus melalui pesan singkat. “Akan saya diskusikan dengan Bapak dulu Pak, terimakasih informasinya” balasku.

Menunggu kepulangan Bapakku adalah hal yang sangat ku tunggu saat ini. Sesampainya di rumah, Bapak heran melihat aku begitu bersemangat. “Kenapa San, kamu kelihatannya bahagia sekali” tanya Bapakku sambil masuk ke rumah. “Aku ingin menyampaikan sesuatu yang penting Pak” jawabku.

Bapak mengurungkan niatnya untuk masuk ke kamar. Beliau mengajakku untuk duduk dan mengobrol di ruang tamu. “Ada apa San?” tanya Bapak. “Pak, kata Pak Agus ada kesempatan untuk Hasan memperoleh beasiswa kuliah” jawabku penuh semangat. “Iya San, tadi Pak Agus juga sudah bercerita ke Bapak” kata Bapakku. “Apakah Bapak mengizinkan?” tanyaku penuh selidik.

Bapak tidak langsung menjawab pertanyaannku, suasana hening beberapa menit hingga Ibu masuk ke ruang tamu dengan membawakan segelas air putih dan pisang goreng untuk Bapak. “Izinkan saja Pak, biarkan Hasan menentukan masa depannya. Tidak ada salahnya dia berusaha, Tuhan pasti memberikan pertolongan anak kita” kata ibu sambil menyuguhkan minuman untuk Bapak. “Baiklah, jika kamu sudah yakin akan keputusanmu, Bapak izinkan. Semoga berhasil San” jawab Bapak. Aku terharu dan senang tak terkira. Awan hitam yang selama ini meyelimuti hari-hariku seakan sirna seketika.

Dua hari kemudian, aku dan dua temanku berangkat menuju Yogyakarta. Hanya berbekal alamat kami beranikan bertiga untuk kesana. Diantara kami belum ada yang pernah ke Yogya, kami hanya modal nekat saja. Sesampainya di terminal, kami menghubungi ketua panitia untuk menjemput kami.

Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya mereka menjemput kami. Badan ini rasanya lelah sekali, maklum kami belum pernah bepergian sejauh ini. Tetapi kita tidak boleh mengeluh, setelah selesai merapikan barang bawaan dan menata tempat tidur, kami langsung bergegas membersihkan diri dan bersiap bergabung belajar bersama yang lain.

Satu bulan lebih kami belajar di sini, besok tiba saatnya kita akan mengikuti tes masuk SMPTN. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin, semua hasilnya aku pasrahkan pada Tuhan.

Pagi harinya, kita dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan tempat tes kami. Sepanjang perjalanan menuju tempat tes, selalu ku lantunkan doa-doa supaya hatiku tenang. Sesampainya di tempat tes, kami langsung menuju ke ruangan dan mengikuti semua prosedur yang ditetapkan. Aku mengerjakan dengan sepenuh hati, aku harus lulus. Waktu ujian telah selesai, keluar ruangan dengan perasaan lega.

Aku sudah mengerjakan sebaik mungkin, semoga hasilnya sesuai dengan harapanku. Esok harinya kami mengadakan kegiatan perpisahan dengan semua teman dan para pengajar dan panitia. Ada perasaan sedih karena harus berpisah dengan teman-teman dari berbagai kota dan para panitia serta pengajar yang begitu mengerti kondisiku.

Di sisi lain aku juga merasa senang karena sebentar lagi aku akan pulang ke rumah setelah satu bulan lebih aku di sini. Selepas Dzuhur kami bertiga pun diantar beberapa panitia menuju terminal. Setelah mendapat bus, kami berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada mereka.

Setelah menempuh perjalanan selama enam jam akhirnya aku sampai ke rumah. Ku salami Bapak dan Ibuku, ku peluk mereka penuh haru. Baru kali ini aku tidak bertemu orangtuaku selama ini.

Hampir satu bulan berlalu, besok tiba saatnya pengumuman hasil seleksi SNMPTN. Perasaanku sudah tak menentu, sudah tak sabar rasanya ingin melihat hasilnya. Pada saat malam mata ini enggan untuk terpejam, berbagai prasangka berkecamuk dalam pikiranku. Entah jam berapa mata ini terpejam, hingga tiba-tiba suara Bapak membangunkanku dari tidur. “San, Shalat subuh dulu, sudah jam lima” kata Bapak dari balik pintu. “Baik Pak” jawabku.

Akupun segera beranjak dari tempat tidur dan menunaikan kewajibanku. Tak lupa ku panjatkan doa semoga aku lulus SNMPTN. Siang hari setelah Bapak pulang dari sekolah, aku mengajak beliau ke warnet untuk melihat pengumuman. Di perjalanan tak henti-hentinya ku panjatkan doa. Begitu sampai di warnet, aku langsung mencari komputer yang kosong. “Disini saja Pak” kataku sambil menuju ke tempat kosong paling pojok.

Ku hidupkan komputer dan kuarahkan mouse ke symbol google. Ku ketikkan laman pengumuman seleksi dan ku ketikkan passwordnya. Ada rasa cemas jika hasil pengumuman tidak sesuai dengan yang ku harapkan, aku pasrah. Ku beranikan untuk melihat hasil pengumumannya.

Deg… seketika air mataku mengalir deras melihat hasil seleksi, aku tak sanggup lagi untuk berkata-kata. Ku peluk Bapakku dengan terus menangis. “Bagaimana hasilnya San? Tanya Bapak dengan perasaan khawatir. Aku masih terdiam dan berusaha menenangkan diri. Setelah tenang baru ku utarakan hasilnya kepada Bapak. “Aku lulus Pak. Aku diterima di Universitas Gajah Mada jurusan Sastra Indonesia Pak” jawabku sambil gemetar. Seketika Bapakku pun ikut larut dalam tangis, seakan semuanya seperti mimpi.

Kini aku sudah hampir lulus S1 dengan berbagai perjuangan yang amat berat. Semua yang mempunyai kekurangan sepertiku, kalian harus percaya jika kita mempunyai keinginan dan usaha yang kuat, kita bisa menggapai apa yang kita cita-citakan.

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Bintang Ditengah Kesunyian’ oleh Rina Prihatin yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU