Bintang Timur

Seorang gadis menatap lamat-lamat iringan salju yang turun dari langit kelam itu. Sekumpulan anak muda mulai bernyanyi riang penuh kegembiraan. Jalanan dipenuhi lampu gemerlap. Malam itu, malam kelam yang entah kenapa dipenuhi dengan kegembiraan palsu nan konyol. Orang-orang tak menghiraukannya, tapi hal itulah yang terjadi sebenarnya.

Seorang gadis duduk sendirian di pinggir danau yang sunyi. Matanya kini menatap nanar tengah danau itu. Kulitnya putih kemerahan. Rambutnya terlihat lembut dengan mata yang terlihat teduh. Namun, keteduhan itu seolah buyar saat gadis itu mulai melihat danau di depannya.

Tak ada orang waras yang duduk di pinggir danau itu, tentu saja selain gadis ini. Jaket tebal menyelimuti tubuhnya, sepatunya pun dari kulit, dan ia juga mengenakan syal berwarna merah yang melingkari lehernya. Tubuhnya ramping dengan tinggi hampir 170 cm.

Pikirannya melayang sampai ujung danau. Keindahan yang tampak di depan sana seolah hanya menjadi ilusi saja. Malam semakin larut, tapi gadis itu tak beranjak dari tempat duduknya. Sesekali ia menggosok tangannya karena kedinginan. Sesekali juga ia mengencangkan ikatan syal di lehernya.

Semakin gelap malam, semakin gemerlap nyala lampu di jalan-jalan. Semakin ramai klakson dibunyikan. Semakin ramai orang-orang keluar rumah. Iringan penuh semangat salju- salju itu tak menghentikan kegiatan orang-orang di malam gembira ini.

Bulan saja tak berani menghadapi orang-orang di bawahnya. Hanya tenggelam di langit malam tanpa sedikit pun menoleh ke bawah. Bintang hanya memaku di tempatnya. Jauh dan tak dapat dijangkau. Jauh dan hanya menjadi angan-angan. Jauh, bahkan sulit untuk dipikirkan lebih dalam.

Seperti sebuah samudera dingin nan dalam yang mengerikan. Seperti sebuah lubang hitam yang menyerap segala yang ada di sekitarnya. Terlalu luas. Semesta terlalu luas untuk dipikirkan makhluk kecil seperti manusia. Terlalu sombong jika mengatakan “aku lebih baik dari siapapun” dan terlalu berani untuk mencoba menduduki singgasana langit yang agung.

Kemudian, waktu mulai mendarat di angka 12 jam dinding. Malam semakin ramai. Semua orang berteriak. Kembang api menyala beriring-iringan. Langit dibombardir habis oleh api-api yang dipancarkan ke langit itu. Berwarna-warni indah di mata.

Suaranya bagaikan petir yang menyambar-nyambar. Satu kesatuan yang berpecah di jalan masing-masing. Apa yang membuat hal itu menyenangkan? Langit menangis karena bom manusia itu terus meledak mengenai dirinya. Langit menangis karena manusia sama sekali tak pernah mendoakannya. Langit selalu menangis.

- Iklan -

Padahal, langit selalu melindungi manusia di bawahnya. Menjadi atap, menjadi benteng, menjadi segala penopang manusia. Namun, langit hanya mendapat segala bom penuh ancaman itu sebagai balas budi dari manusia.

Seorang gadis kecil yang membawa keranjang berisi bunga datang menghampiri gadis penyendiri yang duduk di pinggir danau itu. Wajahnya seperti salju, putih. Bibirnya seperti darah, merah. Tangannya seperti sayuran kering, kurus. Keadaannya mengenaskan. Gadis itu menggigil. Tangan kanannya membawa keranjang kecil berisi bunga yang entah bunga apa itu.

Datanglah gadis kecil itu kepada gadis penyendiri.

“Kakak, maukah Kakak membeli bunga ini?”

Gadis itu memasang wajah memelas. Gadis penyendiri itu menoleh. Tatapan matanya kosong. Gadis kecil itu menunjukkan bunga jualannya kepada sang gadis.

“Bunga apa itu?” “Chamomile.”

Chamomile? Bunga apa itu?” tanya gadis penyendiri itu.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU