Gadis itu menatap lamat-lamat laki-laki yang mengaku sebagai “pengembara yang kebetulan lewat” itu. Bahkan wujudnya tak seperti seorang manusia biasa. Dari awal, matanya tertuju pada bagian tubuh di area punggung laki-laki itu. Ya, ada bagian tubuh yang begitu besar, berwarna putih bagai salju di punggung Raphael itu, sayap.
“Ini malam yang begitu meriah. Bintang bahkan tak terlihat di langit sana karena bom- bom berwarna-warni yang diciptakan oleh manusia modern ini. Langit digempur habis-habisan. Aku takut Tuhan marah dan menurunkan bencana besar. Bagaimana pendapatmu?”
Andromeda melihat langit. Ya, waktu sudah menunjukkan pukul satu malam, atau bahkan disebut dengan dini hari? Bulan tak terlihat sama sekali. Benda lembut berwarna putih itu terus berguguran dari langit. Dalam pikiran Andromeda, kenapa orang-orang sibuk sekali menggempur langit untuk menandai malam pergantian tahun dan pada musim penuh benda putih yang dingin itu?
“Aku tak memikirkan hari esok. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Kalau bintang berguguran esok hari, kalau singgasana Tuhan hancur berkeping-keping karena ulah mahluk yang diciptakannya, kalau kejahatan melampaui langit ketujuh, kalau bencana banjir menggenangi rumah-rumah warga, dan kalau dunia akan dihancurleburkan, aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat itu. Manusia kecil dan rendah sepertiku tak akan pernah tahu apa- apa tentang dunia yang begitu luas ini.”
Raphael menatap danau dalam-dalam. Wajahnya pucat. Dinginnya malam membuat tubuh Andromeda menggigil. Jaket tebal dan syal tak mampu melindungi dinginnya malam yang dilengkapi dengan guyuran salju itu.
Rambut panjang Andromeda tertiup angin, tergerai dengan indah penuh dengan kelembutan. Raphael menyadari itu. Ia membentangkan sayap putihnya yang sangat lebar itu untuk melindungi tubuh Andromeda dari dinginnya angin.
“Singgasana Tuhan tak akan hancur. Kehidupan yang fana ini akan berakhir sebentar lagi. Namun, Tuhan kekal di dalamnya bersama setiap hamba-Nya yang beriman. Tak ada yang perlu dikhawatirkan oleh manusia beriman. Mereka hanya perlu hidup dalam kebahagiaan yang abadi.”
Andromeda menyentuh sayap putih itu dengan penuh kelembutan. Hangat, ucapnya dalam hati. Kehadiran Raphael setidaknya membuat tubuhnya hangat. Apakah doa bisa dikabulkan secepat ini?
“Kamu tahu di mana letak pintu surga dan neraka?” tanya Andromeda.
Raphael melihat langit yang mulai dihiasi bintang. Tangan kanannya menunjuk ke arah bintang-bintang itu. “Anggap saja bintang-bintang itu sebagai pintu menuju surga,” jawabnya.
“Lalu, bagaimana dengan pintu neraka?” tanya Andromeda lagi.
Kali ini, Raphael menunduk dalam. Wajahnya sedih. Rasanya seperti wajah seseorang yang kehilangan orang penting dalam hidupnya. Dia kemudian melihat danau yang luas di hadapannya dan menunjuknya. “Di sana,” ucapnya.
Raphael menitikkan air mata, kemudian menghapusnya dengan cepat. Wajahnya kembali dibuat normal dengan senyum merekah di bibirnya. Andromeda hanya melihatnya. Danau yang dalam. Tak ada yang tahu seberapa dalamnya.
Tak ada yang tahu monster apa yang hidup di dalamnya. Kedalaman adalah tekanan. Tekanan yang membuat sulit bernapas, bergerak, atupun melihat. Laut yang dalam adalah sebuah misteri yang sulit dipecahkan. Hal ini karena tekanan yang serasa membuat manusia bagaikan mati. Namun, langit berbeda.
Langit adalah kebebasan. Kebebasan untuk terus bermimpi. Kebebasan untuk terus berusaha menjadi yang terbaik. Kebebasan untuk memecah rantai kutukan dari segala kutukan.
Lihatlah! Langit begitu menawan dan tampak dewasa. Meskipun manusia selalu mengancam langit, tapi langit tetap kokoh. Tak ada yang lebih hebat dari kebebasan untuk terus hidup dengan bebas.
“Kamu percaya Tuhan?” tanya Raphael pada Andromeda untuk sekali lagi memecah keheningan.
“Ya,” jawabnya singkat, padat, dan jelas. “Berapa usiamu tahun ini?” tanya Raphael lagi.
“Setelah pergantian tahun beberapa waktu lalu, usiaku genap 17 tahun.” “Apa yang kamu lakukan selama hidup ini?” tanya Raphael.
“Aku adalah gadis yang tak memiliki banyak teman. Ibuku selalu menasehatiku agar selalu berdoa pada Tuhan apapun masalah yang dihadapi dan bersyukur saat mendapatkan berkah dari-Nya. Aku selalu menjalani kehidupanku dengan nasihat-nasihat ibuku.”
Raphael tersenyum. “Gadis yang baik. Apa kamu pernah jatuh cinta?”
Andromeda berpikir sejenak. Seingatnya dia pernah menyukai anak kecil laki-laki saat usianya baru 10 tahun dulu. Namun, dia lupa wajah anak tersebut. Dia bahkan tak tahu namanya.
“Aku pernah bertemu anak laki-laki seusiaku saat usia 10 tahun. Kami bertemu saat beribadah. Seperti drama di televisi, aku tak sengaja bertabrakan dengannya dan jatuh. Lalu, dia membantuku berdiri dan kami pun main bersama. Namun, baru beberapa menit kita bermain, ibuku mengajakku pulang. Ibadah berikutnya aku tak bertemu dengannya sampai seterusnya. Aku bahkan mungkin sudah melupakannya jika tidak ditanya seperti tadi.”
Raphael tertawa pelan sambil menutup mulutnya. Pipinya memerah dan air matanya hampir keluar. “Itu kisah yang sungguh manis, tapi juga tragis. Aku tak tahu itu bisa dikatakan cinta atau tidak. Memangnya hanya itu kisahmu dengan laki-laki?”
Andromeda mengangguk pelan. Hidupnya hanya diisi dengan ibadah, belajar, membantu ibunya, dan kegiatan agama lainnya.
Waktu berlalu begitu saja. Sebentar lagi mungkin pagi akan datang tanpa disadari. Raphael berdiri. Sayapnya tak lagi melindungi Andromeda dari dinginnya angin. Wajahnya menatap Andromeda dan tersenyum.
“Mau jalan-jalan?,” tanyanya.
Andromeda berdiri. Tangannya yang dibalut sarung tangan pencegah dingin itu digandeng lembut oleh Raphael. Mereka berdua pun berjalan-jalan melihat lampu yang masih menyala. Terlihat orang-orang masih berpesta ria. Mungkin pesta sampai besok. Atau bahkan sampai keesokan hari lagi. Tak ada yang tahu. Raphael mengepakkan sayapnya. Andromeda tiba-tiba teringat sesuatu.
“Kamu bisa terbang, bukan?” “Iya,” jawab Raphael.
Dengan malu-malu, Andromeda pun mengutarakan keinginannya. Raphael tersenyum mendengar keinginan Andromeda yang polos itu.
“Kamu ingin terbang melintasi samudera? Melewati gumpalan awan yang bagai kapas itu? Ingin melihat gemerlap kota melalui langit?”
Andromeda mengangguk. Raphael pun langsung menggendong Andromeda.
Andromeda berpegang erat pada bahu Raphael. “Bersiaplah!” Andromeda mengangguk.
Raphael pun terbang membawa Andromeda dengan sayapnya. Andromeda begitu senang. Rasanya dunia begitu indah hari ini. Andromeda melepas pegangannya pada bahu Raphael dan mencoba merentangkan tangannya, seolah-olah ia terbang dengan sayapnya sendiri.
Andromeda melihat jalanan kota yang dihiasi lampu warna-warni. Kota malam ini terlihat begitu indah, apalagi dilihat dari langit. Danau pun tak luput dari pandangannya. Masih terlihat kelam. Rasa dingin tak lagi menghantui Andromeda. Semakin tinggi Raphael membawa Andromeda terbang, semakin Andromeda tak merasakan kedinginan lagi.
“Inikah mimpimu selama ini?,” tanya Raphael. Andromeda mengangguk pelan.
Senyumnya lebar lagi. Pipi merahnya semakin merona saat Raphael membalas senyumnya.
“Langit yang dipenuhi bintang itu mungkin pintu surga yang diimpikan banyak manusia. Ingin mencoba mengintip ke sana?,” tanya Raphael. Tanpa pikir panjang, Andromeda langsung mengangguk.
Raphael pun terbang semakin tinggi dan cepat ke atas sana. Andromeda semakin senang karena memiliki kesempatan untuk melihat surga dengan mata kepalanya sendiri.
Bintang-bintang itu menyambut kedatangan Raphael dan Andromeda. Manusia di bawahnya masih sibuk dengan pesta poranya. Malam pergantian tahun yang panjang. Beberapa lampu di rumah telah dimatikan, menandakan orang di dalamnya telah beristirahat. Dunia telah mulai istirahat dari kerja yang melelahkan. Saat istirahat sepenuhnya, mungkin dunia tak akan kembali lagi.
Seorang ibu dengan wajah panik terus menggenggam erat tangan anaknya. Tangan kecil kurusnya sangat dingin. Wajah anak tersebut terlihat begitu pucat. Napasnya semakin lemah dari waktu ke waktu.
Beberapa jam yang lalu, lebih tepatnya saat pukul 9 malam, sebelum pergantian tahun, seorang anak menyelamatkan anjing yang jatuh ke danau. Ia sendiri bahkan tak bisa berenang.
Bersusah payah orang-orang menyelamatkan anak yang tak bisa berenang itu. Sampai akhirnya anak itu pun dapat diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit. Sudah berjam-jam ibunya menunggunya siuman, tapi nihil hasilnya.
Wajah panik ibu tersebut terlihat semakin panik saat melihat anaknya mulai kejang dan akhirnya berhenti setelah beberapa saat. Diceknya napas anak tersebut, berhenti. Diceknya detak jantung anak tersebut, berhenti. Dipanggilnya anak tersebut dengan panggilan sayang. Namun, sayang seribu sayang. Nyawanya sudah tak menetap. Ibu itu pun menangis tersedu- sedu.
Tubuhnya telah sepenuhnya membeku. Tak ada sedikit pun rasa penyesalan. Semua adalah takdir yang telah ditetapkan sejak manusia dilahirkan ke dunia. Kini, ia telah kembali ke asalnya. Asal dari semua asal. Tujuan dari segala arah. Tempat kembali bagi para petualang di muka bumi ini. Kembali menjadi tanah. Menjadi pupuk yang menyuburkan generasi berikutnya dengan sejuta impian yang ada.
Wajah kecilnya tersenyum. Mungkin dunia telah memberikan apa yang diinginkannya. Dunia pun telah menerimanya menjadi tamu yang agung. Hanya saja, beberapa orang di sekitarnya terus meneteskan air mata.
Membuat malam tahun baru itu menjadi suram dan tak menyenangkan. Malam tahun baru yang merupakan bencana dari segala bencana. Gempuran telah berhenti, tapi langit terus mengenangnya. Ini bukan sebuah peringatan, melainkan sebuah pertanda akan awalnya dunia yang semakin lama semakin hancur.
Seperti kisah kuno di mana Andromeda yang diselamatkan nyawanya oleh Perseus, kini Andromeda mulai memasuki gerbang megah di hadapannya. Raphael menggandeng tangan Andromeda dan memasuki gerbang penuh kemewahan itu. Semakin lama, tumpukan salju semakin menggunung, menjadi gunungan es yang meresahkan. Bintang timur hanya melirik penuh kemarahan.
Penulis : Yuanda Enivita Emmi Reka Amelia