BJ Habibie, Bapak Demokrasi Indonesia (1)

Banyak keberhasilan yang dicapai negara di era kepemimpinan Presiden BJ Habibie, pasca lengsernya Pak Harto. BJ Habibie banyak membuat keputusan penting. Salah satunya, melahirkan UU Otonomi Daerah.

Dia juga membuka kran bagi rakyat unuk bebas berinspirasi. Rakyat Indonesia memanfaatkan kondisi tersebut untuk membuat partai. Sehingga banyak partai baru yang bermunculan.

Habibie juga berhasil menekan nilai mata uang rupiah terhadap dollar. Dari Rp 16.800 per dollar, menjadi Rp 7.500 per dollar. Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah.

Meski banyak keputusan yang menguntungkan bangsa, namun masa jabatan Prof BJ Habibie sebagai presiden RI tidak sampai satu periode (5 tahun). Hanya berkisar setahun. Habibie lengser pada Sidang umum MPR tahun 1999. MPR menolak pidato pertanggungjawabannya sebagai Presiden.

Kesalahan BJ Habibie, memberikan kebijakan jajak pendapat terhadap Provinsi Timor Timur. Inilah yang menyebabkan lepasnya mantan provinsi ke-33 RI itu. Dari hasil jajak pendapat, mayoritas warga Timor Timur memilih merdeka. Hingga Timor Timur membentuk negara baru dengan nama Timor Leste.

Dalam buku biografinya yang berjudul ‘’Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi’’, BJ Habibie memberikan penjelasan tentang kebijakannya tersebut. ‘’Permasalahan Timor Timur, menghambat stabilitas politik dan ekonomi. Konflik dari Timor Timur dapat mengganggu pelaksanaan reformasi,” jelasnya.

Redam Hiperinflasi

Satu prestasi BJ Habibie yang sangat fantastis terhadap bangsa ini saat menjabat Presiden RI. Dollar yang meroket pasca lengsernya Pak Harto sebesar Rp 16.800, mampu dikendalikan menjadi Rp 7.500 dalam jangka tidak sampai setahun.

Bagaimana bisa? Periode kepemimpinannya sebagai Presiden RI, hanya satu tahun. Sedangkan disiplin ilmu presiden ke-3 RI itu hanya seorang teknorat, bukan ekonom.

Beban Habibie pasca lengsernya presiden kedua RI, Soeharto, sangat berat. Berbagai ketidakstabilan mewarnai kondisi negara. Mulai dari politik, keamanan hingga perekonomian negara.

- Iklan -

Kondisi ekonomi Indonesia pada 1998, sangat buruk. Nilai tukar rupiah, terbilang amblas. Bayangkan tingginya, dari Rp 2.500 melanglangbuana menjadi Rp 16.800. Akibatnya, cadangan devisa tergerus, habis-habisan. Inflasi melonjak. Pertumbuhan ekonomi minus.

Habibie diragukan mampu mengatasi kondisi negara tersebut. Di mata para pelaku pasar, tahun 1997/1998, dia dipandang sebagai sosok yang suka menghamburkan duit untuk proyek-proyek mahal. Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura saat itu bahkan menyebut naiknya putra kelahiran Parepare, Sulsel itu, bisa menghancurkan rupiah. Seperti yang ditulis Majalah Tempo edisi 11 Oktober 1999.

Baca Juga:  Tokoh Muhammadiyah Sulsel, Subari Damopolii Meninggal Dunia

Kenyataannya terbalik. Di era Predisen BJ Habibie, ekonomi Indonesia justru masuk dalam fase pemulihan pasca krisis moneter 1998. Sosok yang disapa Rudi itu, berhasil mengendalikan kurs rupiah yang terjun ke level Rp 16.800 per dollar AS. Tak butuh waktu lama, Juni 1998, nilai rupiah turun hingga ke Rp 7.000 – Rp.8.000 per dollar AS. Di akhir pemerintahannya, mampu meredam hiperinflasi.

Pencetus Bank Mandiri

Apa yang dilakukan BJ Habibie hingga mencapai prestasi tersebut? Pada kebijakan ekonominya, pertama kali menyelesaikan masalah sektor perbankan usai diterpa rush atau penarikan dana besar-besaran pada 1997.

Regtrukturisasi perbankan, salah satunya dengan mengkonsolidasikan empat bank milik pemerintah, yang kemudian melahirkan Bank Mandiri. Bagi BJ Habibie, penyehatan perbankan komersial ini, penting untuk menopang perekonomian dan memperkuat Bank Indonesia (BI).

Dia juga berani menentang banyak kalangan dengan mengambil langkah memisahkan BI lewat UU No 23 tahun 1999, agar dapat menghasilkan mata uang rupiah yang berkualitas tinggi. ‘’Bank central harus dapat bekerja lebih obyektif, profesional dan lepas dari kepentingan politik,” ucapnya.

Dengan keputusannya tersebut, BI bisa mengintervensi rupiah. Langkah selanjutnya, diarahkan pada pengembalian kepercayaan pelaku ekonomi dalam negeri. Untuk itu, kekhawatiran terhadap hiperinflasi, harus diredam.

Kebijakan moneter ketat ditempuh. Salah satunya, dengan menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan tingkat suku bunga tinggi. Tujuannya, agar masyarakat menyimpan kembali uangnya di bank. Sebab, banyaknya uang beredar di masyarakat waktu itu, juga turut mendorong inflasi.

Pada saat yang bersamaan, BJ Habibie juga mempertahankan kebijakan tarif dasar listrik dan BBM bersubsidi. Agar administered price, dapat diturunkan. Harga-harga bahan pokok pun terjangkau oleh masyarakat di tengah keterpurukan akibat krisis. Cara tersebut cukup efektif menahan laju inflasi, diikuti dengan menurunnya suku bunga SBI. Dari 70 persen menjadi hanya belasan persen.

Bersamaan dengan penurunan suku bunga, maka negatif spread yang dialami bank-bank juga dapat diatasi. Di sisi lain, kebijakan yang diarahkan untuk memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia dikebut, berbarengan dengan persiapan menuju pemilu.

Baca Juga:  Tokoh Muhammadiyah Sulsel, Subari Damopolii Meninggal Dunia

‘’Bersama-sama dengan mulai berhasilnya pembenahan perbankan dan makin banyaknya para pelaku ekonomi yang mulai merasa aman, tentram dalam melakukan  kegiatan sehari-hari. Penurunan tingkat suku bungan akan mendorong bangkitnya kembali kegiatan ekonomi dalam negeri,” ujarnya, dikutip dari buku BJ Habibie : Detik-detik yang Menentukan ‘’(2006 :346).

Berbagai langkah tersebut berhasil menciptakan stabilitas makro dan membuat investor internasional kembali melirik Indonesia sebagai lahan yang layak untuk berinvestasi. Dengan lahirnya Bank Mandiri, aktivitas perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta yang sempat terkapar, berangsur menggeliat kembali. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun melonjak, dari posisi 200 ke kisaran 500-600an. Level psikologis 700 bahkan sempat tersentuh.

Nilai tukar rupiah secara bertahap membaik dan akhirnya mencapai tingkat yang wajar. Bak dua sisi mata uang, kondisi itu juga menurunkan tekanan terhadap inflasi. ‘’Hingga pada periode Januari-September 1999, laju inflasi hanya mencapai 2 persen. Padahal dalam periode yang sama tahun sebelumnya mencapai 75,47 persen,” ucap BJ Habibie saat memberikan laporan pertanggungjawaban di hadapan MPR pada 14 Oktober 1999.

Meski demikian, kebijakan ekonomi yang ditempuh pada masa pemerintahannya, bukan tanpa kritik. Sejumlah analis menilai, menguatnya nilai tukar rupiah justru disebabkan oleh faktor lain di luar kebijakannya. Salah satunya, aliran modal masuk (capital inflow) yang cukup besar di pasar saham.

Itu pun, bukan karena kebijakan pemerintah, melainkan karena harga-harga saham di bursa efek sudah terlalu murah, ketimbang harga industri sejenis di luar negeri. ‘’Tak mungkin (kebijakan pemerintah) bisa mendongkrak sekuat ini,” ujar Direktur Industrial Bank of Japan (IBJ) di Jakarta, Endarto Weltam, seperti yang diberitakan Tempo, pekan pertama Mei 1999.

Meski demikian, kebijakan perekonomian yang diambil BJ Habibie menjadi pondasi penting bagi perjalanan perekonomian Indonesia hingga menuju stabilitasnya saat ini. Pondasi inilah yang penting untuk membangun lagi perekonomian yang porak poranda akibat salah kelola selama masa Orde Baru. (*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU