BJ Habibie, Bapak Demokrasi Indonesia (2)

Apalagi pencapaian penting di era kepemimpinan BJ Habibie? Selain kebijakan kebebasan pers, masih banyak lagi. Juga paling terasa dampaknya dan dirasakan sampai sekarang, ada tiga. UU Persaingan Usaha, UU Otonomi Daerah, dan Referendum Kemerdekaan Timor Timur, yang sekarang ini bernama Timor Leste.

Rezim Soeharto dibangun dengan sistem monopoli dan korupsi yang menjadi tirani. Buat kroni dan anak-anaknya, Soeharto memberikan keleluasaan bisnis seluas-luasnya. Meski itu berarti memonopoli pasar dari hulu ke hilir. Era Soeharto, pasar tidak berjalan secara sempurna.

BJ Habibie menyadari betul hal tersebut. Saat berkuasa, disadari, hal tersebut perlu digenjot untuk membangkitkan ekonomi yang ambruk akibat krisis. Di benaknya, jika itu tidak dilakukan, transisi demokrasi tidak akan berjalan mulus.

Upaya tersebut berhasil. Bersama DPR, pemerintahan BJ Habibie melahirkan UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat. Serta UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dua aturan itu sangat mendukung terciptanya iklim bisnis yang lebih baik. Tidak lagi terpusat hanya di segelintir konglomerat dan petinggi militer. “Walaupun jabatan almarhum tidak sampai dua tahun, perekonomian Indonesia di era kepemimpinannya, sudah mengarah ke perbaikan ekonomi yang cukup berarti,” tutur Wahyu Ario Pratomo, ekonom dari USU kepada Antara.

Baca Juga:  Tokoh Muhammadiyah Sulsel, Subari Damopolii Meninggal Dunia

Sentralitas tersebutlah yang membuat RI goncang dan akhirnya runtuh. Saat itu bahkan diprediksi, Indonesia akan terpecah jadi negara-negara kecil seperti dialami Yugoslavia di Balkan.

Sistem Desentralisasi

Bapak teknologi itu, dengan cepat mencari akar permasalahan. Kecenderungan pemerintah yang terpusat itu, coba dibalikkan dengan sistem desentralisasi. Harapannya, menguntungkan masing-masing daerah. Karena bisa meningkatkan produktivitas dan daya saing SDM.

Masalahnya, dengan sistem sentralisasi yang berlangsung sejak era Soekarno itu, pikirnya, membuat daerah manja dan tidak bisa menentukan nasib daerahnya sendiri. Nyaris semua keputusan ada di tangan pemerintah pusat. Daerah cuma tinggal menunggu dan manggut-manggut.

Meski demikian, Otonomi Daerah (otoda) tetap pro kontra. Bagi peneliti ICW (Indonesia Corruption Watch), Donal Fariz yang dikutip dari VOA Indonesia, otoda ada kelemahannya. Tanpa lembaga hukum yang kuat, katanya, pembagian kekuasaan menjadi jalan buat desentralisasi korupsi yang marak beberapa tahun terakhir. Fenomena ini memicu istilah kegagalan otonomi daerah.

- Iklan -
Baca Juga:  Tokoh Muhammadiyah Sulsel, Subari Damopolii Meninggal Dunia

“Korupsi di daerah lahir saat kewenangan digeser dari pusat ke daerah. Demikian, dananya yang cukup banyak. Semakin diperburuk dengan kepala daerah jor-joran menghabiskan uang pada saat pemilihan. Sementara gaji atau pendapatannya sebagai kepala daerah tidak berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan sewaktu pemilihan kepala daerah,” papar Donal.

Bagi Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Politik Indobarometer, langkah desentralisasi di era BJ Habibie, sudah tepat. Karena memang pada saat transisi tersebut, rakyat sudah muak. Ingin cepat lepas dari cekaman pusat, yang tidak jarang salah paham dengan kebutuhan daerah.

Menurut Qodari, sebagai Presiden, BJ Habibie sudah sepantasnya saat itu menjalankan aspirasi sesuai keinginan masyarakat. Terbukti, setelah itu, partai tidak dibatasi. Persebaran parpol di daerah, tidak terbatas Golkar saja. Sehingga, katanya, tidak salah apabila BJ Habibie disebut sebagai Bapak Demokrasi di Indonesia. (*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU