BJ Habibie, Bapak Demokrasi Indonesia (4)

Saat selesai dilantik jadi Presiden, BJ Habibie menyadari dia mewarisi institusi presiden sebagai pusat perhatian masyarakat dalam sistem feodal. Sehingga di dalam memoarnya ‘’Detik-detik yang Menentukan”, dia mengungkapkan: ‘’Dia menjadi manusia paling kesepian, dan paling sendirian, di dalam lingkungan yang super sibuk menghadapi multikompleksnya permasalahan’’.

Dalam pidato pelantikannya yang disiarkan TVRI, Presiden BJ Habibie menyatakan segera membentuk kabinet baru untuk menyelesaikan tiga tugas persiapan reformasi. Pidatonya tersebut disambut media dengan nada pesimistis. Ada yang meramalkan, BJ Habibie hanya bisa bertahan  selama 100 hari, bahkan ada yang meramalkan hanya 100 jam.

Sebagai Presiden, BJ Habibie memiliki kekuasaan yang bisa dikatakan super. Disaat yang bersamaaan, putra kelahiran Parepare, Sulsel itu, juga masih merangkap Wakil Presiden dan Kordinator Harian Keluarga Besar Golkar (KGB).

KGB terdiri dari gabungan tiga jalur. Jalur ABRI yang dikordinasikan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI. Jalur Birokrasi yang dikordinasikan Menteri Dalam Negeri dan jalur Golkar yang dikordinasikan Ketua Umum Golkar.

KGB menguasai 80 persen kursi di DPR dan 83 persen kursi di MPR. Ternyata BJ Habibie yang akrab disapa Rudi, tidak tergiur memanfaatkan kekuasaan yang besar itu. Dia justru menilainya, tidak sehat dan tidak menguntungkan obyektivitas pimpinan nasional dan kualitas reformasi.

‘’Pertanggungjawaban harus diberikan kepada rakyat, tidak kepada keluarga besar Golkar,” tulis Habibie di memoarnya. Sehingga diputuskan, Golkar harus melakukan Munaslub untuk mereformasi diri.

Lepasnya Timor-Timur

Di saat yang bersamaan, Presiden BJ Habibie juga menghadapi Masalah Timor Timur, yang juga terus membayanginya. Untuk masalah Timtim, dia menciptakan kenangan bagi orang Timtim, memujanya bersikap bijak yang tidak menahan kemerdekaan Timor Timur. Di sisi lain, rakyat Indonesia pada umumnya, mengutuknya, menganggap sebagai penguasa yang lemah, membuat Timor Timur lepas dari wilayah NKRI.

Memang, sejak berintegrasi dengan Indonesia, 17 Juli 1976, dengan status provinsi ke-27, terus dipersoalkan Dewan Keamanan PBB, yang menyatakan Indonesia menganeksasi Timor Timur. Sidang Umum PBB, 19 November 1976, menyatakan menolak aneksasi Indonesia terhadap Timor Timur.

Baca Juga:  Tokoh Muhammadiyah Sulsel, Subari Damopolii Meninggal Dunia

Tak ingin terus terbebani, 24 Juni 1998, Presiden mengundang Uskup Dili, Carlos Filipe Ximenes Belo ke Bina Graha. Untuk pertama kalinya, Presiden BJ Habibie bertemu Uskup Belo. ‘’Apa yang dapat saya laksanakan untuk memenuhi keinginan rakyat Timtim?” tanya Presiden BJ Habibie kepada Belo.

- Iklan -

Belo langsung membuka dua helai kertas, catatan tentang Timor Timur, lalu membacakannya. Intinya, 90 persen keinginan yang disampaikan Uskup Belo dipenuhinya. Di benak BJ Habibie, masalah Timor Timur harus segera diselesaikan sebelum presiden ke-4 terpilih, dan tidak boleh membebani reformasi.

Bertahun-tahun sebelumnya, penyelesaian masalah Timtim sudah diusulkan berbagai pihak dalam forum internasional. Termasuk tokoh Timtim, seperti Xanana Gusmao, Uskup Belo dan Jode Ramos Horta. Alasan mendasarnya, setiap bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri, seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Dalam perundingan Tripartit, PBB dan Portugal mendesak Indonesia untuk mengadakan referendum di Timor Timur.

Dalam sidang Kabinet Bidang Politik dan Keamanan, 27 Januari 1998, mengambil kesimpulan, dengan dua opsi, jika tawaran otonomi yang diperluas, ditolak rakyat Timor Timur, MPR akan mempertimbangkan kemungkinan melepaskan Timor Timur.

Beberapa hari setelah sidang istimewa MPR tersebut, BJ Habibie menerima surat dari Perdana Menteri Australia, John Howard yang mengusulkan, agar penyelesaian Timor Timur dilakukan seperti bekas koloni Prancis, Kaledonia Baru.

Selama lima sampai sepuluh tahun, Prancis mempersiapkan negara jajahannya itu untuk memperoleh kemerdekaannya melalui referendum. Saran John Howard tersebut, diabaikan BJ Habibie. Menurutnya, Timtim bukan koloni Indonesia.

BJ Habibie juga tidak memutuskan untuk memberikan referendum. Dia berpendapat, Presiden tidak berwenang untuk menetapkan pelaksanaan referendum, melainkan MPR. Hal yang diputuskan BJ Habibie, jajak pendapat, yang pelaksanaannya tidak membutuhkan ketetapan MPR, tetapi MPR dapat menolak hasilnya.

Dalam perjanjian Tripartit yang disahkan pada 5 Mei 1999 di New York, Indonesia, PBB dan Portugal sepakat untuk menyelenggarakan jajak pendapat. Lewat jajak pendapat, warga Timor Timur akan menentukan pilihannya. Tetap bersatu dan menerima otonomi luas atau berpisah dari Indonesia. Hasilnya, akan dibahas oleh MPR, disetujui atau ditolak.

Baca Juga:  Tokoh Muhammadiyah Sulsel, Subari Damopolii Meninggal Dunia

Tindaklanjutnya, dibentuk United Nations Mission in East Timor (Unamet), 11 Juni 1999. BJ Habibie dan Sekjen PBB, Kofi Annan bersepakat untuk merahasiakan hasil jajak pendapat hingga 72 jam, setelah hasilnya diketahui.

Pada 30 Agustus diselenggarakanlah jajak pendapat. Hasilnya, 78,5 persen warga Timtim menolak otonomi luas, hanya 21,4 persen yang menerima. Pada 4 September 1999, BJ Habibie menerima telepon dari Sekjen PBB, Kofi Annan yang menyampaikan, akan segera mengadakan konfrensi pers untuk mengumumkan hasil jajak pendapat Timor Timur. Dalam memoarnya, Bj Habibie mengungkapkan, tindakan Sekjen PBB tersebut melanggar kesepakatan. Timor Timur pun rusuh.

Pada 6 September 1999, pukul 00:00 Timor Timur diumumkan dalam keadaan Darurat Militer. Dalam Sidang Umum MPR, 19 Oktober 1999, hasil jajak pendapat tersebut diterima. Hal ini diatur dalam TAP MPR No.V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur. Provinsi ke-27 Indonesia, itu resmi berpisah dari NKRI.

Kelompok ultranasionalis kala itu, banyak yang menghujat keputusan BJ Habibie. Kemerdekaan Timtim juga mendorong MPR menolak laporan pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie.

Bagi Made Supriatma, peneliti tamu di ISEAS Yusof Ishak Institute, keputusan BJ Habibie sudah tepat, setelah diuji sejarah. Dalam opininya untuk Tirto.id, Made menegaskan, referendum, ditambah lahirnya sekian UU progresif selama 16 bulan BJ Habibie memerintah, menjadi peletak dasar demokrasi di Indonesia pasca reformasi.

‘’BJ Habibie adalah rahmat untuk bangsa ini. Dia secara radikal memperkenalkan Indonesia kepada negara lain. Dia membebaskan Timos Leste dan meniadakan beban kolonialisme oleh Indonesia. BJ Habibie mampu melakukan transformasi yang radikal itu, justru karena dia bukan seorang politisi. Dia hanyalah seorang teknokrat,” papar Made Supriatma. (*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU