Di banyak masjid, sering ditemukan mushaf Al-Quran yang sudah rusak dan tidak lagi digunakan. Mushaf tersebut kadang tercecer atau bahkan dibuang begitu saja. Apa yang seharusnya dilakukan terhadap mushaf-mushaf yang rusak ini? Berikut penjelasannya.
Menjaga kehormatan Al-Quran merupakan bagian dari syiar Islam. Kita harus memastikan bahwa mushaf Al-Quran tidak jatuh ke tempat yang tidak terhormat, apalagi sampai tercecer di tempat sampah.
Dalam hal ini, beberapa ulama berpendapat bahwa inilah alasan mengapa Nabi Muhammad SAW melarang umat Islam membawa mushaf ke negeri kafir yang memusuhi Islam, karena khawatir Al-Quran jatuh ke tangan orang yang akan menghinanya.
Ibnu Umar radhyallahu anhu pernah mengatakan, “Rasulullah SAW melarang seseorang safar dengan membawa mushaf Al-Quran ke negeri musuh (kafir).” (HR Ahmad 5417, Bukhari 2990, dan lainnya).
Ketika mushaf sudah rusak, terutama bila jilidannya pudar atau halaman-halamannya berserakan, kita perlu mencari solusi untuk menghormatinya dengan baik.
Cara Menangani Mushaf Al-Quran yang Rusak
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai cara terbaik untuk menangani mushaf yang rusak.
Pendapat Pertama: Mengubur Mushaf
Sebagian ulama berpendapat bahwa mushaf Al-Quran yang tidak lagi digunakan sebaiknya dikubur di tempat yang terhormat dan tidak diinjak orang, seperti di sudut rumah atau di halaman yang tidak diinjak. Alauddin Al-Haskafi, seorang ulama Hanafiyah, mengatakan, “Mushaf yang tidak lagi dimanfaatkan untuk dibaca, sebaiknya dikubur sebagaimana jenazah seorang Muslim, dan tidak boleh disentuh oleh orang Nasrani.” (Ad-Dur, Al-Muchtar, 1/177).
Ibnu Abidin, dalam penjelasannya, mengatakan, “Mushaf yang tidak terpakai harus dibungkus dengan kain suci dan dikubur di tempat yang tidak terhina dan tidak diinjak.” (Hasyiyah Ibnu Abidin 1/177). Ulama Hambali, Al-Buhuti, juga berpendapat demikian, mengatakan bahwa ketika mushaf sudah rusak dan usang, maka mushaf tersebut harus dikubur (Kasyaf al-Qana, 1/137).
Imam Ahmad juga menyarankan agar mushaf yang sudah rusak dikubur di tempat yang aman, berdasarkan riwayat dari Abul Jauza yang menguburkan mushaf yang sudah usang di tempat salatnya (Majmu’ Fatawa, 12/599).
Pendapat Kedua: Membakar Mushaf
Di sisi lain, terdapat ulama yang berpendapat bahwa mushaf yang sudah tidak terpakai sebaiknya dibakar hingga menjadi abu, untuk menghilangkan semua tulisan. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh ulama Maliki dan Syafi’i, yang merujuk pada praktik yang dilakukan oleh Utsman bin Affan radhyallahu anhu.
Utsman memerintahkan agar mushaf selain mushaf Al-Imam dibakar setelah menyalin Al-Quran ke dalam mushaf yang lebih standar. Imam Bukhari mencatat bahwa Utsman meminta Hafshah mengirimkan mushaf Umar untuk disalin, dan kemudian mengirim salinan tersebut ke berbagai daerah.
Setelah itu, beliau memerintahkan untuk membakar mushaf lainnya (HR Bukhari no. 4988). Ali bin Abi Thalib radhyallahu anhu juga setuju dengan tindakan ini, dan bahkan berkata bahwa jika Utsman tidak melakukannya, ia siap melakukannya sendiri (HR Ibnu Abi Daud, Al-Mashahif no. 35).
Ibnu Batthal dalam penjelasannya menyatakan bahwa tindakan Utsman ini menunjukkan bahwa membakar mushaf yang sudah rusak adalah cara yang sah dan benar untuk menghormati kitab Allah agar tidak diinjak atau terjatuh di tanah (Syarh Shahih Bukhari, 10/226).
As-Suyuthi, seorang ulama Syafi’i, menyebutkan bahwa jika mushaf yang rusak harus dibuang, maka tidak boleh diselipkan di sela-sela tembok atau dipotong-potong. Membakar mushaf dengan api diperbolehkan, sebagaimana yang dilakukan oleh Utsman radhyallahu anhu (Al-Itqan fi Ulum al-Quran, 2/459).
Kedua pendapat ini memiliki dasar yang kuat, dan keduanya bertujuan untuk menghormati mushaf Al-Quran. Apapun pilihan yang diambil, yang penting adalah menjaga kehormatan nama Allah dan firman-Nya.
Baik dengan mengubur atau membakar mushaf yang rusak, keduanya sah dan tidak bertentangan dengan prinsip menghormati Al-Quran agar tidak sampai terinjak atau dihina. (Hadist/ana)