Suatu hari di sekolah, “Anak-anak, buat karangan berjudul ‘Masakan Ibuku.’ Silakan mulai sekarang,” kata Bu Pungki, guru kelas 4 SD.
Para siswa mulai menulis. Salah satu siswa, Rano, menulis seperti ini:
Ibu saya sopir ojek. Tiap hari Ibu pulang malam. Kata Ibu, di jalanan sering banyak masalah. Kadang motor mogok, kadang ban motor bocor. Pernah Ibu gak dapat uang sama sekali, karena motor rusak, dan Ibu harus dorong motor sampai rumah malam-malam. Saya kasihan sama Ibu.
Ibu sering kepanasan sampai kulitnya gosong. Setiap pulang dari ngojek, rambut Ibu berantakan habis pakai helm seharian, dan badan Ibu sangat bau keringat.
Ibu bangun pagi tiap subuh. Habis itu Ibu mencuci dan mandi, lalu berangkat ngojek.
Kalau pulang Ibu pasti sudah cape banget, mana sempat masak lagi?
Ibu pernah ditabrak angkot sampai jatuh, berdarah, dan motornya penyok. Yang menabrak kabur, tidak tanggung jawab. Berapa hari Ibu tidak bisa ngojek, dan kami tidak ada uang buat makan.
Pernah ada tamu datang cari Ibu sambil marah-marah. Orangnya besar dan mukanya serem. Saya takut sekali. Katanya Ibu sudah beberapa bulan tidak bayar motor. Dia mau tarik motor Ibu.
Ibu cuma bisa bilang, “Saya usahakan Pak, kasih saya waktu, ojek lagi sepi.”
Orangnya bilang “Ini peringatan terakhir, Bu. Kalau besok tidak ada uangnya, motor saya tarik!”
Ibu kalau narik sering pakai kacamata hitam dari pagi sampai malam. Saya heran, padahal kan kalau malam gelap sekali pakai kacamata begitu?
Sekian karangan saya tentang Ibu. Beberapa hari kemudian, Bu Pungki membacakan beberapa karangan, termasuk karangan Rano.
“Riri, karanganmu bagus sekali. Wah, Ibu jadi ngiler membaca tentang sayur lodeh masakan ibumu,” kata Bu Pungki tersenyum, memuji karangan seorang siswa.
“Nah, ini ada contoh karangan yang tidak menyimak penjelasan Ibu. Rano, Ibu minta kamu mengarang tentang masakan ibumu, kamu malah cerita motor mogok dan lain-lain, yang tidak ada hubungannya. Disuruh mengarang tentang masakan, kamu malah bilang mana sempat ibumu memasak?”
“Dan, bahasamu itu, aduh kok kacau balau begitu? Pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar dong! Perbaiki karanganmu lain kali ya? Ini pelajaran bahasa Indonesia lho. Kalau nilainya merah, kamu tidak naik kelas! Mengerti, Rano?” kata Bu Pungki, tidak sambil tersenyum.
“Ya, Bu,” Rano menjawab pelan sambil menunduk. Minggu berikutnya, kembali di pelajaran bahasa Indonesia.
“Anak-anak, sekarang Ibu minta kalian buat karangan berjudul ‘Pekerjaan Ayahku.’ Silakan mulai sekarang,” kata Bu Pungki. Semua siswa mulai menulis, termasuk Rano.
Saya sudah lupa ayah saya. Ayah saya mati waktu saya masih kecil sekali. Ibu kawin lagi sama ayah tiri saya. Namanya Projo. Saya males panggil dia ayah.
Dia gak kerja. Tiap hari kerjanya cuma ngamuk-ngamuk dan minum arak. Saya heran kok Ibu mau ya sama dia?
Dia suka bentak-bentak dan kadang memukul Ibu, apalagi kalau habis mabuk. Dia juga sering memukul saya kalau Ibu sedang tidak ada. Ibu tidak tahu. Saya tidak pernah bilang pada Ibu, karena saya diancam gak boleh ngadu oleh ayah tiri. Setiap hari saya takut pulang ke rumah.
Saya susah belajar di rumah. Rapor saya banyak merahnya. Saya malu sering ditegur Bu Guru di kelas. Saya malu karena saya bodoh dan muka saya sering bonyok dipukul ayah tiri. Kalau Ibu dan teman-teman tanya kenapa bonyok, saya jawab saja habis jatuh.
Kalau Ibu pulang kemalaman, ayah tiri pasti marah-marah. Apalagi kalau Ibu pulang gak bawa uang. Kalau dimarahi dan dipukul, Ibu pasrah saja, tidak pernah melawan. Ibu selalu suruh saya cepat masuk kamar. Dia tidak mau saya lihat dia dipukuli.
Suatu hari Ibu pulang malam sekali, berkeringat habis mendorong motor mogok. Ayah tiri seperti biasa lagi mabuk.
“Mirah, dari mana aja lu? Lu bilang kagak dapet duit? Gue perlu duit besok pagi, tau? Goblok lu, seharian narik kagak dapet duit. Lu narik apa nyeleweng sama tukang ojek laki-laki? Udah dekil, bau lagi lu!” ayah tiri terus mengamuk dengan kacaunya.
“Abang apa gak liat motor mogok? Seharian saya narik sampe dekil, bau, keringetan dorong motor tengah malem, mana kepikiran mau nyeleweng? Abang sendiri ngapain aja seharian, bukannya cari kerja buat nafkahin keluarga?“ sahut Ibu, emosi karena lelah dan dituduh seenaknya.
Ayah tiri naik pitam, mengamuk semakin gila. Dia mulai memukuli Ibu. “Rano, cepetan masuk kamar!” teriak Ibu.
Saya masuk kamar sambil menangis. Saya ingin melawan ayah tiri, tapi tidak berani.
Saya dengar ayah tiri terus memukuli Ibu. Ibu seperti biasa diam saja, tidak pernah melawan.
Besoknya Ibu ngojek pakai kacamata hitam. Saya baru tahu, Ibu pakai kacamata supaya matanya yang bengkak gak kelihatan.
Saya benci ayah tiri saya. Saya anggap dia pengecut, beraninya cuma sama perempuan dan anak kecil. Waktu Ibu dimarah-marahin tukang tagih uang motor, dia gak berani belain Ibu, malah ngumpet di kamar.
“Goblok, lu, Mirah. Bayar dong motor. Kalo motor ditarik, nanti lu mau kasih gue duit dari mana?” katanya, menyalahkan Ibu dengan tidak tahu malu, waktu tukang tagih sudah pergi. Ibu diam saja. Saya tahu Ibu tidak mau bertengkar di depan saya.
Ini saja karangan saya tentang ayah. Saya berharap yang baca ini mau menolong saya dan Ibu. Sekian.
Beberapa hari kemudian, di ruang guru.
“Aduh, minta ampun ini murid saya yang namanya Rano. Disuruh bikin karangan tentang pekerjaan ayahnya malah ceritanya ngawur ke mana-mana dan penuh kekerasan. Heran saya, anak kelas 4 kok bisa membayangkan kekerasan seperti itu? Ngeri sekali.
Anak sekarang memang kebanyakan menonton tontonan dan main game yang tidak mendidik. Belum lagi bahasanya yang kasar begitu. Dari mana dia belajar kata-kata seperti itu? Bu Rida tahu kan, Rano Sumarno?” tanya Bu Pungki pada Bu Rida, guru kelas sebelah.
“Oh, saya sepertinya tahu, Rano Sumarno yang kurus, yang sangat pendiam dan pemalu itu?” sahut Bu Rida.
“Iya, Bu Rida, benar yang itu. Yang mukanya sering bengkak seperti habis dipukuli. Sepertinya dia itu kelihatannya saja pendiam, tapi sebenarnya nakal, suka berkelahi. Kayaknya kalau parah begini, terpaksa tidak saya naikkan ke kelas 5, Bu. Ya mau bagaimana lagi, sebenarnya ya kasihan. Kita kan sebagai guru tujuannya ingin menolong siswa, tapi kalau siswanya kebangetan, ya kita terpaksa tegain,” lanjut Bu Pungki.
Minggu berikutnya, Bu Pungki kembali menyuruh para siswa mengarang, “Anak-anak, sekarang Ibu minta kalian buat karangan berjudul ‘Keluargaku yang Bahagia.’ Silakan mulai.”
Semua siswa mulai menulis, termasuk Rano. Ibu sudah tidak tahan dengan kelakuan ayah tiri. Ibu bilang, mau pisah saja sama ayah tiri. Ibu bawa saya kabur ke rumah nenek saya. Dulu kami memang sering ke sana menengok Nenek dan Kakek. Kakek saya dulu tukang kayu waktu beliau masih hidup.
Ayah tiri tahu kami kabur ke mana, dan langsung menyusul. Dia datang ke rumah Nenek marah-marah, mulutnya bau arak.
“Mirah, pulang lu. Lu kira lu bisa kabur dari gua?” kata ayah tiri yang mabuk lebih berat dari biasanya.
“Mau apa? Sana pergi, tunggu aja panggilan dari pengadilan!” jawab Ibu. “Pengadilan taik kucing! Kalo lu gak pulang, awas lu!”
Ayah tiri mendekati dan mulai memukuli Ibu.
“Projo, berhenti pukulin Mirah!” jerit Nenek ketakutan.
Ayah tiri tidak peduli, semakin keras memukuli Ibu. Saya pikir Ibu pasti mati kalau tidak ditolong. Saya ambil kursi plastik, saya pukulkan sekuat tenaga ke punggung ayah tiri.
Ayah tiri berbalik menyerang saya. Dia ngamuk dan tonjok muka saya keras sekali sampai saya mental. Ayah tiri mendekat dan mencekik saya. Saya tidak bisa napas dan leher saya sakit sekali. Saya ingin menjerit tapi suara saya tidak keluar. Saya pikir saya pasti akan mati saat itu.
Waktu pandangan saya semakin gelap karena kehabisan napas, tahu-tahu saya rasakan cekikan ayah tiri tiba-tiba lepas. Sayup-sayup saya mendengar jeritan Ibu dan teriakan ayah tiri.
Ayah tiri jatuh karena Ibu memukul belakang kepalanya dengan palu besar milik almarhum Kakek. Dia langsung tidak sadar karena Ibu keras sekali memukulnya. Waktu dia tidak bangun-bangun sampai lama, Ibu baru tahu dia ternyata sudah langsung mati. Ibu menjerit sejadi-jadinya. Ibu tidak pernah berniat bikin dia mati.
Sesudah itu Pak RT datang. Tetangga-tetangga Nenek juga pada datang menonton. Ibu dan Nenek menceritakan kejadiannya sambil menangis. Saya juga ditanya-tanya sama orang-orang. Saya ceritakan semuanya sambil menangis juga.
Semua orang tahu ayah tiri mulutnya bau arak dan lihat muka Ibu dan saya bonyok ditonjok. Mereka jadi tahu, Ibu hanya membela dirinya dan anaknya.
Ibu lalu memanggil saya.
“Rano, kamu baik-baik tinggal sama Nenek dulu ya. Ibu mau pergi, mungkin agak lama,” kata Ibu berlinang air mata.
Ibu ternyata pergi menyerahkan diri ke kantor polisi, diantar Pak RT.
Sekian cerita saya tentang keluarga saya. Habis ini saya tidak mau datang lagi ke sekolah. Saya malu sama teman-teman dan Bu Guru. Selamat tinggal semuanya. Beberapa hari kemudian, di ruang guru.
“Bu Pungki, saya dengar, Rano berhenti sekolah? Benar, ibunya membunuh ayah tirinya?” tanya Bu Rida.
“Iya, Bu Rida, saya juga kaget sekali mendengarnya. Terlalu sekali Rano itu. Kok dia tidak pernah kasih tahu saya, gurunya sendiri? Seharusnya dia cerita dong sama saya kalau ada masalah separah itu di rumah. Saya sebagai gurunya itu kan jadi orang tuanya selama dia di sekolah? Kalau saja dia cerita, saya pasti akan tolong dia, dan tidak akan begini kejadiannya,” kata Bu Pungki menghela napas.
Tangerang, Oktober 2021.
Penulis : Petrus Setiawan