Katanya setiap kebahagiaan itu selalu ada keterpurukan yang mengikuti. Maka ada pepatah lama mengatakan ‘jangan terlalu bahagia, nanti nangis, loh!’. Sebenarnya aku sedikit percaya akan ucapan itu.
Mengingat kejadian dimana 6 bulan lalu adalah bulan bahagia ku, bertemu kekasih yang sudah lama tidak bertemu.
Kebahagiaanku saat itu sangat membuncah, tapi harus dipatahkan dengan realita dimana ia mengaku bermain perasaan dengan orang lain dibelakangku. Semesta memang senang sekali membolak-balikkan hati dan seisinya.
Hai, aku Karina. Kejadian yang tadi kuceritakan itu sudah lama sekali, dan bersyukurnya digantikan oleh seseorang yang ada dihadapanku sekarang.
Ia menjadi salah satu alasanku masih bisa bertahan sampai saat ini. Penyabar, Penyayang, dan pun aku mencintai segala nya dari dia.
“Ngelamunin apa sih?” ucapnya sambil menaruh ponselnya di atas meja lalu tangannya menjulur mengusap pucuk kepalaku.
Aku masih tetap menopang dagu dan memejamkan mata sembari tersenyum merasakan kenyamanan yang ia beri beberapa detik lalu. “Aku lagi bersyukur tadi” jawabku.
“Bersyukur kenapa? Tiba-tiba?”
“Iya, tiba-tiba” aku menatapnya dalam, dan dia pun begitu. Memberikan tatapan intens bahwa kami saling tertarik satu sama lain. Mungkin untuk saat ini kita sama seperti anak kembar yang tidak bisa dipisahkan.
“Aku bersyukur bisa nemuin jodoh di lingkungan terdekat-”
“-Maksud aku, kamu loh, Iqbal, teman SMP aku yang datang lagi kehadapan, trus milih untuk serius sama aku, kaget sih cuman aku gak bisa berhenti bersyukur karna itu kamu”
Ia tersenyum manis mendengar penuturan ku yang agak berbelit. Susah memang menjelaskan bagaimana perasaan hati didepan seseorang yang membuat jantung mu berdegup tidak normal.
“Ya artinya, kamu memang jodohku” jawabnya singkat. Iqbal memang orang yang tidak bertele-tele, dan karena itu aku menyayanginya.
Didikan orang tua yang tegas mungkin menjadi faktor lain kenapa kepribadian dia seperti itu. Ayah yang serius dan Ibu yang penyayang, Iqbal mempunyai keduanya, dan itu sempurna bagiku.
Kami menyudahi percakapan ringan didalam restoran yang biasa kita kunjungi untuk makan siang.
“Babe, beli kopi dulu yuk di toko roti di sebrang” ajakannya kujawab dengan anggukan dan jawaban semangat “Yuk! Katanya sih ada cheesecake yang enak disana. Toh masih 2 jam lagi kan masuk kerja?” Ia pun mengangguk dan menggengam tanganku.
Perasaan bahagia ini selalu membucah dikala aku didekatnya. Sepanjang jalan menuju toko roti sebrang tak henti-hentinya aku melirik tangan kami yang bertautan.
Jari jemarinya yang berada disamping membuat telapak tanganku menjadi mungil karnanya. Aku terkekeh pelan dan fokus untuk menatap jalanan lagi.
Tetapi perlahan firasatku membuat kedua kaki menurunkan tempo berjalan. Surai itu, pakaian itu, dan juga senyuman itu pernah menjadi pelangi di hidupku. “Kenapa ada disini sih” gumamku pelan yang membuat Iqbal menoleh.
“Hm? Kenapa babe?” pertanyaan Iqbal kujawab dengan gelengan dan mengeratkan pegangannya. Mungkin ia sadar dengaan tingkah ku yang secara tiba-tiba menjadi aneh, ia mengusap pelan tanganku dengan ibu jarinya.
Dengan poni yang menutupi setengah muka, ku tolehkan pandangan ini kearah yang lain agar kami berdua tidak saling menatap.
Kalau kalian mau tahu apa yang kulihat, kalian masih ingat kan cerita tentang mantan ku yang sudah lama tidak bertemu, tetapi sekalinya bertemu ia malah berbicara dirinya mendua? Ya! Dia sekarang ada disini.
Entah apa keperluannya tapi yang kusadar ia bersama dengan wanita pilihannya yang baru. Ow, sudah tidak bersama dengan selingkuhannya lagi ternyata.
Saat kami memasukki toko roti ini wanita itu berjalan memasukki tempat, sepertinya sih mencari meja. “Babe, ada apa? Daritadi kamu keliatan gak nyaman”
“Eh-? A-anu…” Belum sempat aku menjawab pertanyaan sang pujaan hati, sialnya si brengsek itu menyadari kehadiranku. “Loh Karina?” Karna refleks yang kupunya, poni yang awalnya menutupi setengah wajah sengaja ku selipkan dibelakang daun telinga agar ia bisa lihat wajahku yang baik-baik saja, mungkin.
Iqbal yang masih disampingku melepaskan tautan di tangan dan beralih merangkul pundakku, He’s jealous. Awalnya aku memang kikuk melihat tatapan mantanku ini yang beralih ke rangkulan Iqbal lalu menuju wajahku lagi.
Mungkin ia sama-sama kagetnya denganku karna tidak menyangka bisa bertemu kembali disini, yah, tentu masing-masing ditemani pasangan baru.
“Kukira itu bukan kamu, na” ucapnya basa-basi
“Hehehe, udah lama ya gak ketemu, Ki” dan Rizki namanya. Kami masih sama-sama diam dalam beberapa detik sampai seorang wanita yang tinggi nya sepantar dengan Rizki dan tentu jauh diatasku menggandeng pergelangan tangan mantanku. “Yang, ko lama sih, uangnya kurang ya?”
“Hah? Enggak ko, ini ada temen lamaku, jadi ngobrol dulu sebentar” “Oh kukira ada apa, yaudah aku balik ke tempat duduk ya, yang” “Oke, sayang”
Tersenyum kecut kala aku melihat kemesraan yang berada dihadapan. Kepalaku agak menunduk untuk tidak terlalu fokus pada dua orang romansa muda yang sedang dimabuk cinta. Meskipun aku juga pernah merasakan itu dengan Iqbal, tapi kenapa hatiku terasa sakit lagi ya melihat Rizki begitu?
“Sorry bro, kalau gak ada kepentingan kita mau pesan duluan dan cabut”
“Eh tunggu, kalau kamu gak sibuk na” Dia masih memanggil ku ‘na’, itu… panggilan kesayangan dia untukku. “Aku mau undang kamu ke acara nikahan aku minggu nanti” Masih berani memanggil mantannya dengan akrab ya, tidak tahu diri. “Undangannya online ko, instagram mu masih yang lama kan?”
Aku masih belum menjawab dan menunduk. Didalam pikiranku sekarang hanyalah aku ingin cepat-cepat pergi dari sini. “Bal.. ayo pergi” aku berujar pelan sambil mendekatkan diri kebadan Iqbal. Ia mengerti dan segera mengangguk untuk mewakilkan diriku menjawab ajakan Rizki. Tentu, Iqbal tau orang masa lalu ku ini, si lelaki brengsek.
“Maaf sebelumnya, tapi kamu tahu sendiri kalau Karina sekarang gak nyaman untuk bertemu dengan masa lalunya. Jadi daripada membuat Karina sedih, lebih baik undangannya dikirim saja ke saya” Aku melirik sebentar kearah Iqbal, dirinya terdiam sejenak karna mengambil sesuatu didalam kantong celana.
“Ini kartu nama saya dan kamu bisa kirim undangannya lewat e-mail. Biar nanti Karina sendiri yang memutuskan bakal datang atau enggak, yang jelas sekarang dia cuman mau pergi” “Oh… oke kalau gitu” jawaban singkat dari Rizki yang sudah mengambil kartu nama
Iqbal membuat ku sedikit lega. Ia tidak lagi membentak ataupun tersulut emosi seperti dulu ketika ada orang yang menolak ajakannya. Sudah banyak berubah ternyata.
“Yaudah na, aku duluan, mas, saya duluan” “Ya, silahkan”
Orang yang daritadi mengganggu penglihatanku sekarang sudah hilang. Iya, tentu dengan bantuan Iqbal juga.
Rangkulan tangannya masih terjulur di pundakku. Sambil memesan kopi yang ia inginkan dan tentunya cheesecake yang sebelumnya kubicarakan dengannya.
“Kamu tau gak sih babe, aku sempet pengen mukul orang tadi”
“Heh?! Ko gitu?” kaget akan penjelasan ngaco dari Iqbal, Raut wajahku berubah langsung menjadi kaget sambil menatapnya dari samping agak mendongak. Jangan berkomentar atas tinggi badanku, ya!.
“Iya, soalnya orang itu gampang banget ngebuat kamu sedih hanya dalam satu hembusan nafas”
“Ih apasih, enggak ya~! Sok tau kamu” Aku merenggut kesal sambil bersedekap. Tetapi anehnya ia malah terkekeh lalu mengusap kepalaku sayang.
“Jangan kesel-kesel lagi ya, babe. Jangan takut lagi buat ngehadepin masa lalu, karna sekarang kamu bisa bertopang sama aku. Jadiin aku senjata kamu juga boleh. Yang penting kamu jangan sampai terpuruk karna dia ngusik kehidupan kamu lagi”
“aku sayang banget sama kamu, Karina.”
Dengan gerakan yang lembut ia mengecup pucuk kepalaku dengan sayang. Tepat pada saat itu juga hatiku terenyuh.
Air mata yang telah mengembang di kelopak mata karna mendengar ucapan Iqbal turun perlahan membasahi pipi.
“Loh jangan nangis…”
Perih ternyata, jika kamu masih mempunyai perasaan setitik untuk masa lalumu, sedangkan masa depan mu sedang menunggu untuk bersiap melangkah maju bersama denganmu. Semesta memang sebercanda itu ya.
Aku tak ingin menyuarakan kejujuran ku kali ini, alih-alih membuat Iqbal merasakan sakit hati, aku hanya bisa memendam biar bulir air mata saja yang kini berbicara untuknya.
“Iya babe, makasih ya, aku sayang kamu juga, Iqbal”
Aku munafik? Entahlah, aku pun tak tahu harus bagaimana.
Penulis : Clara Syifa