Cacatan Jurnalis Dari Kamboja

Meskipun begitu, mereka dapat dipastikan tidak lagi mempunyai keluarga ataupun tempat tinggal. Lebih ekstrimnya lagi mereka sudah tidak mempunyai negara. Saat itu, Kamboja diduduki oleh Vietnam dan bagi setiap pengungsi yang kembali ke Kamboja akan dianggap sebagai mata-mata.

“Berita macam apa ini?” pikirku.

“Kasihan mereka!” kataku menahan emosi.

Saat itu pikiranku dipaksa untuk mengingat kembali beberapa tragedi kemunusiaan yang sering terjadi di Kamboja. Berat sekalai rasanya.

Akh… sudahlah, malam ini aku tidak ingin berpikir berat,” keluhku.

Sejenak kutatap secangkir kopi panas yang tersaji di atas meja, namun kurasa sudah sedikit mendingin karena telah kubiarkan semilir angin mengendusnya padahal belum sempat kunikmati sensasi seteguk kopi panas yang baru tersaji.

Huft… ya sudahlah, nggak apa-apa!” celoteh sambil kuminum kopi di hadapanku Kubaca lagi kisah anak-anak pelarian Kamboja itu tapi sepertinya aku tidak mampu

lagi untuk membacanya karena emosi jiwaku untuk saat ini sudah enggan menerimanya. Kulipat dan kutaruh saja koran itu di atas meja, di samping cangkir kopi.

Namun, tidak bertahan lama, kembali pandanganku tertuju pada secangkir kopi hitam itu. Secangkir kopi kadangkala bisa menjadi teman dalam berbagai suasana. Meski aku merasa mulutku masam dan lambungku agak perih tapi tetap saja kopi menjadi pilihanku. Padahal dokter pernah mengingatkanku agar mengurangi konsumsi kopi jika tak ingin asam lambungku semakin sering kambuh.

- Iklan -

Kadang aku hanya meminumnya seteguk dua teguk saja, kemudian menatap cairan pekat itu lekat-lekat seolah ada rahasia mendalam yang larut di sana. Bahkan aku suka membiarkan kopinya mendingin di cangkir. Entahlah, akhir-akhir ini aku juga tak mengerti kenapa harus melakukan semua ini.

Namun lagi-lagi kedua mataku kembali tertuju pada secangkir kopi itu. Aku termangu seperti tak berselera tapi nyaris tak berkedip. Dirasakan saja. Ya, dirasakan saja. Atau mungkin dilupakan saja.

Seolah aku ingin memberikan nasehat kecil untuk diriku sendiri. Tentunya tidak mudah, segala kesedihan, juga kenangan-kenangan yang terlalu pahit, terutama bagi mereka. Semuanya, seolah-olah melebur jadi satu serupa pahitnya bubuk kopi dan manis gula pasir dalam seduhan air panas.

Bukan cuma lambungku yang perih tapi hatiku juga ikut perih. Aku mendengus pelan, mewakili pikirannya yang berat. Sekiranya saja waktu bisa diputar ulang kembali ke masa lalu, pikirku lelah.

Andaikan waktu bisa diajak berkompromi. Namun bagaimana aku dapat melupakan dan membiarkan nasib mereka di pengungsian tanpa kejelasan, tanpa nama hingga tak tahu apakah mereka merasa masih punya harapan dan masa depan.

“Hmm… aku harus berbuat sesuatu! Aku tidak boleh tinggal diam!” pikirku.

Hujan yang turun di sore ini membuatku tak dapat lagi memejamkan mata. Ada sepi- sepi yang terusir dari atap hotel, embun yang lelah terhimpit rinai air dan sebuah asa yang buncah di dadanya, antara kepedihan dan harapan. Kubuka jendela kamar hotel. Kubiarkan angin dan tempias hujan menerobos masuk, sesekali mereka menampar-nampar wajahku.

Sebenarnya, perasaan ini telah meretakkan ulu hati. Kemudian ingin segera tumpah, mengalirkan cairan bening paling bisu dari sepasang mataku. Aku berusaha menguatkan perasaan, seolah pahit kisah ini akan tawar oleh waktu atau padam dan menetap di mimpi saja.

Tapi itu semua tak mungkin terjadi, karena yang pasti dia akan segera kembali menjejali pikiran mudaku sepasti matahari yang membeliakkan makna hidup di timur langit.

Akh, aku benar-benar tak tahan lagi untuk segera menumpahkan tangisku dalam hujan, agar tak perlu ada yang mendengar, tak perlu ada yang bertanya ada apa. Aku akan terisak di antara deru angin basah, dan mereka akan pura-pura tak mendengar semua yang dikeluhkannya pada hujan.

Selanjutnya kucari kebenaran tentang berita yang kubaca di surat kabar harian Bangkok Post tersebut. Kucari informasi dan data tentang keberadaan mereka.

Sebelumnya aku pernah mendengar berita dari Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa kurang lebih ada delapan puluh lima ribu lebih jiwa yang terkepung di sana yang tidak menginginkan untuk pindah negara.

Namun saat aku mengunjungi Kedutaan Besar Amerika di Bangkok, kutemukan dua buah kantong plastik besar yang sudah berdebu, berisi ribuan surat-surat permohonan dari orang Kamboja.

Seminggu kemudian aku kembali lagi ke Thailand untuk menulis tentang pelarian warga Kamboja yang terlupakan oleh Amerika. Ketika itulah aku bertemu dengan seorang gadis kecil dengan tubuh kurusnya itu sebagai pengganti respondenku yang tidak muncul. Rambutnya hitam panjang namun matanya nampak begitu suram.

Namanya Mohm Path. Panggil saja Mohm. Aku sempat berbincang dengannya selama kurang lebih satu jam melalui seorang juru penerjemah Bahasa dan selama itu kedua matanya tak pernah lepas dari wajahku.

Gadis itu tampak begitu kecil untuk usianya yang sudah menginjak sebelas tahun. Dia adalah salah seorang yatim piatu yang berhasil selamat dari kancah pembunuhan di negaranya, Kamboja. Tidak tahu kenapa aku merasa masih ada tempat di dalam hatiku dan di dalam rumahku untuk gadis kecil itu. Aku memang telah jatuh hati pada Mohm,

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU