“Pasti akan membahas masalah gagal panen.”
“Dan kita harus kembali makan umbi-umbian lagi.” “Ya, berdoa saja semoga ada mukjizat untuk desa kita.”
Begitu gerutu beberapa warga yang berjalan beriringan menuju balai desa.
Pada tahun itu, desa kami memang tengah mengalami paceklik parah karena berkali- kali gagal panen. Anomali cuaca, kata Pak Kepala Desa. Tanpa pernah kami tahu, apa maksud istilah tersebut. Yang kami tahu, saat itu musim memang amat sukar diprediksi.
Sehingga kami pun juga kesulitan menentukan tanaman apa yang cocok untuk ditanam di ladang ataupun kebun. Tentu saja hal itu berimbas dengan merosotnya hasil panen untuk memenuhi kebutuhan pangan di desa kami. Tak ada yang bisa dijual. Sedikit pula yang bisa dimakan.
Namun, segala kegamangan tersebut beringsut sirna, begitu kami sudah tiba di depan balai desa yang bangunannya ditopang oleh tiang-tiang bambu dan beratap sirap daun kelapa. Sejauh mata memandang, deretan karung beras berjajar rapi di dalam balai desa yang hanya beralaskan tanah.
Belum lagi sayur-sayuran dan buah-buahan juga tertata di atas meja yang dibentuk dari akar pohon. Ada juga tumpukan aneka bahan dapur di bangku yang tersusun dari bilah-bilah bambu.
Tanpa perlu diperintah, warga pun lekas berhamburan masuk ke dalam balai desa. Seolah tak percaya, bahwa aneka kebutuhan pangan yang begitu mereka harapkan mendadak datang dengan sendirinya. Kami pun hanyut dalam kebahagiaan sembari saling berebut satu sama lain mendapatkan barang-barang tersebut.
“Mohon bersabar, Saudara-saudara! Semua pasti akan mendapat bagiannya!” Dan suara parau dari Pak Kepala Desa lekas menghentikan perayaan kami.
“Pak, dari mana aneka bahan pangan ini?”
“Tak penting. Yang penting kita bisa kembali makan nasi.” “Yang terpenting adalah kita harus mensyukurinya.”
“Betul. Tapi, siapa, ya, yang memberi semua ini?!”
“Hei, kalian diam dulu. Biar Pak Kepala Desa yang menjelaskan!”
Para warga bersahut-sahutan menyerbu Pak Kepala Desa dengan berbagai pertanyaan dan pernyataan karena penasaran. Tetapi anehnya, beliau tetap bergeming. Mulutnya terkatup rapat dan bibirnya hanya tersenyum kecut. Seolah sedang menyembunyikan setitik kepedihan di dalam belanga kebahagiaan.