Cak Ladrak

Sejurus kemudian tangan Pak Kepala Desa lekas mengambil sesuatu yang terselip di balik bajunya. Tak ada kata-kata lagi darinya selain isak tangis yang sepertinya sedari tadi berusaha ditahan.

Suasana balai desa pun mendadak senyap, begitu kami melihat topi rimba dan tas kumal yang ditunjukkan oleh beliau. Dan pada akhirnya, kami pun lekas tersadar, perihal muasal aneka macam kebutuhan pangan tersebut berasal.

***

Kejadian menyesakkan itu menandai perpisahan kami dengan Cak Ladrak. Lantaran ia tiba-tiba menghilang seperti ditelan bumi. Kami pun tak pernah tahu alasannya pergi, pun juga mengapa ia tiba-tiba datang ke desa kami.

Tetapi, satu hal yang selalu kami kenang dan juga syukuri. Kedatangannya membawa dampak yang besar dalam perkembangan desa kami. Sekarang desa kami tak pernah risau apabila mengalami gagal panen. Pun juga tak pernah bermasalah dengan pemenuhan kebutuhan bahan pangan.

Karena tiap kali terkena imbas anomali cuaca –yang kini justru semakin menggila–, kami akan meletakkan cangkul dan berhenti berladang atau berkebun. Kemudian bergegas menuju bekas gubuknya di samping pohon Dewandaru di tengah hutan, seraya membawa lembaran kertas dan juga pena.

Dan di tempat itu, kami akan mulai bersimpuh mengenang Cak Ladrak sembari melanjutkan kebiasaannya; membuat anak. Anak-anak yang akan kami persiapkan untuk dikirim mengikuti lomba, dan juga dijual ke berbagai media massa yang ada di kota.

 


Penulis: Wahyu Christian Adi Setya

BACA CERPEN LAINNYA DISINI

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU