Patung Hachiko yang mengabadikan legenda persahabatan Profesor Hidesaburo Ueno dari Universitas Tokyo dengan Anjing Akita menarik perhatian Karni Ilyas. Bang One, panggilan akrab wartawan senior itu, Rabu (26/10) pagi, terlihat ikut mengantre untuk berfoto di samping patung Hachiko.
Pagi itu perempatan Shibuya, Tokyo, Jepang, yang merupakan simpang jalan tersibuk di dunia, belum seramai ketika jam pulang kantor. Tapi Patung Hachiko yang berdiri di salah sudutnya sudah diantre panjang oleh pengunjung.
Tepat 10 November 2023 ini, Hachiko akan berusia 100 tahun. Ia lahir pada 10 November 1923, di peternakan Odate, Prefektur Akita, Jepang. Setahun kemudian, dia diadopsi oleh Hidesaburo Ueno.
Ueno yang mengabdi di Departemen Pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo kemudian membawanya tinggal di Shibuya, Tokyo. Anjing ini terkenal karena kesetiaannya menunggu Hidesaburo Ueno, di stasiun kereta Shibuya, Tokyo, bahkan sampai sekian lama setelah kematian sang majikan.
Legenda Malin Kundang
Rombongan “Astra Japan Trip 2023” termasuk yang menjadikan Patung Hachiko sebagai Meeting Point kemarin. Rombongan itu terdiri dari para wartawan pemimpin redaksi media nasional yang diundang oleh Astra International berkunjung ke Jepang, 24-28 Oktober. Di antara programnya, menghadiri pameran Japan Mobility Show 2023, Rabu (25/10).
Momen Karni Ilyas berfoto dengan Hachiko, hari ketiga trip. Agenda hari itu akan mengunjungi Mori Art Museum di Shibuya dan Pabrik Isuzu di Fujisawa, 1,5 jam perjalanan dari Tokyo. Astra Japan Trip 2023 dipimpin oleh Boy Kelana Subroto, Head of Corporate Communications Astra.
Di belakang Bang One, ikut mengantri, Don Bosco Selamun, Dirut Metro TV dan Rosiana Silalahi, pemred Kompas TV yang juga mengaktifkan video membuat konten TikTok. Ada juga Maria Benyamin (Bisnis Indonesia), Titin Rosmasari (CNN), Regina Panontongan (Astra) dan Kevin Teofilus Setiawan pemandu wisata dari Golden Rama.
Apa yang membuat Karni tertarik Hachiko? “Saya ingin tunjukkan kepada kawan-kawan dan pemerintah di Sumatera Barat memikirkan hal sama. Mengabadikan legenda rakyat. Sampai sekarang Patung Malin Kundang tidak ada. Padahal, legenda itu sangat terkenal meski kisahnya berisi hal kebalikannya: tentang kedurhakaan seseorang terhadap ibunya. Sama-sama legenda, sama-sama harus jadi pengingat,” ujar wartawan kelahiran Balingka, Bukittinggi, Sumatera Barat 71 tahun lalu.
“Pemerintah Sumbar tidak punya perhatian sama sekali, padahal kandungan pesan Malin Kundang, sangat kuat. Yang ada hanya sebongkah batu di Pantai Air Manis, dekat Teluk Bayur. Malah batu yang ditujukan sebagai penanda (Malin Kundang dikutuk jadi batu) hanya dipakai pedagang kaki lima untuk menggelar jualannya,” ujar Karni.
Legenda Malin Kundang memang berawal di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di Padang, Sumatera Barat. Ada seorang janda bernama Mande Rubayah yang hidup bersama anak laki-lakinya bernama Malin Kundang.
Mande Rubayah sangat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang. Malin berhasil tumbuh menjadi seorang anak yang rajin dan penurut. Ketika Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan Malin. Suatu ketika, Malin sakit keras yang mengancam jiwanya. Namun akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha keras Sang Ibu.
Sang ayah telah lama pergi meninggalkan ibu dan anak semata wayang nya itu. Mereka hidup serba kekurangan. Suatu saat Malin memutuskan mencari peruntungan di negeri seberang. Dengan harapan nantinya saat kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi saudagar kaya raya.
Malin tertarik ajakan nahkoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya. Tekadnya semakin kuat, Malin meminta izin kepada ibundanya. Mande Rubayah sempat tidak setuju dengan keinginan anaknya, tetapi karena Malin terus mendesak akhirnya ia mengizinkan.
“Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan lupa dengan ibumu dan kampung halamanmu ini, Nak,” pesan ibunya.
Pilihan Malin ikut kapal itu ternyata berbuah sukses. Beberapa tahun berlalu Malin telah menjadi nahkoda yang mengepalai banyak kapal dagang. Ia pun berhasil memperistri seorang putri raja yang cantik jelita. Kabar kesuksesannya sampai kepada ibunya Malin. Setiap hari Mande Rubayah menyempatkan ke dermaga berharap menanti dan berharap bertemu putranya.
Suatu ketika, sampailah kapal mereka di kampung tempat Malin dulu dibesarkan. Malin Kundang turun dari kapal disambut oleh ibundanya dengan peluk cium. Tapi Malin Kundang tidak seperti diharapkan, justru malah segera melepaskan pelukan tersebut dan mendorong ibundanya hingga terjatuh.
“Wanita tidak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku,” kata Malin kepada ibunya.
Malin berpura-pura tidak mengenal ibunya, karena malu melihat ibunya yang sudah tua dan memakai baju compang-camping.
“Wanita itu ibumu?” tanya istri Malin. “Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan hartaku,” sahut Malin.
Melihat tingkah Malin yang congkak di depan istrinya, Mande Rubayah sakit hati. Ia pun sengaja menyaksikan kapal anaknya bertolak dari pantai, sambil berdoa dalam hatinya agar Tuhan menghukum Malin.
Badai besar kemudian menerjang kapal Malin Kundang sampai seluruh isinya hancur berhamburan. Serpihan kapal berubah menjadi batu karang, termasuk sosok Malin Kundang dalam posisi sedang bersimpuh.
Kesetiaan Hachiko
Karni takjub bukan semata pada Patung Hachiko. Tetapi cara orang menyikapi nilai-nilai persahabatan Anjing dan Tuannya. Menurut kisahnya, Profesor Hidesaburo Ueno dari Universitas Tokyo mengadopsi Hachiko di Prefektur Akita pada awal 1920-an.
Mereka berdua tidak terpisahkan. Anjing itu setiap hari selalu menemani Prof Ueno ke Stasiun Shibuya untuk pergi bekerja di Universitas Imperial Tokyo. Dan, rutin setiap pukul 3 sore pula Hachiko ke stasiun itu untuk menyambut kepulangan Ueno.
Hingga sang profesor meninggal pada 1925 di kampus, sehingga Ueno tidak pernah lagi kembali ke Stasiun Shibuya. Sedangkan Hachiko tetap setia mengunjungi stasiun setiap hari sampai akhir hayatnya, sekitar 10 tahun kemudian. Kematiannya menjadi berita utama, lalu dia dikremasi dan dikuburkan di samping pemiliknya tercinta.
Kisah Hachiko menjadi legenda dan dibuatlah sebuah patung kecil di depan stasiun Shibuya untuk mengenang Hachiko. Banyak orang lokal dan orang asing selalu mengantri untuk foto bersama patung itu, yang berlokasi hanya beberapa meter dari tempat penyebrangan yang populer di Shibuya, yang dikenal dengan nama Patung Hachiko Lain di Tokyo.
Meskipun tubuh Hachiko dikremasi, bulunya diawetkan dan setelahnya diisi serta dipajang di National Museum of Nature and Science yang berada di Taman Ueno Tokyo. Patung kedua juga didirikan di depan Tower Records di Shibuya, untuk mengenang ulang tahun relokasinya yang ke-20.
Ada juga mural keluarga Hachiko, di dinding stasiun yang berseberangan dengan patung asli, di mana seniman Ryutaro Kitahara sedikit bermimpi dan memahat beberapa teman anjing untuk si anjing setia.
Bahkan ada film Hollywood yang dibuat tahun 2009 berjudul Hachi: A Dog’s Story yang dibintangi oleh Richard Gere, dan pada dasarnya merupakan remake versi bahasa Inggris dari film asli Jepang Hachiko Monogatari (Kisah Hachiko).
Dan untuk mereka yang menyukai akhir membahagiakan, patung Hachiko yang lain dipersembahkan pada tahun 2015 di halaman Universitas Tokyo. “Bukan hanya Malin Kundang di Padang, tetapi hampir semua daerah di Indonesia ada legenda rakyat yang layak diabadikan, supaya nilai-nilai kebajikan dan keburukan di dalamnya, bisa dikenang generasi pelanjut, sedangkan yang buruk bisa menjadi tanda pengingat. Seluruh bangsa-bangsa di dunia pun merawat legenda itu,” papar Karni Ilyas. (*)