Catatan Ilham Bintang : Mati Ketawa Ala Nitizen

Urusan pandemi virus Covid19 rasanya akan masih akan panjang, belum tahu kapan berakhir di Tanah Air. Penderitaan rakyat akan semakin lengkap, seperti dialami warga seluruh dunia karena otoritas yang menangani pagebluk sering tak menentu, berubah-ubah.

Catatan Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat

Mungkin lebih tepat dibaca: seringkali tidak satu kata dengan perbuatan. Satu kali “narsis” memuji diri berhasil redam Covid19. Klaim penanganannya terbaik di dunia segala. Tapi langsung panik ketika kenyataan berbanding terbalik yang terjadi. Kembali menyalahkan masyarakat yang memang sering lalai patuhi protokol kesehatan.

Di Tanah air juga seperti itu. Entah dapat masukan salah dari pembantunya yang mana, Presiden Jokowi minggu lalu masih terbang ke berbagai daerah padahal lonjakan kasus virus di Indonesia sudah signifikan.

Lupa tiap jengkal tanah di bumi punya mata dan telinga. Maka foto dan video kerumunan massal yang terjadi di mana saja pun Presiden berada, cepat menyebar luas dikonsumsi publik. Memicu kritik dan cibiran. Juga rasa frustrasi.

Contoh, saat kunjungan kerjanya di awal bulan Februari di Sumatera Utara. Masih terngiang selalu pesan Presiden mengingatkan agar masyarakat waspada virus. Tak lupa mengimbau jangan keluar rumah jika tidak terlalu mendesak. Patuhi protokol kesehatan. Hindari kerumunan.

Tapi foto dan video rekaman kunjungannya di beberapa lokasi di Sumut berbeda dengan ucapan. Bukan hanya menciptakan kerumunan yang dahsyat. Di lokasi mana pun acara Presiden rakyat tumplek blek menyambut. Sekejap lokasi bak lautan manusia. Kemana para “ pembisiknya”?

Kita tak percaya Presiden tidak mengetahui kondisi rentan menciptakan kluster baru.
Respons Presiden pun seperti berada di masa normal saja. “ Sampai mobil tidak bisa jalan,” kata Jokowi, seperti belum ngeh bahayanya.

Kita cuma bisa menduga, elu-eluan rakyat yang histeria menyeru namanya menyihir Presiden. Dari dalam mobil Presiden, terus saja mengalir lemparan kaos dan berbagai hadiah untuk rakyat, menambah keriuhan karena desak-desakan. Pejabat di Sekretariat Presiden, menanggapi peristiwa tersebut berkilah. Itu tanggung jawab Pemda setempat.

- Iklan -

Kita bersyukur, belakangan Presiden baru menyadari lonjakan penyebaran Covid19 tak terkendali. Presiden pun ambil keputusan. Dua minggu ke depan sejak 6 Februari, semua kegiatan tatap muka dihentikan.

Termasuk kehadirannya di Kendari, Sulawesi Tenggara, yang ditunggu ribuan insan pers untuk memperingati Hari Pers Nasional ( HPN) Rabu, 9 Februari. Keputusan Presiden tepat dan bijaksana.

Insan pers berlapang dada mengalah, memaklumi putusan Presiden demi melindungi kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat. Bukankah kita sudah sepakat, keselamatan jiwa rakyat di atas segalanya, kita tempatkan sebagai hukum tertinggi.

Cukuplah jumlah korban yang berjatuhan, 145 ribu saudara kita wafat. Sedangkan yang terpapar virus 4,5 juta jiwa. Jangan bertambah lagi.

Jangan terlena pernyataan siapapun varian Omicron — yang diduga mendominasi lonjakan di Tanah Air — tidak berbahaya.

Minggu lalu saya menulis mengingatkan itu. Belum ada yang bisa memastikan varian apa sesungguhnya yang melonjak penularannya di Tanah Air sekarang.

Pakar mengidentifikasi Omicron karena varian itu yang mendominasi serangan virus di banyak negara di dunia. Tapi, bagaimana kalau bukan? Bagaimana kalau itu ternyata masih lanjutan Delta yang ganas yang telah merenggutkan ratusan ribu jiwa rakyat Indonesia. Yang puncaknya terjadi Juli- Agustus tahun lalu.

Bagaimana cara memastikan virus Covid19 yang menjangkiti rakyat sekarang adalah Omicron. Sedangkan untuk memastikan varian itu perlu penelitian lab lima hari dengan biaya lebih kurang Rp.5 juta perorang, kata ahli.

Menurut sebagian pakar, ciri Omicron bergejala ringan. Yang terjangkit sembuh dalam 3-4 hari. Tidak perlu opname di RS, cukup isolasi mandiri di rumah. Tapi fakta yang ada RS mulai kewalahan menampung pasien bergejala berat. Banyak juga yang meninggal.
Singkatnya : tidak ada yang bisa kita pegang.

Baca Juga:  Catatan Ilham Bintang: Kang Farid Telah Tiada

Tren di negara maju pun tidak bisa jadi rujukan. Data di AS, Kamis (3/2) mencatat satu hari itu Omicron yang dominan di sana merenggut jiwa 3200 orang dan yang positif lebih 300 ribu. Di Jakarta antrean mengular di seluruh tempat swab di Ibu Kota. Perlu waktu 1-2 jam baru sampai di titik pemeriksaan swab.

Perlu satu dua hari untuk mengetahui hasilnya. Saking overloadnya, sempat muncul kasus salah data. Pasien mendaftar saja belum, simsalabim, hasilnya sudah keluar. Positif pula. Streslah. Sebab, hari itu dia mau keluar kota. Gaduh lagi. Kita belum bicara kasus manipulasi kekarantinaan yang sekarang diusut pihak berwajib.

Di masa lonjakan virus, pemerintah malah membuka pula kunjungan internasional di banyak destinasi. Masa karantina dari luar negeri dikorting tinggal 5 hari dari sebelumnya seminggu dan 10 hari. Balapan MotorGP di Mandalika pertengahan bulan ini akan dihadiri 100 ribu penonton.

Syarat penerbangan domestik sekarang cukup mengantongi hasil Swab Antigen. Padahal, penularan Omicron sudah didominasu transmisi lokal. Pendapat banyak ahli, Antigen tidak bisa mendeteksi varian Omicron. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin kemarin mengumumkan, bahkan hasil Swab PCR pun tidak bisa dipercaya 100 persen. Mana yang bisa dipercaya. Mana yang benar, wallahualam.

Saat Luhut Turun Tangan

Yang jelas, mencermati kondisi itu, Senin (7/2), Koordinator Penanganan Covid19 Jawa – Bali, Luhut Binsar Panjaitan, langsung tanggap. Akhirnya mengumumkan level PPKM 2 ( Peraturan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dinaikkan menjadi level 3 di Jabedetabek, Bali, dan Bandung. Wilayah kegiatan pemerintahan dan episentrum ekonomi Indonesia yang perputaran uangnya 70 % secara Nasional. Tapi Luhut tidak lupa menyemangati rakyat. Omicron hanya fatal buat pasien lanjut usia yang belum vaksin dan pasien komorbid ( penyakit bawaan), katanya. Di luar itu silahkan beraktifitas seperti biasa. Yang penting taat protokol kesehatan. Sudah pastikah itu Omicron, Opung?

Al Fakir

Begini saja. Al Fakir ( maaf meminjam istilah Da’i umumnya), saya menasehati diri sendiri dan kita semua. Lebih baik diam di rumah saja. Beraktifitas kantor, sekolah, dan kalau perlu beribadah pun di rumah saja. Biar aman. Satu hal yang memang tidak terbantah : Omicron memiliki kecepatan penularan secepat kilat. Sudah banyak buktinya. Satu terkena, sekeluarga positif.

Tambahan nasehatnya, jangan lupa pelihara imunitas selama di rumah. Jangan sampai drop karena mengikuti banyak silang pendapat di media. Jangan gampang terharu, hatta itu dari otoritas.

Jangan mempercayai siapapun ( ini istilah pinjaman dari Tantowi Yahya, mantan Dubes RI di New Zealand). Tantowi yang terpapar Covid19 minggu lalu mencurigai OTG ( orang tanpa gejala ) berkeliaran di mana-mana, di tengah kita.

Buah Simalakama

Dimasa pandemi, dan resesi ekonomi kebanyakan keluarga Indonesia, diminta tinggal di rumah dilematis. Ibarat buah simalakama. Dimakan mati ibu, tak dimakan mati ayah. Bagaimana membiayai hidup sehari-hari keluarganya bagi pekerja harian.

Suara speaker dari masjid 

Sebentar. Izin mendengar sebentar pengumuman dari speaker masjid dekat rumah. Sudah seminggu puluhan warga sekitar komplek dan di dalam komplek perumahan kami terpapar virus. Pengeras suara tadi menyampaikan berita duka. Innalillahi Wainnailaihi Rojiun. Itu salah satu yang bikin stres. Biarpun sudah mengurung diri di rumah.

Nasehat dari banyak teman, selama nyaman di masa pandemi, benar juga.
Segera cari hiburan. Dia menuebut media sosial dan rumpunnya menyediakan banyak saluran yang bisa bikin gerr. Saya coba praktekkan, ternyata tokcer.

Baca Juga:  Transformasi Pendidikan Indonesia Pasca-Kurikulum Merdeka

Dengan menyimak suara orsinil netizen, suara rakyat di media sosial. Media sosial memang menjadi wilayah paling demokratis di Indonesia. Biarpun banyak yang ditangkap polisi maupun dihukum penjara karena menyalahgunakan medsos, tetapi tidak mengurangi semangat netizen berselancar di dunia maya. Bayangkan tercatat ada 200 juta orang terhubung di internet sekarang. Angka itu melebihi jumlah pemilih pada waktu Pemilu 2019.

Bagi yang punya jejak digital lihat medsos memang bisa sakit hati. Terus saja kesalahan mereka diungkit- ungkit. Terutama pejabat publik yang suka omong besar dan mencla mencle. Apalagi yang ketahuan cuma pencitraan. Jejak digitalnya tidak pernah terkubur. Semua jejak itu tersimpan sepanjang masa.

Mari coba kita uji. Beberapa berita media mainstream diposting sekarang sering diposting penerbitnya sendiri di Facebook ( FB) dan rumpun medsos lainnyya. Artinya beritanya bisa dibaca masyarakat gratis. Saya meniai ini upaya media pers beradaptasi dengan disrupsi digital. Strategi bagian marketing untuk memantau segmentasi pembaca dan respons publik terhadap jenis berita yang diminati.

Belakangan saya mengikuti “Tempo” “Republika” dan “Kompas”, serta beberapa lagi. Media memilihkan berita yang trending topic untuk diposting di FB. Saya mencatat beberapa tokoh yang selalu ramai mendapat komentar publik.

Yaitu : Presiden Jokowi, Gubernur DKI Anies Baswedan, soal Ibu Kota Negara, soal Formula E, Kritik politisi PSI dan PDI-P, KSAD Jendral Dudung, Menteri Agama. Beragam komentar netizen atas berita-berita itu yang mengundang senyum karena kritis dan lucu.

Bisa bikin ketawa guling-guling mengikuti mereka yang bebas, dan dijamin itu tidak ada di media mainstream platform manapun. Ambil contoh ketika media memposting berita “Jendral Dudung akan memimpin pemakaman korban KKB di Papua”.

Kata netizen,” Yeah, kirain mimpin penyerbuan untuk balas KKBnya”. Lalu ditimpali netizen yang lain “Pak Dudung kan bersaudara dengan KKB, belum sempat saja diajak ngopi- ngopi”.

Berita tentang program Anies sering ditimpali netizen dengan pertanyaan “ bagaimana dengan janji kampanye rumah 0 persen? Ditimpali netizen lain, dasar media tempe, mentang- mentang sesama kadrun”.

Adalun Presiden Jokowi masih saja ditagih soal mobil Esemka, ekonomi meroket, dan uang 11 T yang sudah di kantong. Komentar mengenai PSI dan Giring, yang paling kritis tapi lucu. Bikin tawa meledak. “Tempo” memberitakan politikus PDI-P menuntut Anies turun langsung mengawasi pembuatan sirkuit Formula E di Ancol. “ Nah, boleh tuh mintain giring pekerjaan untuk tongkrongin sirkuit”.

“Lebih tepat Giring giring kambing saja, “ timpal yang lain saja. Ibarat seribu komentar, seribu seratus yang berbalik menyerang Giring.

Netizen juga menciptakan banyak kepanjangan baru PSI. Salah satunya, “ Partai Secuil Ibukota, masak cuma ngurusi Anies saja sepanjang hidup. Harun Masiku tidak diurus?”. Beberapa hari ini yang sering dimuat keterangan Gilbert, politisi PDI-P yang mengkritisi Anies. “ Kenapa klen tidak urus Mensos nya yah yang ditangkap KPK karena korupsi dana bansos?”.

Netizen lain menimpali begini. “ Pokoknya kalau politisi PSI dan PDI-P menghujat Anies, berarti Anies sudah bekerja benar”. Yang paling kasihan Menteri Agama, netizen banyak off side mengomentari mantan Ketua Banser NU itu. Tapi begitulah suara rakyat. Suara Tuhan. Di masa pemilu, saat suara mereka dibutuhkan, politisi mengatakan juga begitu. Suara rakyat suara Tuhan. Mau apa lagi?

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU