Catatan Ilham Bintang: Selamat Jalan Daeng Alwi Hamu

Meskipun sudah lama sakit akibat serangan stroke, lebih lima tahun lalu, kabar wafatnya Alwi Hamu, Sabtu (18/1) pagi tetap menyentak. Tiada lagi senior yang diwajahnya selalu tersungging senyum, dan tak pernah lupa meneriakkan yel khas Bugis Makassar Ewako!

Bukan hanya kepada teman-teman sekampung, tetapi juga kepada umumnya wartawan yang dia kenal. Ewako, dalam bahasa Bugis Makassar, artinya, ” lawan!”. Tepatnya, “tetap bersemangat”. Semangat besar seperti yang selalu tampak melekat dalam dirinya.

Husain Abdulllah, Juru bicara Wapres RI 10 dan 12 Jusuf Kalla, yang mengirimi saya kabar duka pertama kali kemarin pagi. Daeng Alwi, begitu sering saya menyapa almarhum, Tokoh Pers Sulawesi Selatan dan Raja Media di Indonesia Timur.

Ia mengembuskan nafas terakhir pukul 06:50 WIB di RS Pondok Indah, Puri Indah, Jakarta Barat.

Satu jam sebelum itu menurut cerita perawatnya, kondisi Daeng Alwi, drop sekali. Melalui alat kesehatan, HB tensinya terpantau hanya 50. Bersegeralah perawat dan anaknya melarikannya ke RSPI Puri Indah, yang hanya berjarak kurang dari dua kilometer dari kediaman almarhum. Di IGD, saat perawat mencoba memasukkan jarum infus, Daeng Alwi tak bereaksi.

Ternyata, Daeng Alwi, telah tiada. Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun. Padahal, Daeng Alwi sebenarnya, Jumat sore sudah pulang dari RSCM Kencana, Jakarta Pusat, setelah dirawat empat hari di sana.

Inspiring

Daeng Alwi sosok inspiring. Sebagai wartawan, pebisnis media maupun sebagai sahabat. Sukses besar sebagai Raja Media tidak membuatnya lupa diri. Ia tetap tampak bersahaja, bergaul dengan siapa saja, semua strata, junior maupun senior. Dari wartawan pemula hingga wartawan kelas langitan.

Saat melayat almarhum di Kamar Jenasah RS, saya mencoba mengingat-ingat kembali kenangan selama mengenal almarhum. Masih segar dalam ingatan saat Kongres PWI berlangsung di Solo 2018.

- Iklan -
Baca Juga:  Teori Hans Kelsen Vs Teori Sosiologi dalam Kasus Shin Tae-yong Vs Patrick Kluivert

Di sela-sela istirahat makan siang, Alwi Hamu menghibur seluruh peserta kongres dengan menyanyikan beberapa lagi diiiringi organ tunggal. Alwi memang pandai menyanyi membawakan lagu-lagu hits dunia, juga lagu-lagu Bugis Makassar.

Sekejap saja ruang makan hotel gegap gempita dipenuhi tawa canda. Acara diakhiri dengan fofo-foto selfie yang dimotori emak-emak. Hari itu Daeng Alwi asli menjadi idola emak-emak. Di Kongres PWI Solo itu, Alwi bertahan sebagai anggota Dewan Penasihat PWI Pusat.

Menyanyi Bersama

Sewaktu terserang stroke pertama, saya bersama rekan Marah Sakti Siregar membesuknya di Paviliun Kencana, RSCM. Setelah kondisinya mulai membaik, kami kembali membesuk di rumahnya.

Waktu itu dia sudah bisa duduk di kursi, dan senyumnya tak lekang di wajah. Saya perdengarkan nyanyian dari ponsel dua lagu Makassar, “Anging Ma’miri”dan “Bori Minasa” yang ikut dinyanyikannya dengan semangat. Bismillah. Daeng Alwi sudah sembuh.

Saya mengenal Daeng Alwi jauh sebelum saya jadi wartawan. Puluhan tahun lalu, masih di Makassar. Sebagai wartawan, ia sebenarnya seangkatan dan bersahabat erat dengan kakak sulung kami, H Zainal Bintang. Tapi seperti disebut di atas, Daeng Alwi tidak mengenal strata junior maupun senior, semua kawan. Semua sahabat.

Saya ingat, suatu siang, jauh sebelum jatuh sakit, ia mengunjungi saya di kantor. Sekaligus mengundang pindahan rumah barunya di Komplek Puri Indah, Kembangan, Jakarta Barat.

Tidak lama setelah mendapat kabar duka itu bersama Marah Sakti Siregar, Pengurus PWI Pusat dan anggota Pokja Pendidikan Dewan Pers, kami melayat ke RS Puri Indah. Di kamar jenasah, lebih dulu tiba Wapres RI ke 10 dan 12 Jusuf Kalla bersama Ibu Mufidah JK, mantan Menkumham Hamid Awaluddin, kemudian menyusul mantan Menkominfo, Sofyan Jalil yang merupakan sohib Daeng Alwi. Semasa JK menjabat Wapres RI dua kali, Daeng Alwi memang menjabat Staf Khususnya.

Baca Juga:  Bijak Bermedia Sosial, Pahami UU ITE

Daeng Alwi mengawali karir di dunia jurnalistik di usia belia, masih berstatus mahasiswa. Pria kelahiran 28 Juli 1944 itu merupakan lulusan Sarjana Muda Teknik Universitas Hasanuddin.

Saat menjadi mahasiswa, ia aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) wilayah Sulawesi Selatan sebagai Sekretaris Jenderal. Alwi Hamu dan rekan-rekannya menerbitkan surat kabar harian KAMI sebagai sarana mengekspresikan pendapat dan pandanganya.

Tahun 1972, Alwi Hamu mendirikan majalah Intim. bersama teman-temannya. Tidak lama kemudian ia bergabung di surat harian sore terbesar di Makassar, Harian Tegas. Posisinya sebagai Wakil Pemimpin Umum. Tapi cuma sebentar.

Alwi Hamu kemudian mendirikan surat kabar Harian Fajar (1981). Surat kabar inilah yang menjadi keberuntungannya lantaran perkembangannya yang amat pesat, melahirkan Group Media Fajar yang menggurita beranak cucu puluhan media di Indonesia Timur. Ia pun mendirikan Universitas Fajar (Unfa).

Diantar ratusan pelayat, keluarga, sahabat kerabat, pejabat termasuk JK, dan kalangan pers, Alwi Hamu dimakamkan Minggu (19/1) siang ba’da Dzuhur di Pemakaman Keluarga HM Jusuf Kalla, Jalan Ir Sutami, Patte’ne, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar. Sebelumnya, jenasah almarhum disalatkan di Masjid Al Markaz Al Islami, dan disemayamkan sebentar di Graha Pena sebelum diantar ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Selamat jalan Daeng Alwi. Rasanya masih terngiang-ngiang teriakan bersemangat, Ewako. (*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU