Cerita Rakyat Sulawesi Selatan: La Sallomo

“La Sallomo,” kata Addatuang, “Raja Bone menginginkan tali yang terbuat dari debu. Kami sudah mencoba, namun tak satu pun berhasil. Bagaimana caranya memenuhi permintaan ini?”

La Sallomo tersenyum tipis. “Itu bukan masalah besar, Puang,” ujarnya. Ia kemudian memerintahkan masyarakat Sidenreng untuk mengumpulkan debu dalam jumlah besar, yang kemudian diayak hingga halus. Debu itu dibasahi seperti membuat adonan kue onde-onde, lalu dipintal menjadi tali pendek. Namun, tali itu selalu putus sebelum selesai.

Untuk menyiasati keadaan, La Sallomo meminta dibuatkan tempayan besar di Bilokka. Setelah itu, kain-kain bekas dikumpulkan dari seluruh masyarakat, dipintal, lalu diletakkan melingkar di dalam tempayan tersebut. Tempayan itu kemudian dibakar dengan api hingga kain-kainnya hancur menjadi abu. Setelah selesai, tempayan itu dikirim ke Bone.

Ketika utusan Bone menyerahkan tempayan tersebut kepada Raja Bone, tali abu yang dihasilkan tampak sempurna. Namun, ketika disentuh, tali itu hancur berkeping-keping. Dengan demikian, permintaan Raja Bone kembali terpenuhi.

Raja Bone masih belum menyerah. Kali ini, ia meminta tandingan untuk kerbau miliknya, yang dikenal besar dan kuat, jarang ada lawannya. “Jika Sidenreng tidak dapat menyediakan kerbau tandingan, maka kami akan menyerang,” demikian ancamannya.

Mendengar ini, Addatuang kembali memanggil La Sallomo. Setelah mendengar ancaman tersebut, La Sallomo hanya tersenyum. “Itu mudah, Puang,” katanya.

La Sallomo meminta seekor anak kerbau yang baru berusia tujuh hari. Anak kerbau itu dibekali keranjang kecil di mulutnya, dengan taji besi dipasang di bagian depan keranjang tersebut. Ketika kerbau besar milik Raja Bone dihadapkan dengan anak kerbau kecil ini, Raja Bone mengejek, “Apakah ini tandingan untuk kerbauku yang perkasa?”

Baca Juga:  Kumpulan Cerita Dongeng untuk Anak Sebelum Tidur

Namun, ketika anak kerbau itu bergerak maju, taji besi pada keranjangnya melukai kerbau besar milik Raja Bone. Kerbau besar itu mundur ketakutan. Sementara itu, anak kerbau terus melangkah maju tanpa rasa takut. Melihat kejadian ini, Raja Bone hanya bisa terpana, sementara La Sallomo berdiri tenang, menyaksikan siasatnya berhasil.

Sejak saat itu, nama La Sallomo semakin harum sebagai simbol kecerdasan dan diplomasi, dan Sidenreng pun tetap aman dari ancaman Bone berkat kepandaiannya.

Raja Bone memandangi anak kerbau kecil yang menjadi tandingan bagi kerbau kebanggaannya. Ia tertawa mengejek. “Terlalu kecil sekali,” katanya sinis.

Namun, La Sallomo hanya tersenyum dan berkata, “Memang kecil, tetapi kerbau ini mampu mengalahkan lawannya.”

Ketika anak kerbau itu dilepaskan, ia langsung berlari menuju kerbau besar milik Raja Bone. Naluri anak kerbau tersebut membuatnya mengira kerbau besar itu adalah induknya. Ia mendekat, menyusup di antara kaki kerbau besar itu, mencari tempat untuk menyusu. Kerbau besar tampak gelisah, menggerakkan ekornya untuk mengusir anak kerbau tersebut. Namun, anak kerbau kecil terus membuntuti.

Tiba-tiba, taji besi yang dipasang pada mulut anak kerbau itu menusuk buah pelir kerbau besar. Kerbau Raja Bone melompat kesakitan, lalu lari terbirit-birit. Anak kerbau kecil itu justru mengejar, seolah tak mau berpisah dari “induknya.” Para pengiring Raja Bone terdiam, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Kerbau besar kebanggaan mereka dikalahkan oleh anak kerbau yang kecil dan tampak tak berdaya.

Raja Bone tertegun. “Bagaimana mungkin?” gumamnya, heran.

La Sallomo menjawab tenang, “Kecil, tetapi cerdik. Kadang, kecerdasan lebih penting daripada kekuatan.”

Baca Juga:  Kumpulan Cerita Dongeng untuk Anak Sebelum Tidur

Keunggulan orang Sidenreng dalam kecerdikan kembali terbukti saat Raja Bone memutuskan mengadakan pameran kekayaan padi. Raja Bone berkata, “Sawah orang Sidenreng memang luas, tetapi kita harus membuktikan bahwa kita lebih unggul dalam hal kekayaan hasil panen.”

Dalam pameran tersebut, orang Bone menyusun lumbung mereka dengan lima puluh ribu ikat padi. Namun, meski jumlahnya besar, lumbung itu tampak rendah. Sementara itu, orang Sidenreng memilih tempat strategis untuk pameran mereka, yakni di sebuah gunung bundar bernama Gunung Lowa, yang terletak di bagian barat Amparita.

Mereka menyusun padi berderet-deret dari kaki hingga puncak gunung. Dari kejauhan, susunan padi itu tampak menjulang tinggi seperti sebuah gunung emas. Bahkan, orang-orang di Turnngeng Pette, yang berada jauh di timur, dapat melihatnya dengan jelas.

Raja Bone terkesima ketika mendengar laporan para pengiringnya. “Lihatlah lumbung orang Sidenreng,” kata mereka. “Gunung itu penuh dengan padi, seolah tak ada habisnya!”

Merasa kalah, Raja Bone akhirnya mengakui keunggulan Sidenreng. Namun, yang tak diketahui oleh Raja Bone, susunan padi di Gunung Lowa itu sebenarnya hanya terdiri dari kurang dari sepuluh ribu ikat. Orang Sidenreng mengatur padi dengan rapi dan cerdik, sehingga tampak jauh lebih besar daripada kenyataannya.

“Orang Sidenreng memang licik,” pikir Raja Bone. “Jika bukan karena kecerdikan mereka, mungkin sekarang mereka telah menjadi budak kita.”

Cerita ini pun menjadi salah satu bukti kecerdasan dan kelicikan orang Sidenreng yang mampu mempertahankan kehormatan dan kedaulatan mereka tanpa harus mengandalkan kekuatan semata.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU

TERPOPULER