Aku Kehilangan Ibu

Pukul lima sore, aku mendapat telepon dari adikku yang ada di kampung, di sebuah kota kecil, Rembang, Jawa Tengah. Spontan aku menangis histeris sambil berteriak, menyesal kenapa tidak pulang dari kemarin. Aku terus saja menangis, menumpahkan rasa penyesalan yang tiada tara.

Telepon adikku tadi mengabarkan ibu baru saja meninggal dunia, yang sebelumnya sakit beberapa hari, di masa pandemi Covid-19. Terus-menerus sambil berkata,
“Maafin aku ibu….”, aku masih menangis, dan pada akhirnya aku sadar, semua akan kembali kepada Tuhan, tinggal menunggu giliran. Pasrah menerima takdir, harus kehilangan ibu tanpa bisa menyaksikan hembusan nafas terakhir beliau.

Andai waktu bisa diputar kembali, ingin rasanya dari kemarin nekat pulang, walaupun adikku melarang kami karena situasi di wilayahnya sedang mencekam, hampir setiap hari ada berita duka. Memang, keadaan di wilayah tempat tinggal ibu sedang zona merah. Rasa penyesalan itu masih selalu menghantui, namun suamiku, Bang Iful menyadarkanku untuk menerima takdir.

Adikku, Irsy menelepon, “Mbak Iin, kalau pulang sendiri ya mbak, besok saja naik bus, jangan ajak anak-anak”.

“Sekeluarga dik, ini mau berangkat, Bismillah semoga sehat semua”, aku tetap ingin pulang bersama suami dan anak-anak.

“Aku kasian sama keponakanku Naisa dan Abas, di sini zona merah, ibu juga kemarin- kemarin sakitnya seperti terpapar Covid-19, di sini mencekam situasinya, hampir setiap hari ada berita duka, bahkan di sekitar sini sehari lebih dari satu yang meninggal”, Irsy mencoba untuk memberi pemahaman kepadaku.

“Mohon dik, ijin, kami pulang sekeluarga, ingin melihat ibu di prosesi pemakaman, aku mohon…”, sambil terisak aku meminta adikku untuk memperbolehkan kami pulang sekeluarga.

“Ya sudah kalau memang yakin, semoga dalam lindunganNya, dan sehat semuanya”, akhirnya adikku Irsy memperbolehkan kami sekeluarga pulang.

***

- Iklan -

Sambil berlinang air mata, bersiap-siap perjalanan dari Jakarta menuju ke kampung halaman, agar esok hari bisa ikut ke prosesi pemakaman ibu. Bersama keluarga kecilku (suami dan kedua buah hatiku), pukul 20.30 berangkat, menggunakan mobil roda empat, kijang lama yang kita punya.

Mbak wis tekan ngendi?”, tanya adik kandungku, Eny yang di Depok. Dia perjanan dari Depok dengan suaminya.

“Tol Cipali dik, kamu sudah sampai mana?”, aku balik bertanya. “Sama mbak, hati-hati di jalan ya…”.

“Iya dik, hati-hati juga…”, aku mengakhiri telepon dari adikku.

***

Di dalam mobil, aku kembali teringat ke masa-masa dulu, saat aku, kakak, dan keempat

adikku masih masa anak-anak. Hidup di kampung, yang tidak punya sawah, tidak punya sapi seperti tetangga lain pada umumnya. Ibuku adalah ibu yang sangat hebat, sangat luar biasa bagiku. Mengurus keenam anak dengan baik, dengan mengajarkan pengalaman hidup untuk mandiri sebagai salah satu bekal di masa depan.

Dari kecil, kelas 1 Sekolah Dasar, aku sudah diajarkan ibuku untuk mencari uang. Setiap fajar, pukul lima pagi, aku harus ke pasar untuk membeli jajanan ke agen. Jajanan dari pasar, dan juga yang dibuat oleh ibuku sendiri, aku bawa ke lapak jualan ibu yang ada di sekolah itu. Aku membantu ibuku berjualan jajanan di sekolah, setiap sebelum masuk jam pertama, saat istirahat, dan saat jam pulang sekolah, aku pasti menuju tempat ibuku berjualan, membantu ibuku melayani anak-anak SD yang pada jajan.

Sepulang dari berjualan di sekolahan, kegiatan rutin ibu adalah mengambil air dari sumur umum, yang diangkut dengan sebuah kelenting, gerabah seperti kendi berukuran besar tanpa cerat, tempat membawa air dari sumur dengan cara digendong menggunakan selendang. Jarak sumur menuju rumah sekitar seribu langkah kaki. Betapa kuat raga ibu, sampai di umur lebih dari 40 tahun hal tersebut masih menjadi pekerjaan rutin ibu.

Sewaktu aku masih kecil, sekitar kelas 1 SD, aku pun sudah mulai dilatih menggendong air dalam kelenting dengan ukuran kecil, sehingga bebannya tidak terlalu berat. Aku pun sudah diajari untuk menyeterika pakaian, dengan menggunakan alat seterika manual yang diisi dengan arang kayu. Aku pun sudah belajar mencuci piring, dan mencuci pakaian.

Setiap pagi sebelum Subuh, sekitar jam tiga pagi, aku pun ikut di dapur membantu ibu memasak bubur kacang hijau, bakwan sayur, peyek, dan sebagainya, untuk dijual. Dari kecil, aku sudah dididik ibu menjadi anak yang tidak manja, karena memang kami merupakan keluarga yang sangat sederhana.

Banyak orang memanggil ibu dengan sebutan “Mbak Mun”. Bagiku, ibu adalah wanita yang terampil, ibu menerima panggilan foto pengantin, dan juga banyak orang yang datang ke rumah. Waktu itu, belum banyak seperti sekarang, ibuku sudah jadi tukang foto yang sekarang lebih terkenal dengan sebutan fotografer. Masih menggunakan kamera manual, yang harus mengatur diafragma, jarak, bayangan, dan lain sebagainya, dan kalau mau mencetak harus ke kota. Hasil dari pemotretan ibu pun sangat bagus, sehingga banyak langganan.

Ibu juga menerima jasa pembayaran pajak, balik nama motor dan mobil, dan lain sebagainya, sampai pernah sampai ke Kota Semarang pun sudah biasa. Memang menurutku, ibuku adalah wanita hebat, wanita yang seharusnya menjadi seorang guru, tapi waktu kelas dua Pendidikan Guru Agama Islam, ibu keluar sekolah karena tidak betah tinggal di rumah saudara. Maka dari itu, ibu pandai berbahasa Indonesia dengan lancar, dan berwawasan luas, walau tinggal di kampung.

Pernah juga kutemukan buku berukuran kecil, tulisan tangan ibu berisi lagu-lagu, yang ditulis ketika ibu masih belia. Lagu-lagu dari penyanyi yang disukainya. Ada Titik Sandora, Lilis Suryani, Erni Djohan, dan masih banyak lagi. Bahkan lagu yang dipopulerkan oleh Erni Djohan yang berjudul “Teluk Bayur” pun hafal. Aku masih punya video ibu duet bersamaku menyanyikannya enam bulan yang lalu.

***

Enam jam perjalanan, kita sampai di Semarang, dan aku pun tersadar aku tadi mengingat masa lalu, mengingat kembali seorang ibu yang luar biasa bagiku. Itulah sebabnya, mengapa aku sangat kehilangan yang sangat mendalam.

Pukul tujuh pagi kami tiba di rumah ibu. Di depan rumah sudah banyak para saudara dan tetangga, yang akan mengikuti proses pemakaman ibu. Aku turun terlebih dahulu, dengan langkah yang gontai, aku coba kuat. Bersimpuh di dekat jenazah ibu yang sudah dikerandakan. Aku terisak-isak, sambil berdoa buat ibu. Aku masih sangat merasa bersalah, tidak pulang ketika sakit, dan tidak melihat hembusan nafas terakhir ibu.

“Sudah mbak, ikhlasin, jangan terus menangis, doakan ibu, yang tabah ya…”, adik bungsuku menasihatiku.

“Ya nduk”, jawabku sambil masih terisak.

Prosesi pemakaman dilaksanakan jam 09.00, kami enam bersaudara ikut semua ke makam, penghormatan terakhir buat ibu. Begitu banyak yang ikut ke makam, menyaksikan proses pemakaman, walaupun masih dalam keadaan zona merah.

Dengan perasaan sedih yang sangat mendalam, ketika di makam sudah sepi, kami berenam berdoa bersama untuk almarhumah ibu. Ibu yang sangat kami sayangi, yang mengajarkan ilmu kehidupan yang atas RidhoNya, kami berenam menjadi orang yang mandiri. Kami pun selalu mengingat pesan ibu untuk selalu menjalankan perintahNya.

Selesai doa bersama, kami pulang ke rumah ibu, dan kumpul dengan saudara. Tak ada canda tawa seperti biasanya, namun kali ini semua merasakan kehilangan seorang ibu. Ibu yang berjuang, melawan sakit diabetes selama sepuluh tahun lebih. Menjadi pelajaran bagi kami dari kuatnya dan kesabaran yang dimiliki oleh ibu. Semuanya akan menjadi kenangan indah bagi kami.

***

“Selamat Jalan Ibu…”.

 

Sebuah karya berjudul ‘AKU KEHILANGAN IBU’ oleh Iin Noor Rhosidah

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU