Jika dirasa telah cukup ilmu yang kau timba, pulanglah nak. Bantu bapakmu di sini.
Bukan karena bapak lelah tapi umur yang makin bertambah. Apatah lagi penyakit ini. Mereka butuh kita, butuh orang yang lebih paham untuk menuntun kehidupan beragama agar lebih baik. Tau sendirilah kau seperti apa hidup di lokasi seperti ini. Ladang jihad mu ada di sini…
Malam telah larut. Tak ada keriuhan seumpama siang yang penuh vitalitas gerak manusia mencari kehidupan. Hanya gelap dan angin yang sesekali menggemerisik menyemilir. Temaram lampu berpendaran.
Lukman tengah membaca ulang nukilan surat dari bapak yang dikirim sebulan sebelum kematiannya. Surat yang memintanya pulang jika ilmu agama yang ditimbanya dirasa cukup. Pulang untuk menggantikan posisinya sebagai imam mesjid di emplashment (perkantoran dan perumahan karyawan yang berada di tengah areal) perkebunan kelapa sawit di pelosok tepi hutan.
Pergulatan batin antara cita-cita dan realita yang Lukman alami cukup menguras waktu dan energi. Beberapa kali harus konsultasi ke dosen yang telah menjadi orang tua angkat di kampusnya, sesepuh agama tempatnya biasa berkeluh- kesah, hingga teman-teman. Bukan ingin menolak keinginan orang tuanya tapi memperoleh masukan cara seperti apa agar bisa mewujudkan kedua amanah tersebut—cita-cita dan realita.
Oleh almamaternya, Lukman sudah ditawari untuk jadi dosen. Kapasitas dan kualifikasinya memenuhi syarat. Iapun berminat meneruskan pembelajarannya ke level yang lebih tinggi. Jihad melalui pendidikan, demikian ia meyakini. Namun surat dari bapak telah menyentak nuraninya.
Jihad dengan turun langsung membina umat dan memajukan agama juga sama pentingnya, apalagi orang tua yang meminta, demikian argumen dosen, sesepuh agama, dan teman yang dimintai pendapat. Maka, dengan keyakinan, tekad, dan nawaitu untuk berjihad, Lukman pun memenuhi keinginan bapak. Pulang ke ranah tempatnya dilahirkan.
Lukman sangat memahami kehidupan di perkebunan kelapa sawit karena ia lahir dan besar di situ. Dunia perkebunan yang keras, serba minimalis, sulitnya aksesibilitas karena masih berupa jalan tanah merah yang kering-berdebu-meranggas di musim kemarau dan becek berlumpur di musim hujan. Lokasi yang ada di pedalaman sehingga jauh dari infrastruktur peradaban modern terutama komunikasi.
Beberapa perusahaan perkebunan besar ada yang menjalin kerjasama dengan perusahaan seluler untuk membangun menara di lokasi namun tak sedikit juga perusahaan perkebunan yang hanya memanfaatkan sedikit signal yang melintasi area perusahaan. Situasi itu tergantung kondisi kantong perusahaan, dan Lukman marfhum, perusahaan perkebunan yang jadi ‘kampung halamannya’ tergolong hanya pemanfaat lintasan signal seluler.
Bapak adalah Imam mesjid utama dan satu-satunya yang ada di perusahaan. Ups, tunggu, jangan bayangkan mesjid utama adalah mesjid besar nan megah meski sudah berdinding tembok dengan ornamen menarik dan sound system lumayan mumpuni. Namun kondisinya cukup tua dengan biaya operasional bersumber dari donatur jemaah.
Beberapa perusahaan perkebunan skala besar memang memiliki mesjid megah—juga gereja dengan bea operasional yang ditanggung oleh perusahaan. Tapi mesjid di perusahaan tempat bapak mengabdi belum seperti itu. Dan situlah bapak mengajarkan membaca Al Quran, memimpin shalat berjamaah, berceramah, dan aktivitas rutin keberagamaan dengan bayaran gaji dari perusahaan.
Tak jauh dari lokasi mesjid juga berdiri gereja untuk ibadah umat Kristiani. Lukman mengenalnya dengan sebutan Pak Lamhot Pendeta. Mereka bertetangga baik dan saling menghargai-menghormati. Kondisi fisik gereja pun tak jauh berbeda. Seperti Bapak, Pak Lamhot Pendeta juga telah mendedikasikan umurnya untuk melayani umat di perusahaan perkebunan itu.
Sejarah memang telah menyebutkan bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit berbasis perusahaan mulai muncul di Sumatera Utara (juga Aceh) pada tahun 1870an kemudian menyebar. Maka tak heran jika di perkebunan kelapa sawit, banyak orang Batak jadi pekerjanya mulai dari level tinggi hingga pekerja harian.
Semua pun marfhum bahwa religiusitas suku bangsa Batak adalah Kristen. Menjadi paradoks karena lokasi perkebunan umumnya berbatasan dengan masyarakat peladang di tepi-tepi hutan yang kebanyakan warganya adalah mayoritas muslim melayu Sumatera.
Lukman amat sangat marfhum bahwa tidak pernah ada pertentangan dalam bentuk apapun akibat perbedaan agama, meski ada juga satu-dua debat kusir soal aturan dan keseharian keberagamaan. Bapak dan Pak Lamhot Pendeta pernah saling tertawa ketika warga desa memprotes kenapa di gereja orang pada nyanyi-nyanyi.
Lalu soal diketemukannya sekumpulan botol bekas minuman keras di dekat halaman mesjid. Dengan tenang, Pak Lamhot Pendeta menjelaskan bahwa meminum minuman keras tidak ada dalam ajaran semua agama dan botol-botol ini adalah kebiasaan buruk. Penyelesaian dilakukan dengan janji untuk menasihati agar tidak berperilaku buruk di dekat pemukiman warga desa apalagi rumah ibadah.
Hal-hal ringan, ditanggapi dengan senyum bijak. Dan itu nyata terjadi di perusahaan perkebunan seperti yang Lukman alami sendiri di kehidupan masa kecilnya.
“Orang kebun memang identik dengan orang Batak dan Batak umumnya Kristen tapi jangan kau kira mereka semua Kristen yang saleh, ustad. Kalok ke tuak ya taat lah mereka tu”, gerutu Pak Lamhot Pendeta—menyebut bapak dengan ustad.
Kehidupan di masyarakat desa sekitar perusahaan, seperti yang Lukman saksikan sendiri pun, aturan keberagamaan juga longgar. Anak-anak gadis hanya berjilbab saat ke kota atau ada acara tertentu. Selebihnya ya bebas. Mesjid dan mushola ada beberapa tapi selalu lengang saat waktu shalat bahkan adzan pun jarang berkumandang. Mesjid hanya ramai saat shalat Jumat.
Bisa dipahami mengingat pola pertanian warga desa adalah petani peladang yang lokasinya bisa satu-dua hari jalan kaki. Kamis sore mereka pulang ke rumah dan jumat sore atau Sabtu kembali ke ladang. Demikian cara mereka menjalani hidup. Maka, di hari selain Kamis dan Jumat, desa hanya diisi kaum tua, remaja, dan anak-anak. Sungguh tantangan berat buat Lukman untuk mewujudkan jihadnya.
“Itulah umat kita di sini. Tugasmu kelak membantu mereka agar lebih baik”, jawab bapak. “Berat tugasmu tapi istiqomah lah. Niatkan dengan sungguh-sungguh karena untuk itu lah bapak mengirimmu ke pondok. Tak akan bapak lakukan jika bapak tak yakin denganmu”, lanjut bapak sambil menepuk bahu dan melempar senyum lembutnya.
Dan di sinilah ia sekarang. Sudah berbilang bulan ia memimpin mesjid, mengimami sholat, kadang mengumandangkan adzan, mengajarkan ngaji, ceramah, dan aktivitas rutin keagamaan lainnya. Kadang-kadang ia menyempatkan diri untuk bersilaturahmi ke mesjid atau mushola di desa yang berada di sekitar perusahaan untuk memberi ceramah dan nasehat-nasehat tentang perilaku beragama.
Memang bukan hal yang mudah dalam mengubah kebiasaan. Butuh waktu dan kesabaran. Dan laiknya kaum muda, Lukman pun sering tidak sabaran. Kadang- kadang muncul kegalauan tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana bentuk masa depannya dan kapan proses ini selesai?
Terbersit rasa iri saat mendengar teman- teman semasa kuliah dulu ada yang telah wisuda master atau doktoral, menjadi penceramah kondang, dan cerita kesuksesan dari teman-temannya yang ditelpon- menelpon. Rasa jenuh mulai menggerogoti. Jihadnya seperti belum berbalas apalagi berwujud. Tetiba, ia merindukan kehidupan kampus.
Siang di suatu waktu. Menunggu waktu Dzuhur, Lukman membaca Al Quran sementara marbot tengah merapihkan peralatan setelah bersih-bersih. Matahari lumayan terik dan jam kantor masih berlaku. Satu dua kendaraan roda dua dan empat terdengar berseliweran. Biasanya para pekerja administrasi kantor kebun mengurus pekerjaannya. Rutinitas kehidupan dunia perkebunan pun berdetak seperti biasa.
Tapi tiba-tiba raungan mesin dan knalpot memekak. Tidak hanya satu tapi dua lima bahkan lebih dari puluhan sepeda motor berbondong-bondong memasuki area perkantoran perkebunan diiringi teriakan makian dan umpatan.
Puluhan orang turun sambil mengacungkan golok di depan pintu gerbang. Lainnya memutar-mutar gas. Mesin pun meraung-raung. Demo yang bakal rusuh, maklum pekerja kerah biru yang lebih banyak menggunakan otot untuk bekerja bercampur dengan warga desa yang biasa bekerja dengan golok atau parang.
Barisan sekuriti kewalahan menahan pintu gerbang. Dan ketika pintu jebol, para sekuriti pun berlarian tunggang langgang dikejar para pendemo. Puluhan motor lainnya masuk area perkantoran dengan suara memekakkan telinga bercampur jerit ketakutan karyawan perempuan. Golok dan potongan kayu diacung-acungkan sambil teriak meminta manajemen perusahaan keluar.
Manager kebun (ada yang menyebutnya Estate Manager ada juga Kepala Kebun) keluar kantor didampingi beberapa asistennya dan dikawal sekuriti. Ada dialog, debat, saling teriak, makian, dan bentakan.
Sepertinya tak ada kesepakatan karena manajer berserta rombongan tiba-tiba masuk ke dalam dan sekuriti menutup pintu utama kantor. Para pendemo marah dan mulai melempari kantor dengan beragam benda. Bakar. Hancurkan! Teriakan yang memekakkan.
Semua dirusak. Tetumbuhan di taman depan kantor, pos sekuriti, menara radio, kaca-kaca bertebaran, dan kursi, meja rebah berserakan. Beberapa kaca mobil yang terparkir dipecah dan sepeda motor ada yang dibakar.
Lewat pintu belakang, para karyawan berlarian keluar kantor. Pendemo makin beringas dan hal yang dikhawatirkan pun terjadi, saat mereka mulai memasuki area perumahan karyawan. Pos sekuriti kompleks perumahan mulai terbakar. Para ibu dan anak-anak yang tadi menonton dari kejauhan, berhamburan ke rumah masing-masing lalu mengunci pintu. Tangisan bercampur teriakan berkelindan dengan sirene yang meraung-raung.