LIMA TAHUN telah berlalu sejak aku tiba dari desa ke ibukota. Selama itu, aku sudah cukup namun tak satu pun darinya dapat membuatku terkesan. Jika diminta untuk mendefinisikan apa saja pengaruhnya, aku hanya bisa mengatakan bahwa ia membangkitkan kejengkelanku. Dan sejujurnya kuakui bahwa itu membuatku makin dan makin membenci orang lain.
Tapi, sebuah insiden telah menjadi sangat berarti buatku, membangkitkan kemarahanku.
Karena itu, sampai sekarang insiden itu tak pernah bisa kulupakan. Itu terjadi saat musim panas 2016. Angin utara yang kencang berhembus, tapi untuk berangkat ke sekolah yang jaraknya agak jauh dari tempat aku tinggal di kota, aku harus bangun dan berangkat subuh. Jalanan masih sepi. Di saat-saat seperti ini, betapa sulitnya menyewa sebuah angkot yang bisa membawaku ke Pintu Gerbang sekolah.
Tiba-tiba angin berhembus sangat kencang. Debu-debu beterbangan seperti tersapu. Dan pengemudi angkot pun mempercepat jalannya. Kami baru saja mendekati gerbang sekolah, ketika seorang penyeberang jalan tertabrak oleh angkot yang kami tumpangi. Dan jatuh. Dia seorang perempuan. Hampir semua rambutnya sudah memutih dan mengenakan pakaian compang camping.
Waktu itu ia baru saja melewati trotoar dan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri langsung menyeberang. Sialnya, itu tepat di depan kami. Meski pengemudi angkot sudah berusaha menghindar, jaket kumalnya yang tidak terkancing dan berkibar ditiup angin itu tersangkut di sebuah besi di sisi angkot. Untunglah pengemudi angkot menginjak rem dengan cepat, kalau tidak, dia pasti akan terjatuh dengan keras dan terluka parah.
Perempuan tua itu tergeletak di atas jalan dan pengemudi angkot berhenti. Aku tidak menyangka kalau ia terluka. Tapi seorang bapak yang kelihatan terburu-buru marah-marah dengan pengemudi angkot itu dengan mengatakan bahwa berhenti dan menolong perempuan tua itu akan membuatnya berada dalam masalah dan membuatku terlambat. Lagi pula, tak ada satu pun yang melihat kejadian itu.
“Semuanya baik-baik saja,” kata bapak itu. “Ayo jalan!” Namun, dia tak hirau. Mungkin dia tidak mendengarkan karena dia meletakkan kemudi, dan dengan santun membantu perempuan tua itu untuk berdiri. Sambil memapah perempuan tua itu dengan satu lengannya, dia bertanya:
“Anda baik-baik saja?” “Aku terluka.”
Aku melihat betapa pelannya dia terjatuh dan yakin kalau dia tidak mungkin terluka. Dia, dengan sangat menjijikkan, berpura-pura. Pengemudi angkot sudah membuat masalah dan kini, dia mendapatkannya. Dia harus mencari jalan keluarnya sendiri. Tapi pengemudi angkot itu tidak curiga sedikit pun saat perempuan tua itu mengatakan bahwa dia terluka.
Seakan tidak hirau, ia tetap memegang lengannya, memapah perempuan tua itu berjalan perlahan-lahan. Aku jadi heran. Ketika aku melihat ke depan, aku melihat sebuah kantor polisi. Namun karena angin bertiup kencang, tak seorang pun yang berada di luar. Pengemudi angkong menolong perempuan tua itu berjalan menuju gerbang.
Tiba-tiba aku merasakan keanehan. Tubuhnya yang berdebu, bergerak mundur, tampak lebih besar pada saat itu. Sebetulnya, semakin jauh dia berjalan semakin besar sosoknya, sampai-sampai aku harus mendongak ke arahnya.
Pada saat bersamaan, sosoknya yang berangsur angsur membesar itu menekanku sedemikian rupa, seakan ia ingin menyergap tubuh kecil di bawah balutan mantel kulit tebalku.