Tenagaku seakan-akan melemah ketika aku duduk tak bergerak di sana. Pikiranku kosong, hingga akhirnya sesaat saat itu seorang polisi keluar dari kantornya. Saat itu aku turun dari angkot.
Polisi itu mendatangiku dan berkata, “Carilah angkot yang lain. Dia tidak bisa mengangkutmu lagi.”
Tanpa berpikir panjang aku mengambil selembar uang kertas dari saku mantelku dan memberikannya itu. “Tolong berikan ini padanya,” pada polisi kataku.
Angin telah berhenti, tapi jalanan masih tetap senyap. Aku berjalan kaki sambil berpikir, tapi aku memikirkan diriku sendiri. Pikiranku menerawang jauh dan hinggap pada kejadian yang baru saja terjadi… dan selembar uang itu. Apa arti uang itu? Upah Siapa diriku hingga berani- beraninya menilai pengemudi angkot itu? Aku tak mendapatkan jawaban.
Bahkan sekarang, semua tetap segar dalam ingatanku. Itulah yang kerap membuatku merasa tertekan dan mengantarku berpikir tentang diriku sendiri. Urusan-urusan militer dan para politisi di tahun tahun itu sepenuhnya kulupakan seperti halnya dongeng-dongeng cerita rakyat yang pernah kubaca di masa kanak-kanakku.
Namun, insiden ini tetap kembali pada diriku. Bahkan lebih hidup ketimbang dengan kehidupan sesungguhnya. Ia mengajarkanku rasa malu, mendorongku untuk berubah, dan memberiku keberanian dan harapan baru.
Sebuah karya cerpen berjudul ‘INSIDEN SUBUH’ oleh Mulki yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen FAJAR PENDIDIKAN.
BACAÂ CERPEN LAINNYA DISINI