Asap mengepul di sudut gubuk Pajirah. Nenek tua berusia hampir satu abad yang kini mulai sulit mendengar, juga mempunyai masalah.. mata yang mulai rabun.
Meski demikian, ia masih kuat memikul kayu bahan bakar alternatif rumah tua ini. Beruntungnya perempuan dengan gulungan rambut yang kini memutih itu, tak hidup sendiri. Suara anak laki-laki berusia delapan tahun, yang kerap ia teriaki dengan panggilan Apoi masih setia menemani sang Nenek.
Hari ini, Pajirah terpaksa kembali mengusung kayu kering dari tumpukkannya ke pendapuran. Pasalnya, minyak tanah kini mulai langkah dengan harga yang melejit tinggi. Pajirah yang hanya seorang buruh harian di kebun getah milik tetangganya, tak sanggup jika harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli BBM.
“Nek, kenapa nggak pake minyak tanah, kalau habis sini Apoi yang beli?” ujar cucu satu-satunya Pajirah. Pajirah tersenyum, kemudian membelai pelan kepala Apoi.
“Tidak usah, kita punya banyak kayu bakar. Untuk apa kalau tidak dipakai?” Apoi mengangguk.
Kemudian meminta izin untuk bermain dengan teman-temannya.
Pajirah pun mengizinkan. Dengan sebuah kalimat sebelum Apoi keluar.
“Main sana, tapi ingat! Jangan berkelahi, apalagi dengan anak-anak juragan getah. Lebih baik kamu mengalah dan pulang, ada banyak hal baik lainnya menunggu daripada cari gara-gara,”
Apoi mengangguk, kemudian pergi ke alun-alun desa.
***
Bermain dengan teman sebaya di alun-alun menjadi kebiasaan anak-anak desa Matanglau. Apoi bersama beberapa temannya tengah mencari batu-batu pipih untuk bermain cak ingkling. Permainan tradisional melompat dengan satu kaki sedang satunya ditekuk, kemudian melemparkan batu yang mereka sebut batu uncak untuk menandakan kemajuan masing-masing pemain. Ini adalah salah satu permainan tradisional dihampir seluruh Indonesia tahun 90an.
“Yuk, hompimpa!” ujar salah satu teman Apoi.
Kelima anak-anak itu melakukan hompimpa untuk mengetahui siapa yang berjalan lebih dulu.
“Hompimpaalaihumgambreng,”
Setelah medapat giliran permainan dimulai, dengan gelak tawa, drama kecurangan, jatuh, dengan kegembiraan yang tiada tara. Namun, disela-sela permainan tamu tak diundang pun datang.
Tiga remaja tanggung mendekati mereka. Mereka kerap menganggu anak-anak yang lebih kecil. Merebut mainan milik orang lain, meminta makanan secara paksa, dan banyak lagi. Tingkah mereka usil dan meresahkan anak-anak lainnya.
Imron ingin menghentikan permainan, dan mengajak teman-temannya lari sebelum mereka sampai dan mengacau. Tapi, Apoi menolak.
“Jangan, biar saja kita main. Toh kita gak ganggu mereka. Anggap saja mereka tidak ada, ayo main lagi!” Apoi meyakinkan teman-temannya.
Tiba giliran Apoi bermain. Dia melangkah menginjak satu demi satu garis berbentuk balok yg mereka ukir di tanah. Kemudian tiba di garis awal, Apoi melempar batu uncaknya. Setelah mendarat disalah satu kotak, remaja usil yang baru saja tiba itu meraih batu uncak Apoi.
Sontak kelima sekawan itu menghentikan permainan.
Apoi melirik beberapa temannya yang kini menciut. Dengan tegar Apoi mendekati Gian, salah satu remaja yang mengambil batunya.
“Kembalikan uncak saya!” pintanya pelan.
“Apa? Ini! Batu kecil ini? Ayo ambil kalau bisa!” Gian menaikkannya ke atas, seraya menginjit-injit.
Apoi berusaha meraihnya. Tentu saja tubuhnya yang kecil tak mampu mengambil batu dari tangan Gian. Sedang dua teman remaja itu terbahak. Keempat sahabat Apoi hanya mematung. Kesal karena ulah Gian yang membuat dirinya menjadi bahan olok-olok, Apoi mendorongnya hingga tersungkur.
Bukannya jera, Gian berdiri dengan tangan mengepal. Mukanya merah padam, batu yang sedari tadi ia pegang kini ia jadikan senjata.
Secepat kilat Gian memukul Apoi, membuat luka di pelipisnya anak yatim itu. Kemudian Apoi terduduk shock. Keempat teman Apoi mendekat dan membawa mundur Apoi. Mereka membimbing Apoi bangun, kemudian berusaha menjauh.
Akan tetapi, beberapa langkah mereka pergi. Gian berteriak-teriak seakan belum puas hanya membalas dengan pukulan yang membekas.